"Keluarkan seluruh kepandaianmu," kata Baradah.
Akhirnya Sang Maha Pendeta berjata dengan kepastian:
"He, kau, Calon Arang mesti mati!"
Waktu itu juga matilah Calon Arang lenyap api yang keluar masuk dari tubuhnya. Lenyap api yang besar yang seperti rumah terbakar itu. (CCA: 83)
Kekalahan Calon Arang tidak hanya dapat dilihat sebagai kekalahan kekuasaan jahat dari kebenaran. Akan tetapi, secara implisit kekalahan Calon Arang dari Empu Baradah juga mengindikasikan kekalahan perempuan dari suatu sistem patriarki.Â
Kekuasaan perempuan selalu ditempatkan sebagai subordinat dari superioritas laki-laki. Hal ini diverbalisasikan dalam bentuk pencitraan perempuan sebagai sosok yang jahat, kejam, dan tidak berperikemanusiaan. Dengan sosok pencitraan itu, perempuan pantas untuk disingkirkan.Â
Pencitraan berkaitan dengan tatanan wacana yang didominasi laki-laki berkaitan dengan bahasa yang digunakan oleh budaya. Mengenai hal ini, Asep Sambodja mengutip buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 karya R. Soekmono yang mengungkap adanya korelasi antara fiksi dan sejarah Calon Arang berkaitan dengan stereotip negatif Calon Arang.
Ketika Airlangga menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekelilingnya, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Airlangga menaklukan seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa dalam tahun 1032.
Apa yang telah dilakukan Calon Arang dalam Cerita Calon Arang memberikan gambaran berbeda mengenai eksistensi perempuan. Dengan teluh, Calon Arang mampu mengidentifikasi dirinya sebagai pemimpin perempuan yang kuat, tangguh, dan berani.
Sebagai golongan subaltern, ia mampu keluar dari objek yang tretekan dan tidak dapat bersuara. Calon Arang -- dalam sudut pandang yang lain yang tidak melibatkan dikotomi kejahatan/kebenaran -- muncul sebagai perempuan yang dapat memberikan perlawanan terhadap superioritas patriarki.
Wedawati