(... Â yang menuduh diperintahkan mendatangkan bukti. Sedangkan yang mengingkari tuduhan cukup bersumpah).
Hukum Pernikahan menggunakan Wali Nikah yang Tidak Berhak
Â
Menurut syariat Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Apabila kedua unsur tersebut tidak terpenuhi, maka perbuatan hukum itu dianggap tidak sah menurut hukum (Departemen Agama RI, 2008: 23). Menikah adalah perbuatan hukum, sehingga sahnya suatu pernikahan pun bergantung pada terpenuhi-tidaknya semua rukun dan syaratnya.
Berdasarkan Pasal 14 KHI, untuk melaksanakan perkawinan itu harus memenuhi 5 (lima) rukun, yakni: 1. Calon Suami; 2. Calon Isteri; 3. Wali Nikah; 4. Dua Orang Saksi; dan 5. Ijab - Kabul, dengan segenap syaratnya masing-masing yang tersaji mulai Pasal 15 sampai dengan Pasal 29 KHI.
Di Pasal 20 ayat (1) KHI disebutkan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh, serta ditambah syarat adil oleh Pasal 12 ayat (2) PMA No. 22 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. Dan di Pasal 20 ayat (2) KHI disebutkan bahwa wali nikah itu terdiri dari: a. Wali Nasab; dan b. Wali Hakim.
Secara tertib, sebagaimana tercantum di pasal 21 KHI, kelompok wali nasab yang memiliki derajat kekerabatan yang lebih dekat dengan catin perempuan dan memenuhi syarat harus didahulukan menjadi wali nikah daripada kelompok wali nasab yang jauh hubungan kekerabatannya.
Adapun wali hakim -seperti telah diuraikan di awal tulisan- baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila sudah tidak ada lagi wali nasab (putus wali nasab), atau tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib, atau 'adlal atau enggan (periksa Pasal 23 KHI). Dan PMA No. 22 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan di Pasal 13 ayat (5) menambahkan dengan: "wali nasab tidak ada yang beragama Islam; dan wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri".
Alhasil, berdasarkan ketentuan tentang tertib wali nikah sebagaimana disinggung di atas, bila suatu pernikahan diselenggarakan dengan wali nikah yang menyalahi urutan wali, padahal wali yang berhak masih ada dan memenuhi syarat secara norma agama menjadi wali nikah, maka hukum pernikahan tersebut menjadi tidak sah (lihat Al-Husaini, tt: 52). Sehubungan demikian, diperlukan kehati-hatian dan ketelitian penghulu dalam menentukan wali nikah yang berhak dalam suatu pernikahan.
Dalam konteks persoalan yang dibahas di sini, menurut tertib wali nikah, ayah kandung catin perempuan lebih berhak menjadi wali nikah daripada wali hakim. Karena hasil pemeriksaan oleh penghulu menunjukkan bahwa kedua orangtuanya itu telah menikah sah secara agama Islam, sehingga anak yang terlahir pun menjadi anak yang sah karena dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah (lihat Pasal 42 UUP dan Pasal 99 KHI). Selain itu, dikuatkan juga dengan adanya Akta Kelahiran yang membunyikan bahwa catin perempuan itu adalah anak dari ayah dan ibunya, sekalipun diiringi kalimat penjelas, "yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
Dan last but not least, Akta Kelahiran adalah bukti otentik asal-usul seorang anak, sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: "Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang".