Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Haruskah Menikah Menggunakan Wali Hakim bila...?

31 Desember 2024   00:20 Diperbarui: 31 Desember 2024   00:49 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penghulu di ruang kerja (dok.pri)

Ketentuan pencatatan itu tidak dimasukan oleh para penyusun KHI sebagai penentu kesohihan pernikahan, karena isi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mendeklarasikan bahwa penentu sahnya suatu pernikahan itu adalah berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Memperkuat argumen di atas, dalam penjelasan umum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan angka 4 butir b disebutkan,

"Dalam UU ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar dalam pencatatan".

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui secara terang benderang, bahwa pencatatan pernikahan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya pernikahan. Pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, bukan faktor yang menentukan sah/tidaknya pernikahan. Adapun faktor yang menentukan sahnya pernikahan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai (lihat Pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUU-VIII/2010).

Dengan demikian, bila dalam suatu majelis pernikahan secara Islam, ada calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ada ijab-qobul yang seluruhnya memenuhi syarat berdasarkan norma agama Islam, maka pernikahan tersebut dihukumi sah, sekalipun tidak dicatatkan di KUA setempat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah soal siapa yang berwenang melakukan penetapan sahnya pernikahan yang tidak tercatat itu? Apakah hanya Pengadilan Agama (PA) dengan putusan itsbat nikah-nya, atau penghulu pun berwenang untuk itu?

Menurut analisa penulis, dalam konteks tersebut, keduanya berwenang menetapkan sah/tidaknya suatu pernikahan. Bedanya, penetapan dari PA berakibat pada sah dan resminya pernikahan secara hukum Islam dan hukum negara. Sedangkan penetapan penghulu hanya berakibat pada sahnya pernikahan secara hukum Islam.

Karena kalau sahnya semua pernikahan yang tidak tercatat itu bergantung kepada itsbat nikah dari PA, maka logikanya, pernikahan secara agama orangtua-orangtua zaman dahulu yang tidak di-itsbat nikah-kan oleh PA dihukumi tidak sah semua. Dan bila demikian halnya, maka anak-anak keturunannya juga berstatus anak di luar pernikahan. Sebuah problem hukum yang dahsyat luar biasa !

Problem tersebut menjadi terselesaikan bila penghulu yang menurut Ahmad Bahiej (Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Kemenag RI) adalah satu-satunya jabatan profesi hukum di Kemenag (dikutip dari Hayyun Nur, 26 Nov 2023), dengan tanggung jawab hukum yang disandangnya itu didudukkan sebagai pihak yang juga berwenang menetapkan sahnya suatu pernikahan yang tidak tercatat dan tidak dihadirinya itu berdasarkan informasi yang digali dari para pihak terkait, dalam hal ini pasangan suami isteri dan atau wali nikah dan atau saksi-saksi, serta bukti-bukti lain yang disajikan. Bila dengan itu semua penghulu masih merasa kurang yakin, maka ia tidak dilarang mengambil sumpah dari para pihak tersebut. Hal itu sejalan dengan Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim (lihat hadits ke-33 dalam Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah):

"... albayyinatu 'alal mudda'i, wal yamiinu 'alaa man ankaro"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun