Rumah Abu Wan Lie Chie
Setelah kami puas menjelajahi mesjid Al Alam, kami menyusuri jalan aspal yang dipandu oleh Mbak Ira menuju rumah penitipan abu jenazah Wan Lie Chie. Uniknya memasuki area ini ada 2 gedung untuk tempat penitipan abu dan foto yang meninggal. Rumah abu ini berdiri sudah cukup lama usianya 50 tahun lebih dan saat kami kesana penuh sekali foto-foto mereka yang sudah meninggal dimana disampingnya ada guci tempat abu yang meninggal.
Dijelaskan oleh salah satu yang menjaga rumah abu ini ada 2 rumah abu di lokasi tersebut dimana umumnya rata-rata sudah puluhan tahun keberadaannya. Biasanya keluarga terdekat pada saat imlek atau sembayang kubur (chengbeng) yang nanti jatuhnya pada tanggal 5 April mendatang. Disini biasanya yang datang berdo'a di depan foto yang meninggal dan membakar seperti uang-uangan atau barang kesukaan saat almarhum masih hidup. Dimana pengunjung bisa memberi secara langsung disana.
Wihara Lalitavustara
Panas terik yang cukup menyengat dan membakar kulit tidak mengurungkan niat kami melanjutkan langkah kami ke Wihara  Lalitavustara yang terlihat megah. Menurut sejarahnya wihara ini dulunya adalah seorang pedagang Tionghoa yang kapalnya terdampar di daerah Cilincing namun tidak ada air.Â
Saat itu sang pedagang melihat ada tulisan San Guan Da Di yang artinya 3 penguasa yaitu bumi, langit dan air. Lalu si pedagang ini berdo'a kepada dewa agar air laut kembali ada. Ajaib do'a si pedagang di dengar air laut ada kapalpun dapat berlayar kembali. Setelah kembali ke Tionghoa si pedagang berjanji akan datang kembali untuk membangun tempat peribadatan. Dan akhirnya terwujud seperti sekarang ini yang semula adalah klenteng.
Surprise...