Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Haruskah Menikah Menggunakan Wali Hakim bila...?

31 Desember 2024   00:20 Diperbarui: 31 Desember 2024   00:49 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penghulu di ruang kerja (dok.pri)

Nikah Tidak Tercatat

Merujuk Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, "Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sedangkan KHI dalam Pasal 2, memaknai, "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".

Berdasarkan ketentuan di atas, dengan pencantuman kalimat "... berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "... untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah", maka terma "nikah" sebagai dasar hubungan seorang pria dengan wanita harus atas dasar norma agama. Dalam konteks agama Islam, normanya adalah terpenuhi 5 (lima) rukun nikah, yakni: 1. Calon Suami; 2. Calon Isteri; 3. Wali Nikah; 4. Dua Orang Saksi; dan 5. Ijab - Kabul berikut syarat-syaratnya. Sehingga bila dasar hubungan tersebut tidak terpenuhi, maka hubungan antara lawan jenis itu tidak disebut dengan terma "nikah", melainkan "zina".

Adapun yang dimaksud dengan "tidak tercatat" adalah tidak terdaftar di instansi yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks pernikahan umat Islam, instansi pencatat yang berwenang itu adalah Kantor Urusan Agama (KUA).

Dengan demikian, apabila kata "nikah" tersebut disandingkan dengan kata "tidak tercatat", maka hal itu berarti pernikahan yang telah dilangsungkan sah secara norma agama Islam, namun tidak terdaftar di KUA.

Namun, di lapangan telah terjadi analogisasi antara istilah "nikah tidak tercatat" dengan "nikah sirri". Sehingga apabila disebutkan "nikah tidak tercatat", maka pikiran kita akan mengasosiasikannya dengan "nikah sirri" yang memang biasanya tidak tercatat di KUA. Padahal, kedua istilah tersebut jelas tidak sama.

Berdasarkan makna literalnya dalam bahasa Arab, "nikah sirri" tersusun dari dua kata, yakni nikah yang bermakna nikah, kawin; dan sirri yang berarti rahasia, sembunyi (Yunus, tt:167 & 468). Jadi, arti "nikah sirri" adalah pernikahan, baik tercatat atau tidak, yang dilakukan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, terlepas dari apapun motifnya.

Alhasil, suatu pernikahan disebut sirri bila cara penyelenggaraannya itu sembunyi-sembunyi. Berbanding terbalik dengan anjuran Nabi Saw (lihat Al-Kahlani, tt: 116) agar mendeklarasikan nikah usai akad nikah, "a'linuu nikah wa dhribuu 'alaihi bil ghirbaal" (umumkan pernikahan, dan pukullah rebana-HR. At-Tirmidzi), atau anjuran menyelenggarakan walimah (resepsi),  "awlim wa lau bi syaatin" (selenggarakan walimah sekalipun dengan -menyembelih- seekor kambing-HR. At-Tirmidzi).

Penentu Sahnya Pernikahan

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Senada dengan itu, Pasal 4 KHI menegaskan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan".

Ketentuan Pasal 4 KHI tersebut mengafirmasi uraian sebelumnya yang menunjuk norma agama sebagai dasar penentu sahnya suatu pernikahan, bukan norma hukum (baca: regulasi). Karena bila norma hukum yang dijadikan penentu sah-tidaknya pernikahan, maka Pasal 4 KHI tentang kesahan pernikahan akan membunyikannya tidak saja "... sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan", melainkan juga pasal 2 ayat (2), yang mengatur "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun