"Iya, ya,"Â sahutku.
"Hari ini aku ambil cuti sehari. Kamu tak usah masuk kerjalah say. Ijin sakit atau apa. Temani aku saja. Kita berangkat sambil ngedrop anak-anak di sekolah."
Aku bingung memikirkan alasan tak masuk kerja. Tetapi menemani suami tawaran yang menarik. Apalagi aku juga sedang enggan berangkat ke kantor. Malas menghadapi teman-teman yang berbasa-basi mengucapkan selamat ulang tahun.Â
Pada dasarnya aku lebih suka yang privasi. Tidak seperti yang terlihat di televisi. Tetapi sampai sepagi ini suamiku biasa saja. Tak ada tanda-tanda memberi kejutan. Atau ucapan apa gitu. Aku pun diam saja tak ingin menyindir-nyindir.Â
Usai mengabarkan bahwa aku tak masuk kerja hari ini. Aku mempersiapkan keperluan untuk pergi hari ini. Walaupun aku tak tahu akan pergi kemana.Â
Namun sebagai seorang istri dokter aku sudah tanggap. Terkadang suamiku pergi ke kampung-kampung yang bisa dibilang pelosok. Ada yang urusan dinas atau hanya sekadar membantu kawan sesama dokter di sana atas permintaan si kawan.
"Aku kok seperti pernah ke arah kampung ini deh say. Apa benar dugaanku?"Â tanyaku setelah mencapai setengah perjalanan.
"Iya, benar,"Â sahut suamiku.
Aku tak bertanya lebih jauh. Kemana pun suamiku menuju itu memang bagian dari tugasnya. Hanya saja kampung yang kami tuju ini memiliki kenangan tersendiri bagiku. Jadi kunikmati perjalanan ini sambil melihat-lihat pemandangan di luar.Â
Terbayang bagaimana khawatirnya wajah kakak dan adikku saat membawa ibu ke sini. Terbayang wajah ibu yang menahan sakit. Ya, inilah kampung di mana aku pernah tinggal satu bulan menemani ibu yang menjalani perawatan tradisional patah tulang.
Ibu mengalami kecelakaan lalu lintas dan divonis lumpuh jika tidak menjalani operasi tulang ekor dan punggung. Ibu tidak mau dioperasi. Tetapi kami pun tak tega melihat ibu tergeletak tak berdaya.