Mohon tunggu...
Depy Mulyani
Depy Mulyani Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 125 OKU

Seorang pendidik yang ingin selalu memberikan kebermanfaatan dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Menulis adalah kegemarannya. Ia juga menyukai alam sebagai bagian dari sebuah pembelajaran hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

30 Hari Milik Tsurayya

7 November 2022   09:07 Diperbarui: 7 November 2022   09:11 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                    Gambar Kartun Muslimah ( iae.news)

Pukul satu dini hari, Aira masih terus berjaga di samping bayi mungilnya yang baru berusia enam bulan. Tubuh gempal nan menggemaskan itu tertidur setelah lelah menangis karena suhu tubuhnya yang tinggi. Anjas, sang suami dengan cekatan mengganti air di baskom kecil untuk diganti dengan air hangat yang baru.

"Mas, istirahatlah. Kamu pasti capek sudah dua hari ini kurang tidur terus. Biarlah aku yang jaga Aya." Aira memegang pundak sang suami lalu meraih jemarinya dengan lembut. Anjas menatap wajah istrinya yang mulai terlihat pucat.

"Sepertinya yang perlu istirahat itu kamu, Sayang! Aya kan gak pernah mau digendong sama aku kalau lagi sakit. Pucat sekali wajahmu, Yang." Mereka berdua menatap sedih pada putri pertamanya itu. Sudah dua hari ini demamnya tidak turun-turun.

Belum lama Aira terlelap, dia terkejut saat Aya kembali menangis dengan kuatnya. Dipeluknya kembali sang putri dengan erat .

"Yang, kenapa ujung jari-jari tangan dan kakinya terasa dingin yah?" Aira merasa khawatir.

"Mana?" sambil meraba ujung jari kaki Aya.

"Selimuti aja, kedinginan mungkin." Jawab Anjas datar.

Tak sampai lima menit, Aya mengalami kejang-kejang dengan mata mendelik ke atas. Aira menjerit berusaha menahan lidah anaknya dengan jari. Keadaan menjadi sangat panik, pasangan muda yang baru memiliki anak itu terlihat bingung.

"Air. Tolong air, Yang! Kompres dengan air ujung-ujung jari kaki dan tangannya, kepalanya juga. Jangan lupa lipatan-lipatannya. Ya Allah, Aya!" raut wajahnya berubah cemas, Aira menangis.

***

Aya, nama panggilan kecil untuk seorang anak perempuan cantik bernama lengkap Tsurayya Humaira. Wajah bulat dengan bibir merahnya juga rambut keriting yang ditutupi jilbab, sangat menggemaskan siapapun yang melihatnya. Aira tersenyum menatap kaki-kaki mungil itu berlari dengan lincahnya kesana kemari penuh canda tawa. Namun, dia selalu saja menangis kala mengingat kejadian tiga setengah tahun yang lalu itu. Trauma berkepanjangan yang hingga kini masih dirasakannya.

"Bunda ... tangkap aku! Ada aelnya di sini," suara dengan aksen R yang belum jelas itu memanggil Aira. Menghamburkan segala lamunan masa lalu mereka.

"Iya, Nak! Hati-hati yah!" jawab Aira dengan mata berkaca-kaca.

Waktunya kembali ke rumah setelah hampir dua jam lamanya mereka mengisi waktu di taman kota seperti biasanya. Yah, ini adalah hari ketiga Aya menjalankan ibadah puasa pertamanya di bulan Ramadan. Usia gadis kecil yang belum genap empat tahun itu, merengek pada sang bunda bahwa dirinya ingin sekali berpuasa. Dia ingin menjadi bidadari surga, katanya. Tentu saja Aira sangat terharu mendengar polosnya bibir itu berbicara.

"Bunda ... bunda ... sebental lagi malgib ya?" tanya Aya yang berdiri di bagian depan motor matic sang Bunda sambil menoleh dengan mata yang berkedip-kedip tertiup angin.

"Iya, Sayang. Sabar yah, bunda sudah buatkan kue kesukaan Aya."

"Yeayyy ... cepet Bunda. Aya udah gak sabal lagi. Pelutnya udah belbunyi."

Suara Azan magrib berkumandang. Aya bersama kedua orangtuanya duduk melingkar menghadap pada hidangan berbuka puasa yang sangat memanjakan mata, mulai dari gorengan tahu, kurma hingga es kopyor. Bibir kecil itu bergerak-gerak dengan matanya yang terpejam dan kedua tangan menengadah ke atas.

"Aamiin" ucapnya. Anjas dan Aira saling berpandangan lalu tersenyum melihat tingkah Aya.

Aya memanglah anugerah terindah yang dihadiahkan untuk mereka. Di usianya saat ini, Aya sudah hampir selesai menghafalkan juz 'Amma. Sedari dalam kandungan, Aira memang selalu melantunkan ayat Alqur'an dan juga memperdengarkannya melalui speaker Qur'an. Hal itu berlanjut saat Aya telah terlahir ke dunia. Meski pelafalannya belum sempurna, tapi Aya begitu lancar dan sangat menikmatinya. Ramadan tahun ini menjadi yang teristimewa, karena Aya mengajukan diri untuk ikut belajar berpuasa.

***

Hari-hari di bulan Ramadan terasa cepat berganti. Sebuah keajaiban yang diberikan Allah kepada gadis kecil bernama Aya. Amat jarang seorang anak yang belum genap berusia empat tahun sudah mampu menjalankan ibadah puasa dengan segala keinginannya yang masih tak terbendung. Sepuluh hari pertama terlewati, lima belas hari berikutnya hingga kini telah memasuki hari kedua puluh lima.

"Aku puasa. Aku mau dapet sulga,"celoteh Aya pada teman-temannya sore itu.

"Bohong! Kamu kan masih kecil, aku aja setengah hari puasanya. Huuu ... Aya bohooong"

"Iya. kamu kan sakit, gak bisa lah puasa."

"Puasa!" Kedua tangan Aya mengepal kuat, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum. Matanya menatap ke segala arah. Dia pun berlari dari kerumunan teman-teman sepermainannya.

Aira memperhatikan anaknya semenjak tadi. Dia ingin Aya tetap dapat bermain dan bergaul dengan teman-temannya yang lain, meski dia tau bahwa anaknya menderita Autis.

"Bundaaa,"panggil Aya yang langsung menghambur dipelukan Aira.

"Bunda, Aya mau masuk sulga." Air mata Aya mengalir deras di pipinya yang putih. Aira tak sanggup menahan emosi dalam hatinya.

"Iya, Sayang. Aya anak hebat, tidak ada yang seperti Aya. Aya bisa masuk surga paliiing tinggi. Jangan nangis ya, Sayang!" Aira memeluknya kembali. Aya semakin terisak di pelukannya.

Ya Allah, sungguh hatiku begitu perih melihatnya. Engkau berikan anugerah yang begitu berharga bagi kami. Jaga dia ya Allah. Tolong lindungi dia. Sungguh aku sangat mencintainya. Lirihnya dalam hati.

"Aya mau hadiah apa dari bunda sama ayah kalau puasanya penuh?"

Aya tersenyum sambil memainkan jemarinya, "Mau sulga."

"Aamiin. Insya Allah Aya dapat surga"

***

Keadaan pertokoan di pasar menjelang Hari Raya Idul Fitri sangatlah padat. Hampir semua orang tumpah ruah memenuhi toko. Aira menggenggam erat tangan Aya sambil terus memperhatikan ke depan. Sang ayah tidak bisa menemani karena ada urusan mendadak di kantornya.

"Nah, itu Aya. Bajunya cantik-cantik. Kita ke sana ya?" Aira menunjuk salah satu pertokoan yang menjual beraneka macam pakaian dari anak-anak hingga dewasa.

Lokasi pertokoan yang berada di sepanjang jalan raya, memudahkan para pembeli untuk memarkirkan kendaraannya dan langsung menuju tempat yang diinginkan. Kendaraan roda dua terparkir rapi di sepanjang pertokoan itu. Beberapa kali Aira harus menggendong anaknya, karena pembeli begitu ramai.

"Yang ini berapa, Uda?" tanya Aira menunjuk sebuah baju gamis berwarna hijau dengan motif bunga-bunga untuk Aya.

"Seratus lima puluh ribu."

Harga semua barang tiba-tiba melonjak naik menjelang lebaran. Aira sudah mengerti sebenarnya, tapi semua karena dia ingin membahagiakan Aya. Hanya toko Uda Heri yang terbilang murah dibandingkan toko lainnya. Wajar saja jika pembeli begitu terpusat di toko itu.

"Aya suka, Nak?" Aira menoleh ke bawah namun dirinya tak menemukan Aya di sana.

"Aya ... Aya ... Aya di mana?" Aira nampak panik.

"Uda, tadi lihat anak kecil berjilbab merah tidak di sini? Yang tadi di sebelah saya?"

Laki-laki itu menggeleng. Pembeli lainnya juga ikut memperhatikan Aira yang terlihat kebingungan mencari anaknya.

Aira berlari sambil terus meneriakan nama Aya.

"Aya ... Aya ... Pak lihat anak kecil lewat sini tidak?" Aira bertanya sepanjang jalan. Hingga dia mendengar suara jeritan seseorang.

"Eh, itu anak siapa? Awas mobil itu!"

"Ambil anak itu, cepet!" teriak salah seorang diantaranya. Aira berlari begitu dirinya menyadari bahwa itu adalah Aya, anaknya.

"Aya ...!" suara Aira menambah panik pada Aya. Anak kecil itu malah semakin ke tengah jalan hingga akhirnya sebuah motor dengan kecepatan tinggi yang dikendarai seorang pemuda menabrak tubuhnya.

"Ayaaa!"

Tubuh kecil itu terhempas beberapa meter dari tempat dia berpijak. Semua orang berkerumun, Aira terduduk lemas. Sebisa mungkin dia mengumpulkan seluruh sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya. Aya tergeletak dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. Tubuh mungil itu tak bergerak sama sekali. Aira memeluk tubuh Aya, hingga mobil Ambulance datang.

***

Suara napas yang terdengar dari ventilator yang terpasang di wajah gadis kecil itu, terasa berlomba dengan degup jantung sang bunda. Terngiang di telinganya saat bibir mungil Aya terus berkata ingin ke surga-Nya.

"Kita berdoa, Sayang." Tangan Anjas merangkul bahu istrinya lalu menggiringnya duduk dengan tenang.

"Seharusnya aku tidak melepas tangannya, Sayang. Kenapa aku bisa seceroboh ini? Aku harus bagaimana sekarang?" Aira menangis tersedu-sedu. Air matanya tak berhenti mengalir semenjak kejadian itu.

"Ini hari terakhirnya puasa, Aya tidak boleh pergi. Dia tidak boleh ke surga sekarang, Yang! Dia selalu ingin ke surga, dia selalu berkata begitu! Ayaaa ..."

Anjas menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia berusaha kuat, meski hatinya begitu hancur menyaksikan putri satu-satunya sedang berjuang melewati masa kritisnya.

Dokter terlihat keluar dari ruangan ICU. Wajahnya nampak biasa saja.

"Dok, gimana putri kami?" Anjas dengan segera menghampirinya.

"Alhamdulillah, anak Bapak dan Ibu bisa melewati masa kritisnya. Kondisinya akan tetap kami pantau sampai keadaannya benar-benar membaik."

"Terima kasih, Dok. Apa kami boleh masuk?" tanya Aira yang sudah tak sabar ingin melihat kondisi putrinya.

"Boleh, tapi hanya satu orang. Ingat, jangan terlalu lama. Pasien harus tetap tenang."

Anjas memberi isyarat untuk Aira, agar dirinya saja yang terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan.

"Aya, anak sholehah Bunda. Aya hebat, Nak. Ini adalah hari terakhir Aya puasa. Nanti malam, ada pawai obor di jalanan. Malam takbirnya pasti akan ramai sekali. Aya mau ikut kan, Nak?" Aira menggenggam jemari Aya.

"Maafkan bunda ya, Sayang. Bunda ceroboh. Aya harus kuat yah!"

***

"Ayaaa ..."

"Aira ... bangun! Ayo, bangun!" Anjas menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.

"Aya mana, Sayang?" matanya mencari ke semua sudut.

"Aya sudah memenuhi tiga puluh hari Ramadannya. Sesuai keinginannya, dia mendapat hadiah surga. Anak kita sudah berbahagia di sana. ini sudah hari ketujuh semenjak kepergiannya, aku harap kamu sudah ikhlas dengannya."

"Tapi, Yang ..."

"Sudahlah, kita berdoa agar Aya mendapatkan surga terbaiknya."

Anjas memeluk sang istri, berusaha memaknai makna terdalam Ramadannya yang telah berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun