Mohon tunggu...
Denny_JA Fanpage
Denny_JA Fanpage Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Satu Pena

Kumpulan Catatan Denny JA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Riset Januari 2025: Pilkada Sebaiknya Mengikuti Aturan PILPRES yang Baru Oleh Denny Ja

15 Januari 2025   18:05 Diperbarui: 15 Januari 2025   18:05 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bingimage.com AI

Riset Januari 2025:

PILKADA SEBAIKNYA MENGIKUTI ATURAN PILPRES YANG BARU

 *Setiap Partai Dibolehkan Mencalonkan Kepala Daerah

Oleh LSI Denny JA

Sebanyak 68,19 persen data memberikan sentimen positif atas putusan MK tahun 2024, yang membolehkan setiap partai politik mengajukan calon presiden.

Agar sebangun dengan aturan pilpres yang baru, aturan pilkada harus pula diubah. Bukan kepala daerah dipilih oleh DPRD, tapi sebagaimana pilpres, pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat, dan setiap partai politik dibolehkan mengajukan calon kepala daerah.

Demikianlah salah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, yang dilakukan pada tanggal 2-7 Januari 2025. Ini bukan hasil survei opini publik yang biasa kami gunakan.

Tapi ini hasil inovasi LSI Denny JA yang baru, yaitu aplikasi yang membaca percakapan di media sosial dan media online di internet.

Ini analisis isi komputasional menggunakan alat "LSI Internet" untuk mendeteksi topik dan sentimen publik. Informasi dikumpulkan dari berbagai platform digital seperti media sosial, berita online, blog, forum, video, hingga podcast.

Sentimen yang dikaji hanya yang positif dan negatif, tanpa memasukkan sentimen netral.

-000-

Mayoritas percakapan melihat keputusan MK tahun 2024 soal pilpres ini sebagai langkah berani yang membawa demokrasi ke arah yang lebih inklusif.

Setiap partai kini memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan presiden, membuka ruang yang lebih luas bagi representasi rakyat.

Dalam sistem yang baru ini, kompetisi politik tidak lagi menjadi arena dominasi partai besar, tetapi medan perjuangan ide dan visi yang lebih sehat.

Dalam setiap tarikan nafas demokrasi, ada seruan semakin terbukanya kompetisi politik. Seruan itu bergema dalam ruang-ruang politik yang dipenuhi dengan harapan dan kekhawatiran.

Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold, harapan itu semakin nyata. Sebuah keputusan monumental yang menantang status quo, membuka jalan bagi demokrasi yang lebih inklusif, sehat, dan berorientasi pada rakyat.

Namun, momentum ini seharusnya tidak berhenti di tingkat nasional. Pilkada, sebagai cerminan demokrasi lokal, juga perlu mengikuti model ini. Biarkan setiap partai, tanpa terkecuali, memiliki hak untuk mencalonkan kepala daerah. Inilah wajah demokrasi yang sejati.

Riset yang dilakukan LSI Denny JA melalui analisis isi komputasional memperlihatkan dinamika sentimen publik atas putusan ini.

Dari 7.079 percakapan digital yang dikaji, mayoritas bersumber dari berita online dan video, menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap isu ini.

Terhadap putusan MK soal pilpres itu, hanya 31,81 persen responden menunjukkan sentimen negatif.

Kekhawatiran mereka, jika setiap partai dibolehkan mencalonkan capres, ada risiko fragmentasi politik. Akan hadir banyak kandidat presiden yang dapat memecah suara rakyat.

Tetapi, demokrasi yang sejati justru seharusnya memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih dari banyak pilihan. Risiko ini, jika dikelola dengan baik, justru dapat menjadi peluang untuk memperkaya dan memperbanyak pilihan publik dan memperdalam kedewasaan demokrasi.

Lima alasan utama mendukung penghapusan presidential threshold memberikan pandangan yang lebih jelas.

Pertama, demokrasi menjadi lebih inklusif karena semua partai memiliki hak yang sama untuk mencalonkan kandidat.

Kedua, kompetisi politik menjadi lebih sehat karena dominasi partai besar berkurang.

Ketiga, peluang bagi pemimpin baru terbuka lebar, memberikan harapan kepada tokoh-tokoh muda dan inovatif.

Keempat, politik transaksional, yang selama ini menjadi momok dalam sistem politik kita, dapat diminimalkan.

Dan yang terpenting, kelima, partisipasi publik meningkat karena rakyat merasa suara mereka benar-benar berarti. Demokrasi, pada akhirnya, adalah tentang rakyat, bukan elite.

-000-

Sementara itu, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD untuk efisiensi biaya justru memunculkan sentimen yang sangat negatif.

Dari 1.898 percakapan yang dianalisis, 76,3 persen menunjukkan penolakan. Publik khawatir transparansi akan menjadi korban, dan politik transaksional di DPRD akan meningkat.

Hanya 23,7 persen yang mendukung wacana ini, dengan alasan efisiensi biaya.

Tetapi demokrasi bukan sekadar soal efisiensi; ia adalah investasi dalam legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan rakyat.

Solusi untuk perbaikan pilkada justru tetap dengan pemilihan langsung oleh rakyat, tapi setiap partai dibolehkan mencalonkan kepala daerah.

Menerapkan model tanpa ambang batas dalam pilkada, membuat sistem pilkada sebangun dengam sistem pilpres yang baru, yang didorong oleh putusan MK tahun 2024.

Baik di tingkat nasional maupun lokal, sistem ini memberikan ruang yang lebih besar bagi rakyat untuk menjadi aktor utama dalam demokrasi.

Menghapus ambang batas agar setiap partai politik bisa mencalonkan kepala daerah juga menciptakan efisiensi signifikan dalam proses politik, terutama dalam menekan praktik "mahar politik." 

Selama ini, partai besar yang mendominasi proses pencalonan sering meminta mahar tinggi sebagai syarat dukungan, menciptakan biaya politik yang mahal dan tidak transparan. 

Dengan dibolehkannya semua partai mencalonkan presiden atau kepala daerah, kompetisi menjadi lebih merata, mengurangi dominasi partai besar, dan memberikan lebih banyak pilihan kepada kandidat tanpa harus membeli dukungan partai tertentu. 

Efisiensi ini tidak hanya menghemat biaya politik kandidat, tetapi juga mengurangi insentif untuk praktik korupsi politik yang sering terjadi dalam proses negosiasi dukungan partai.

-000-

Pilkada: Antara Pilihan Rakyat dan DPRD

Kini berkembang kuat wacana di DPR agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan melalui DPRD, bukan lagi dipilih langsung oleh rakyat.

Alasan utama yang diajukan adalah efisiensi biaya dan upaya menghindari praktik money politics yang kerap terjadi dalam pemilihan langsung.

Pemilihan melalui DPRD dianggap lebih hemat karena tidak melibatkan logistik besar-besaran dan proses panjang yang biasanya membebani anggaran negara.

Selain itu, mekanisme ini diklaim dapat mengurangi potensi politik uang karena prosesnya hanya melibatkan anggota DPRD yang jumlahnya terbatas.

Namun, ada risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Pilkada melalui DPRD berpotensi merampas hak rakyat untuk menentukan pemimpin mereka secara langsung.

Demokrasi sejati adalah ketika setiap warga negara memiliki suara yang sama dalam menentukan arah daerahnya.

Jika pemilihan dialihkan ke DPRD, rakyat akan merasa terputus dari proses politik yang menentukan masa depan mereka.

Selain itu, justru di DPRD, politik transaksional dapat semakin menguat. Proses lobi-lobi politik tertutup untuk memilih kepala daerah sangat rentan terhadap negosiasi kepentingan kelompok kecil.

Pilkada langsung, meskipun mahal, memberikan legitimasi yang lebih kuat kepada pemimpin terpilih karena langsung mendapat mandat rakyat.

Demokrasi bukan sekadar efisiensi, melainkan kepercayaan rakyat pada sistem yang inklusif dan adil. Pilkada langsung adalah jalan terbaik untuk mewujudkan hal itu.

-000-

Menjaga Demokrasi dalam Fragmentasi Politik

Dalam setiap sistem demokrasi, kebebasan untuk mencalonkan pemimpin adalah denyut nadi yang memompa kehidupan politik. Namun, kebijakan yang membolehkan semua partai mencalonkan presiden atau kepala daerah membuka pintu bagi tantangan besar: fragmentasi politik. 

Jika presiden atau kepala daerah terpilih berasal dari partai kecil yang minim kursi di parlemen, fenomena divided government menjadi tak terhindarkan. 

Dalam situasi ini, presiden dari minoritas parlemen menghadapi oposisi mayoritas parlemen yang dapat melumpuhkan kebijakan dan visi kepemimpinannya.

Namun, demokrasi memiliki caranya sendiri untuk bertahan. Sejarah mengajarkan bahwa kekuatan koalisi adalah solusi paling elegan. Presiden atau kepala daerah yang terpilih harus mampu merangkul partai-partai lain untuk membentuk koalisi yang solid di parlemen. Koalisi ini bukan sekadar aliansi politik, tetapi sebuah jembatan antara visi kepemimpinan dan dukungan legislatif. 

Dengan koalisi yang mayoritas, kebijakan pemerintah menjadi lebih terjamin, dan stabilitas politik dapat dipertahankan. Inilah seni politik demokrasi: berkompromi tanpa mengorbankan prinsip.

Namun, ada tantangan lain yang mengintai demokrasi kita: praktik calon tunggal melawan kotak kosong. Ketika seorang calon memborong dukungan hampir semua partai, kompetisi sejati hilang. 

Demokrasi menjadi formalitas tanpa ruh. Dalam sejarah, pemilu tanpa kompetisi kerap melahirkan pemimpin yang kehilangan legitimasi moral, meskipun menang secara hukum.

Kompetisi dalam pemilu bukan sekadar simbol, tetapi esensi demokrasi itu sendiri. Ia menciptakan arena di mana ide bertarung, visi diuji, dan rakyat menjadi hakim sejati. 

Ketika pemilih diberikan pilihan, mereka merasa didengar dan dihormati. Pilihan ini tidak hanya memperkaya perdebatan publik tetapi juga mendorong kandidat untuk menghadirkan program-program terbaik.

Larangan bagi calon untuk memborong partai adalah langkah penting untuk menjaga demokrasi yang sehat. Dengan mencegah monopoli dukungan politik, pemilu tetap menjadi ruang kompetisi yang hidup. 

Demokrasi sejati membutuhkan lebih dari sekadar kotak suara; ia membutuhkan suara-suara yang bersaing, ide-ide yang bertarung, dan rakyat yang diberdayakan untuk memilih.

Dalam era yang penuh tantangan ini, kita diingatkan bahwa demokrasi, meski tidak sempurna, adalah sebuah perjalanan. Fragmentasi politik bukan akhir dari cerita, tetapi babak baru yang menguji kekuatan dialog, kompromi, dan inovasi dalam memimpin. 

Di tengah kompleksitasnya, demokrasi tetap menjadi jalan yang paling manusiawi untuk menemukan pemimpin sejati. 

-000-

Pilkada, seperti halnya pilpres, harus mencerminkan semangat inklusivitas dan kompetisi yang sehat.

Hasil riset LSI Denny JA memberi pandangan: jika setiap partai, setiap rakyat, setiap suara memiliki hak memilih pemimpinnya, mekanisme ini lebih menjamin lahirnya para pemimpin baru yang lebih dekat dengan suasana zamannya.

Demokrasi adalah ladang subur, dan hak memilih adalah bibitnya. Ketika setiap partai diberikan hak mencalonkan pemimpin, dan setiap rakyat diberikan hak memilih sendiri pemimpinnya secara langsung, akan lahir pohon-pohon kepemimpinan yang berakar kuat pada tanah zamannya.

Lima Kesimpulan Utama dari Esai Ini 

1. Demokrasi yang Inklusif dan Kompetitif.

Penghapusan ambang batas (presidential threshold) menciptakan demokrasi yang lebih inklusif, di mana semua partai memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan kandidat, sehingga memperkaya representasi politik rakyat.

2. Pilkada Sebaiknya Sebangun dengan Pilpres. 

Pilkada, seperti pilpres, sebaiknya tetap dipilih langsung oleh rakyat. 

Selain itu, setiap partai juga harus memiliki hak yang sama untuk mencalonkan kepala daerah, mencerminkan demokrasi yang lebih adil dan inklusif.

3. Manfaat Model Tanpa Ambang Batas

Sistem tanpa ambang batas membuka peluang bagi pemimpin baru, mengurangi dominasi partai besar, dan meningkatkan partisipasi publik karena rakyat merasa lebih terwakili.

4. Strategi Mengelola Fragmentasi Politik.

Risiko fragmentasi politik akibat banyaknya kandidat dapat dikelola dengan koalisi partai yang solid, mekanisme pemilu dua putaran (jika belum ada calon yang peroleh 50 persen (+1) dukungan atau lebih, akibat banyaknya calon) dan regulasi yang melarang monopoli dukungan partai pada satu calon.

5.Larangan Pilkada dengan Kotak Kosong. 

Pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong melemahkan esensi demokrasi. 

Larangan calon tunggal mendorong kompetisi yang sehat, memastikan rakyat memiliki pilihan nyata, dan menguatkan legitimasi pemimpin yang terpilih.

"Demokrasi laksana kapal yang berlayar; evaluasi dan perubahan atasnya harus menjadi kompas yang menuntunnya ke arah tujuan, bukan malah menjadi angin badai yang menenggelamkannya." ***

Jakarta, 15 Januari 2025

REFERENSI:

Link Riset LSI Denny JA bisa diklik di sini:

https://drive.google.com/file/d/1Barhviez6vIGE1V7B4huvkruONFnrf5I/view?usp=drivesdk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun