Atas saran seorang tetangga, kami pun membawa ibu ke kampung ini. Untuk menjalani perawatan secara tradisional. Dan ibu pun setuju. Asal bukan Operasi. Di kampung yang jauh dari peradaban. Karena tak ada televisi. Apalagi sinyal. Aku seperti terisolasi. Menemani ibu yang setiap pagi ditangani oleh seorang kyai paruh baya.
Ibu dijampe-jampe dibagian yang sakit. Dipijit pelan-pelan. Dijemur dan meminum ramuan dari sang kyai. Tugasku merawat ibu seperti bayi. Mandi dan buang air di tempat tidur.
Hiburanku hanya buku dan sesekali nongkrong di warung nasi yang hanya satu-satunya. Ngobrol dengan sesama penunggu pasien. Yang salah satunya suamiku ini. Yah, di sinilah aku mengenal suamiku. Kami sama-sama menjaga orang tua di sini.
Aku menoleh ke arah suamiku. Sadarkah ia akan hal ini? Ia serius menatap jalanan yang masih sama seperti dulu. Rusak dan berbatu-batu.Â
Tak lama kami tiba di sebuah halaman yang luas. Halaman rumah sang kyai.Â
"Sudah sampai. Yuk turun, say," ajak suamiku.
"Kamu ada pekerjaan di sini, say?" tanyaku tak mengerti.
"Enggak. Kangen saja dengan suasana di sini. Kangen dengan senyum malu-malu seorang gadis yang kukenal di sini. Jadi sekalian saja silaturahmi dengan pak kyai."
"Sayang, kamu kok enggak bilang-bilang sih. Aku jadi belum beli apa-apa untuk buah tangan."
"Ada di belakang. Aku sudah siapkan tadi malam."
"Oh, ya? Kenapa enggak memberitahu aku?"