Deni Firman Nurhakim
(Penghulu Ahli Madya / Kepala KUA Karawang Timur, Kab. Karawang, Jawa Barat)
Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu, penulis didatangi oleh calon pengantin (catin) perempuan yang akan menikah di suatu daerah di Jawa Tengah. Ia menyampaikan bahwa ayah kandungnya tidak bisa hadir saat akad nikah nanti. Selain ada pekerjaan, ayahnya itu juga merasa kikuk bila harus bertemu dengan ibunya yang nota bene kini sudah menjadi mantan isterinya.
Setelah menyimak ceritanya, penulis mengundang ayah catin tersebut ke KUA untuk melakukan ikrar taukil wali bil kitabah (pernyataan tertulis mewakilkan wali). Dan pada waktu yang telah ditentukan, sang ayah datang dan melakukan ikrar mewakilkan wali nikah di hadapan dua orang saksi dan dipimpin oleh penulis.
Surat taukil wali tersebut bersama dokumen lainnya dibawa oleh catin perempuan ke KUA yang mewilayahi tempat akad nikahnya. Beberapa hari kemudian, yang bersangkutan kembali mendatangi KUA kami untuk meminta Surat Keterangan tentang Wali Nikahnya adalah Wali Hakim. Alasan yang disampaikan oleh catin perempuan kepada penulis, kedua orangtuanya tidak memiliki Buku Nikah. Dulu, mereka menikah hanya secara agama Islam dan pernikahannya tidak dicatatkan di KUA. Menurut Petugas KUA di sana, sambungnya, pernikahan tersebut dihukumi tidak sah. Sehingga ayah kandungnya tidak berhak menjadi wali nikah, dan harus berpindah ke wali hakim. Surat ikrar taukil wali bil kitabah yang kami terbitkan ditolak dan minta diganti dengan Surat Keterangan tersebut.
Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh penulis karena alasan yang disampaikan dinilai tidak berdasar. Bagaimana tidak berdasar, merujuk Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang didapuk sebagai Fiqih Indonesia, peralihan wali nasab ke wali hakim itu hanya terjadi bila wali nasab tidak ada (dan ini, ayah kandungnya sebagai wali mujbir ada !), atau tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib, atau 'adlal atau enggan. Dan PMA No. 22 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan di Pasal 13 ayat (5) menambahkan dengan: "wali nasab tidak ada yang beragama Islam; dan wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri".
Melalui tulisan ini, penulis mencoba merespon alasan yang dikemukakan oleh rekan sesama penghulu di KUA tersebut dan alasan-alasan lain yang ditambahkan oleh rekan-rekan  sesama penghulu lainnya yang memiliki pemahaman yang sama dengannya yang dikemukakan dalam diskusi kecil yang dipantik oleh penulis di WA Grup "APRI Nasional 2" mulai tanggal 15 hingga 17 Oktober 2024 yang lalu.
Tulisan ini akan dibuka dengan pembahasan tentang pengertian nikah tidak tercatat yang secara simplistis diidentikkan dengan nikah sirri, dilanjut dengan uraian tentang dasar sahnya suatu pernikahan, serta apa konsekuensi hukum bagi suatu pernikahan yang dilangsungkan oleh wali nikah yang tidak berhak. Dan di bagian penutup, akan disajikan kesimpulan dan saran.
***