Dua hari. Om Halim juga membutuhkan waktu yang sama untuk memutuskan kalau aku tidak layak untuk Aira.
'Papa nggak setuju kalau aku pacaran sama kamu.' Begitu kata Aira.
Tapi kenapa, Ra?' aku benar-benar tidak mengerti. Apa aku terlah menyinggung perasaan Om Halim dalam pembicraan waktu itu.
'Jangan marah, ya Dan. Tapi kata papa, kamu itu bukan Cina asli.'
Jadi itu masalahnya. Cuma karena aku bukan cungkuo jen8asli aku tidak pantas bersanding dengan Aira yang memang amoy - mata sipit, hidung mancung, kulit putih. Bagus!
'Maaf, ya, Dan. Jangan marah ya.' Kata Aira.
'Nggak, Ra, aku nggak marah. Papa kamu benar. Aku memang tidak cocok buat kamu. Dadah.' Aku membalikkan badan dan pergi meninggalkan Aira. Aku tidak mau mendengar apa alasannya. Sudah cukup!
'Halo, dengan rumah Pak Dani?' suara wanita itu segera dikenali Dani. Suara sekertaris di perusahaan tempatnya melamar. 'Bapak ditunggu kedatangannya besok oleh pak direktur jam sembilan.'
'Baik. Terima kasih.'
Sayangnya pembicaraan tersebut hanya terjadi dalam imajinasiku saja. Aku tidak pernah menerima telepon yang memberi kabar kalau aku diterima. Tidak pernah. Yah, sebenarnya aku sudah tahu sejak semula kalau perusahaan tempatku melamar itu hanya menerima dua jenis orang. Tenglang9 -- untuk dijadikan kepala staff dan menempati berbagai posisi penting lainnya dan hwa na10sebagai staff biasa atau lebih parah lagi sebagai pesuruh. Terus bagaimana dengan aku yang tidak termasuk kedua golongan tersebut? Tidak ada tempat untuk orang sepertiku. Tidak ada tempat untuk orang yang setengah-setengah di dunia ini. Aku harusnya menyadari hal itu sejak dulu, tapi entah kenapa aku masih nekat juga melamar. Mungkin aku berharap dewi kwam imllakan membuat keajaiban.
'Dewi pasti membantu orang yang dalam kesulitan.' Begitu kata ibuku waktu dia masih hidup. 'Bagaimana caranya, Bu?' tanyaku.