Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Titik Perempuan Subaltern dalam Novel "Cerita Calon Arang" Karya Pramoedya Ananta Toer

22 November 2021   08:35 Diperbarui: 22 November 2021   08:40 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Golongan subaltern sebagai kelas terendah dalam stratifikasi sosial telah dilemahkan oleh posisi tersebut sehingga mereka tidak bisa bergerak bebas memilih jalan kehidupannya. Subaltern sebagai kelas sosial pada masanya menjadi objek pemanfaatan indiustri penguasa untuk kepentingannya. Suara-suara subaltern tidak akan pernah hidup dan terdengar untuk mempertahankan hak-haknya. Mereka telah membisu oleh kondisi baik secara intern ataupun ekstern.

Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer

Cerita Calon Arang karya Parmoedya Ananta Toer merupakan cerita yang menggambarkan dikotomi manusia dalam balutan kisah hitam/putih, baik/jahat, dan memakai logika/dikotomi yang kental tanpa logika. 

Pendikotomian tersebut oleh Pramoedya diimplementasikan ke dalam tokoh-tokoh cerita. Calon Arang sebagai tokoh utama cerita dicitrakan sebagai perempuan tua yang jahat, kejam, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan Empu Baradah dan Raja Erlangga dicitrakan sebagai sosok pemimpin laki-laki yang berbudi pekerti, berhati mulia, dan penyayang. 

Adanya dikotomi yang kuat dalam Cerita Calon Arang antara perempuan sebagai pembawa sifat jahat dan laki-laki sebagai pembawa sifat baik merupakan hasil dari cara penulisan dan pemikiran maskulin. Mengenai hal tersebut, Cixous mengemukakan pandangannya bahwa:

"Semua hal pemilahan dikotomis mendapatkan inspirasinya dari dikotomi pasangan laki/perempuan, di mana laki-laki diasosiasikan dengan aktif, budaya, terang, atau pada umumnya positif, sedangkan perempuan dengan asosiasi pasif, alam, gelap, rendah, atau secara umum negatif." (Gadis Arivia)

Simbolisasi perempuan jahat yang dilakonkan Calon Arang dapat dipahami sebagai pandangan yang lahir dari suatu sistem patriarki. Sistem ini menstigmatisasikan munculnya klasifikasi antara perempuan dan laki-laki. Pengklasifikasian ini akan menghasilkan suatu oposisi biner yang menempatkan perempuan pada posisi termarginalkan. Strauss menyebutnya sebagai klasifikasi biner.

Calon Arang sebagai Seorang Pendeta

Penempatan perempuan dalam posisi rendah, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan segala sesuatu yang lebih tinggi dapat dilihat dari status dan sifat yang melekat pada tokoh Calon Arang dan Erlangga. Calon Arang digambarkan sebagai sosok pendeta yang jahat berbanding terbalik dengan Erlangga yang digambarkan sebagai sosok seorang raja yang baik.

Calon Arang memang buruk kelakuannya. Ia senang mengaiaya sesama manusia, membunuh, merampas, dan menyakiti. Calon Arang berkuasa. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang.

Sebagai pendeta perempuan pada Candi Dewi Durga banyak sekali murid dan pengikutnya. (CCA: 11)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun