"Kita berdoa, Sayang." Tangan Anjas merangkul bahu istrinya lalu menggiringnya duduk dengan tenang.
"Seharusnya aku tidak melepas tangannya, Sayang. Kenapa aku bisa seceroboh ini? Aku harus bagaimana sekarang?" Aira menangis tersedu-sedu. Air matanya tak berhenti mengalir semenjak kejadian itu.
"Ini hari terakhirnya puasa, Aya tidak boleh pergi. Dia tidak boleh ke surga sekarang, Yang! Dia selalu ingin ke surga, dia selalu berkata begitu! Ayaaa ..."
Anjas menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia berusaha kuat, meski hatinya begitu hancur menyaksikan putri satu-satunya sedang berjuang melewati masa kritisnya.
Dokter terlihat keluar dari ruangan ICU. Wajahnya nampak biasa saja.
"Dok, gimana putri kami?" Anjas dengan segera menghampirinya.
"Alhamdulillah, anak Bapak dan Ibu bisa melewati masa kritisnya. Kondisinya akan tetap kami pantau sampai keadaannya benar-benar membaik."
"Terima kasih, Dok. Apa kami boleh masuk?" tanya Aira yang sudah tak sabar ingin melihat kondisi putrinya.
"Boleh, tapi hanya satu orang. Ingat, jangan terlalu lama. Pasien harus tetap tenang."
Anjas memberi isyarat untuk Aira, agar dirinya saja yang terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan.
"Aya, anak sholehah Bunda. Aya hebat, Nak. Ini adalah hari terakhir Aya puasa. Nanti malam, ada pawai obor di jalanan. Malam takbirnya pasti akan ramai sekali. Aya mau ikut kan, Nak?" Aira menggenggam jemari Aya.