[caption caption="pic: shirleymaya.com"][/caption]
Aku memasuki hutan bambu. Tercium aroma tanah basah. Kuhirup sebanyak yang mampu tertampung dalam rongga dadaku. Aku begitu menyukai hujan. Hujan membuat tanah menjadi basah, membuat daun-daun hampir terjatuh tertimpa bulir-bulirnya, juga rumput-rumput yang terbangun karena kedinginan.
Hujan selalu mengingatkanku tentangmu.
Malam itu kauberteduh di depan rumahku, di bawah pohon itu. Aku tertawa dari balik jendela, melihatmu menggigil kedinginan, juga tentang air hujan yang kauusir dengan mengibaskan rambutmu.
Kautampan. Aku jatuh cinta.
Ketika pagi tiba, aku selalu berdoa kepada Tuhanku, datangkan hujan malam ini sebab aku menginginkan hadirnya kembali. Dan sebelum ibuku keluar rumah dengan membawa sapu, aku berteriak, Ibu, letakkan saja sapu itu di depan pintu! Biarkan aku menyapunya!
Kautahu? Aku sengaja berlama-lama di depan rumahku, di bawah pohon itu. Pohon tempat kauberteduh semalam. Aku mengumpulkan daun-daun yang telah kaupijaki dan memasukkannya dalam sebuah kotak. Aku juga menyentuh batang pohon itu, di mana kausempat menyandarkan tubuhmu beberapa kali di sana. Menyentuh batang pohon itu, bagiku adalah menyentuh tubuhmu.
Hatiku berpesta saat kudapati langit sore tak jingga lagi. Kelabu! Hujan akan datang!
Hujan datang tepat pukul tujuh. Kurapatkan tubuhku dekat jendela, kuhadirkan mataku di antara tirai merah muda. Kaubelum datang. Hatiku tetiba gusar. Ada apa denganmu? Mengapa tak kunjungi tiba di bawah pohon itu? Aku mematuk-matuk kaca jendela dengan jari telunjukku.
Pukul delapan lewat lima belas menit. Pohon itu masih sendiri bercampur gerimis. Malam ini, pohon itu jomblo. Kekasihnya tak datang. Tanpa kusadari, hujan itu mendatangi kedua mataku. Aku menyekanya berulang kali. Semakin deras saja, seperti banjir bandang yang menjebol tanggul desa.
Aku masih di balik jendela, berlinang air mata, dan menunggu. Apa kausudah pulang ke rumah? Apa kaumelalui jalan lain untuk mengindari hujan? Atau kausakit? Aku menanyai bayangmu, sebelum susu vanila hangat memaksaku untuk segera tidur setelah tegukan terakhir.
***
Pagi telah kembali biasa, tanpa harapkan hujan datang, juga menyapu halaman. Aku sedang berusaha mengeluarkan bayangmu dari benakku, dengan bermain boneka mungkin, atau membantu ibu membuat kue kering pesanan orang.
Tetiba terdengar pintu rumahku terketuk. Tidak biasanya Bibi Nely, tetangga sebelah, mengambil kue kering sepagi ini. Bibi gendut berambut keriting biasanya akan memastikan kue kering yang dipesannya melalui telepon, sebelum mengambilnya pukul sebelas.
Ibu menyuruhku membuka pintu. Hal yang paling kubenci, ada dua anak tangga yang harus kulewati sebelum kudapati pintu itu. Aku harus bersusah payah untuk menuruninya. Ibu menjengkelkan.
Aku membuka pintu dan kudapati kauberdiri di sana.
“Kau?”
Aku tak percaya, kemana saja kausemalam? Apa kehadiranmu sedang ingin melunasi rinduku?
“Kau di sini?”
“Iya, Non. Saya di sini untuk mengantarkan paket.”
“Paket?”
“Benarkah di sini alamat Nyonya Hanna?”
“Iya, itu Ibuku.”
“Kalau begitu silakan tanda tangani tanda terimanya ya, Non.”
“Sudah begitu saja?”
“Masih banyak paket yang harus saya antarkan.”
Kautersenyum. Senyum yang kausembunyikan pada malam itu. Kaumenatapku begitu dalam, sepertinya kautelah menemukan rinduku di sana.
“Tunggu!”
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Non?”
“Bisakah kaumalam ini berteduh kembali di bawah pohon itu?”
Kuarahkan telunjukku pada pohon yang semalam jomblo.
“Jika hujan datang.”
“Hujan pasti datang!”
“Jika tak datang?”
“Kaubisa berteduh di bawah kedua mataku, sebab hujan akan mendatanginya.”
“Nona manis sepertimu tak pantas menangis.”
“Jika aku merindukanmu?”
Kauterdiam. Apa aku salah merindukanmu? Kaumembuka kancing atas bajumu, melepaskan sebuah kalung dengan sekeping koin kuno, lalu memakainya pada leherku. Tubuhmu bau keringat.
“Ini adalah keping keberuntunganku. Simpanlah, sebab aku akan mengambilnya kembali.”
***
Aku kembali bertemu malam dengan hujan yang mugkin takkan datang.
Kautahu? Aku sudah bersiap dengan gaun merah muda buatan ibu di depan pintu. Ibu belum sempat memotongnya di bagian paling ujung, sehingga dua kali aku terjungkal, yang pertama adalah ketika hendak keluar kamar dan kedua ketika menuruni dua anak tangga. Gaunku terlindas roda kursi yang membawa tubuhku kemana-mana.
Kautahu? Aku masih menunggumu di sini, di depan pintu, tempat di mana kaumenatapku untuk pertama kali. Kata ibu, aku sudah sangat cantik dan kaupasti menyukaiku nanti.
Kautahu? Ibu melarangku untuk menangis pada pukul dua belas malam. Aku tidak akan menangis. Aku hanya ingin bertanya, kemana kau? Apa kautakmau menemui gadis cacat sepertiku? Apa kautak suka melihatku duduk di kursi roda? Apa kaumenyesal telah bertemu denganku?
Hujan akhirnya jatuh membahasi tanah juga pohon itu. Pohon yang sepertinya telah ditakdirkan untuk sendiri. Pohon yang berkawan kesepian dengan pujian burung-burung gagak, dengan air mataku yang membeku.
***
Aku memasuki hutan bambu. Tercium aroma tanah basah. Kuhirup sebanyak yang mampu tertampung dalam rongga dadaku. Aku begitu menyukai hujan. Hujan membuat tanah menjadi basah, membuat daun-daun hampir terjatuh tertimpa bulir-bulirnya, juga rumput-rumput yang terbangun karena kedinginan.
Hujan selalu mengingatkanku tentangmu, untuk mengubur sekeping rindu yang kauberikan kepadaku.
-oOo-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H