'Bisa lebih spesifik?' Cecar sang interviewer.
'Misalnya, pak, untuk sistem shift...'
'Pak Dani silakan masuk.'
Suara lembut sang sekertaris itu membuat Dani terbangun dari lamunannya.
'Silakan, pak. Pak direktur sudah menunggu Anda.' kata sang sekertaris itu lagi sambil tangannya menunjuk ke arah pintu jati yang tertutup rapat.
'Balk. Terima kasih.'
Dani bangun dari duduknya. Melihat jam tangannya sekilas. Setengah jam lebih dia menunggu giliran untuk interview ini. Harus diterima. Batinnya.
Tarik napas panjang. Periksa pakaian. Rapih. Bagus. Map berisi berkas lamaran. Slap. Ok. Saatnya maju. Dengan langkah tegang Dani berjalan menuju pintu kayu jati itu dan mengetuk.
'Masuk.' Terdengar jawaban dari dalam.
Dani mendorong pintu kayu jati itu hingga terbuka dan masuk. Tidak seperti yang sering dilihat Dani di sinetron-sinetron kantor direktur itu tidak mewah. Tidak ada rak buku yang berisi ensiklopedia dari berbagai edisi dan bahasa. Tidak ada kulkas kecil di ujung ruangan. Tidak ada lukisan karya pelukis terkenal di dinding.
Yang ada di ruangan itu hanya sebuah meja yang dipenuhi tumpukan berkas sehingga menutupi telepon. Di balik meja duduk dua orang pria berjas. Keduanya hampir serupa. Kulit putih, berkacamata, mata sipit, hidung mancung, usia sekitar enam puluhan, rambut yang sudah putih agak botak di tengah sehingga memperlihatkan batok kepala yang licin.