Mohon tunggu...
Dennise Sihombing
Dennise Sihombing Mohon Tunggu... Administrasi - Fulltime Blogger

Panggil saya Dennise.Saya ibu dari Rachelle & Immanuelle.Saya suka berkhayal kadang yang agak nyeleneh,he...he...he...for info contact me: dennisesihombing@gmail.com WA : 087874482128

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perayaan Melasti dalam Wisata Bhineka Cilincing

25 Maret 2023   09:49 Diperbarui: 25 Maret 2023   10:49 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer apa kabar....

Di puasa hari ke-2 ini aku mau berbagi cerita ya. Minggu 19 Maret 2023 bahagia banget mendapat kesempatan untuk mengikuti  Kotekatrip-4 jelajah rumah ibadah bersama Wisata Kreatif Jakarta. Yang membuat si Dennise ini semangat bergabung adalah belum pernah jalan-jalan ke Cilincing. Padahal di usiaku yang 40+++  dengan domisili Depok (dari dulunya) tentunya tidaklah jauh ya jarak Depok- Cilincing. Kalau lewat tol paling 60 menit. Tapi entah mengapa beberapakali sampainya hanya di pelabuhan Tanjung Priuk dan Plumpang saja.

Nah pas tahu rundown acaranya ke Masjid Al Alam Cilincing, pelabuhan nelayan, rumah abu, kelenteng dan wihara Lalitavustara, tempat pembakaran mayat, Pura Sagara dan melihat Perayaan Melasti ini yang buat aku semangat. Selesai ibadah di gereja jam 10 pagi aku langsung beranjak menuju Cilincing dengan transportasi umum kereta, busway dan motor online.

Mesjid Al Aman/Foto: Windu
Mesjid Al Aman/Foto: Windu
Jarak tempuh Depok Cilincing sekitar 150 menit lumayan macet dan jauh. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah bagiku ketika sampai di tempat tujuan yang pertama yaitu rumah ibadah Masjid Al Alam Cilincing. Oh ya sepanjang Wisata Bhineka Cilincing hadir sebagai guide kami Ira Latief. Wanita berwajah manis ini begitu fasih menceritakan sejarah secara keseluruhan rumah ibadah.

Salah satu ruangan untuk berdo'a/Foto: Windu
Salah satu ruangan untuk berdo'a/Foto: Windu

"Mesjid ini didirikan oleh Fatahillah dimana dulunya terjadi perang melawan penjajah Portugis yang hendak mengambil Sunda Kelapa. Mesjid yang berdirinya sama dengan ulangtahun kota Jakarta yaitu tanggal 22 Juni 1927", ucap Mbak Ira begitu aku biasa memanggil. Lokasi mesjid ini berdekatan dengan rumah penduduk dan di depannya ada laut tempat nelayan memancing. 

"Nanti setelah kita ikuti perayaan Melasti, kita mampir lagi ke laut yang ada di depan ya. Melihat langsung suasana lingkungan laut di sore hari. Sekarang kita berkeliling mesjid saja dulu"

Bedug/Foto:Windu
Bedug/Foto:Windu

Sungguh takjub aku saat masuk ke dalam area mesjid yang cukup luas dimana disana ada bedug besar sekali yang sepertinya usianya lebih dari 1 abad namun masih terawat. Oh ya saat kita masuk di dalamnya ada satu tulisan menarik wasiat dari Sunan Gunung Jati yang ditulis dalam bahasa Jawa  Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin yang artinya Aku titipkan mesjid dan fakir miskin. Saat aku kesana ada beberapa ummat yang sedang sholat secara khusuk.

Foto: Windu
Foto: Windu

Rumah Abu Wan Lie Chie

Setelah kami puas menjelajahi mesjid Al Alam, kami menyusuri jalan aspal yang dipandu oleh Mbak Ira menuju rumah penitipan abu jenazah Wan Lie Chie. Uniknya memasuki area ini ada 2 gedung untuk tempat penitipan abu dan foto yang meninggal. Rumah abu ini berdiri sudah cukup lama usianya 50 tahun lebih dan saat kami kesana penuh sekali foto-foto mereka yang sudah meninggal dimana disampingnya ada guci tempat abu yang meninggal.

Aku di depan Pagoda/Foto: WKJ
Aku di depan Pagoda/Foto: WKJ

Dijelaskan oleh salah satu yang menjaga rumah abu ini ada 2 rumah abu di lokasi tersebut dimana umumnya rata-rata sudah puluhan tahun keberadaannya. Biasanya keluarga terdekat pada saat imlek atau sembayang kubur (chengbeng) yang nanti jatuhnya pada tanggal 5 April mendatang. Disini biasanya yang datang berdo'a di depan foto yang meninggal dan membakar seperti uang-uangan atau barang kesukaan saat almarhum masih hidup. Dimana pengunjung bisa memberi secara langsung disana.

Tempat penyimpan abu jenazah dan penjualan perlengkapan sembayang/Foto: Windu
Tempat penyimpan abu jenazah dan penjualan perlengkapan sembayang/Foto: Windu

Wihara Lalitavustara

Tampak dari depan/Foto: Windu
Tampak dari depan/Foto: Windu

Panas terik yang cukup menyengat dan membakar kulit tidak mengurungkan niat kami melanjutkan langkah kami ke Wihara  Lalitavustara yang terlihat megah. Menurut sejarahnya wihara ini dulunya adalah seorang pedagang Tionghoa yang kapalnya terdampar di daerah Cilincing namun tidak ada air. 

Di depan tempat sembayang/Foto Kang Bugi
Di depan tempat sembayang/Foto Kang Bugi

Saat itu sang pedagang melihat ada tulisan San Guan Da Di yang artinya 3 penguasa yaitu bumi, langit dan air. Lalu si pedagang ini berdo'a kepada dewa agar air laut kembali ada. Ajaib do'a si pedagang di dengar air laut ada kapalpun dapat berlayar kembali. Setelah kembali ke Tionghoa si pedagang berjanji akan datang kembali untuk membangun tempat peribadatan. Dan akhirnya terwujud seperti sekarang ini yang semula adalah klenteng.

Surprise...

Kitab suci Tripitaka/Foto: Windu
Kitab suci Tripitaka/Foto: Windu

Saat berkunjung kesana kami bertemu dengan Ibu Veronika salah satu ummat yang rajin datang untuk beribadah di wihara ini. Wanita ini menceritakan di wihara ada satu ruangan khusus untuk siapa saja yang mau datang beribadah. Namun khusus hari Minggu ada jam ibadahnya yaitu pagi -sore dan  kitab suci Tripitaka adalah bacaan yang dipakai saat sembayang. Beruntungnya kami diijinkan untuk masuk ke rumah ibadah oleh ibu Vero. Ruangannya cukup luas , nyaman ber-AC. Di bagian tengah adalah tempat sembayag ummat tidak ada tempat duduk tetapi cara beribadahnya dengan berlutut dan disana disediakan bantalan untuk berdo'a. 

Ruang ibadah/Foto: Windu
Ruang ibadah/Foto: Windu

Selesai mengunjungi ruang ibadah, kami berkeliling ke wihara lalilavustara. Disini banyak tempat dengan berbagai patung dewa yang bisa dipakai ummat untuk berdo'a meminta misalnya rejeki, jodoh, kesehatan maupun keberhasilan dalam usaha. Oh ya dalam lingkungan wihara ini juga ada  Sekolah Tinggi Agama Buddha Maha  Prajna.  Dimana kelak lulusannya nanti bisa menjadi biksu.

Penampakan bagian belakang/Foto: Windu
Penampakan bagian belakang/Foto: Windu

Patung dewa tempat berdoa/Foto: Windu
Patung dewa tempat berdoa/Foto: Windu

Cukup puas kami berkeliling di vihara yang usianya sudah beradab-abad ini. Oh ya di depan vihara sebelum masuk ada satu patung dari Thailand patung ini unik karena memiliki 4 wajah. Patung ini masih baru ini terlihat dengan tampilannya yang masih mulus. Sekeliling patung ada banyak sesajen dilengkapi dengan tulisan bahasa Thailand.

Patung 4 wajah/Foto Windu
Patung 4 wajah/Foto Windu

Perayaan Melasti 

Dan trip kami yang terakhir adalah mengikuti perayaan upacara Melasti, apa itu? ini adalah proses penyucian diri ummat Hindu sebelum perayaan hari raya Nyepi yang tahun ini jatuh pada tanggal 22 Maret 2023. Khusus di Jabotabek  perayaan Melasti diadakan di Pura Sagara yang terletak di tepian pantai Cilincing Jakarta Utara.  

Saat kami kesana prosesi upacara sedang berlangsung, karena tempat suci pengurus pura menanyakan pada kami adakah diantara kami yang sedang berhalangan? beruntung kami 6 perempuan yang hadir dalam kondisi bersih, jadi....kami diijinkan untuk hadir disana. 

Sesajen yang dibawa ummat/Foto: Windu
Sesajen yang dibawa ummat/Foto: Windu

Berbagai sesajen dibawa ummat Hindu yang datang sembayang kesana. Sesajen ini sesuai dengan kemampuan, uniknya selain makanan ada uang juga yang diselipkan. Ada 20 ribuan, 50 ribuan dan 100 ribuan. Oh ya sukacita yang tak terhingga karena aku da teman-teman mendapat kesempatan juga mendapat percikan air suci yang sudah didoakan pendeta Bali. Air ini diyakini sebagai berkat untuk ummat yang hadir. 

Ummat mendapat percikan air/Foto: Windu
Ummat mendapat percikan air/Foto: Windu

Pendeta yang hadir tidaklah satu tetapi banyak, lebih dari 6 orang. Karena saat itu ummat Hindu yang hadir di Pura Sagara lumayanbanyak. Sepertinya lebih dari 500 orang. Dan tentunya semua yang hadir berharap mendapat percikan air. Sekitar 2 jam kami mengikuti jalannya upacara yang berjalan secara khusuk dan penuh hikmat. 

Suasana khusuk saat berdoa/Foto: Windu
Suasana khusuk saat berdoa/Foto: Windu

Sepulang dari upacara Melasti perut lumayan keroncongan apalagi kalori yang terbakar lumayan banyak, he...he...he... karena rute perjalanan kami mulai dari Masjid Al Alam hingga Pura Sagara semua ditempuh dengan berjalan kaki. Oh ya makanan disana lumayan banyak mulai dari bakpao (ini kesukaanku), sate lilit khas Bali. Ada 2 rasa untuk sate ini yang halal (daging ayam) dan non halal (daging babi). Begitupun cemilan yang ada mulai dari kerupuk kulit B2 (babi), ketan yang dibungkus dengan daun berisi kacang kedelai (kalau di Jakarta sering disebut lepet).

Usai sudah perjalanan kami dari siang hingga sore dan terakhir sesuai dengan janji kami mengunjungi pantai tempat nelayan mencari ikan yang berada tepat di depan Masjid Al Alam.

View perahu nelayan/Foto WKJ
View perahu nelayan/Foto WKJ

"Happy, happy dan happy"

Itulah hal yang aku rasakan. Terimakasih Koteka, terimakasih Wisata Kreatif Jakarta 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun