"Tahu engkau siapa Calon Arang?" ejeknya pada bini kepala dusun itu.
Perempuan itu tak menjawab.
"Bilangkan pada orang banyak, Calon Arang yang membuat segala ini." (CCA: 24-26)
Gambaran pada kutipan di atas memperlihatkan kekejaman dan tindakan sewenang-wenang Calon Arang terhadap korbannya. Salah satu korban yang ia bunuh adalah kepala desa.Â
Kepala desa merupakan simbol pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengamankan desa dari bahaya. Namun, di hadapan Calon Arang, kepala desa itu tidak mampu menunjukkan dan memberlakukan kekuasaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa Calon Arang telah merekonstruksi keudukan perempuan ke dalam posisi yang lebih tinggi dalam relasi sosialnya. Ia telah menempatkan dirinya lebih berkuasa dan memiliki kekuatan untuk melakukan papun yang ia inginkan.
Perempuan dalam identifikasi sosok Calon Arang bukanlah sebagai sosok yang lemah. Ia muncul sebagai sosok penguasa dengan cara yang berbeda. Teluh tidak hanya dipandang sebagai perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain, tetapi juga sebagai alat untuk mneunjukkan eksistensi keperempuanannya. Dalam kerangka subaltern, Calon Arang sudah dapat mengatasi ketertekanannya dengan mengkonstruksi dirinya menjadi subjek yang dapat bersuara dan bertindak. Ia telah mampu mengartikulasikan suaranya dengan lantang dan tegas di hadapan kaum lkai-laki. Bahkan, Calon Arang mempertegas eksistensinya dengan memiliki beberapa pengikut setia yang selalu mendampingi dan mendukung tindak-tanduknya. pengikut setianya tidak hanya terbatas pada perempuan, tetapi laki-laki pun menjadi bagian besar dari pengikutnya.
... Di antara murid-muridnya yang terkemuka ialah Weksirsa, Mahisa Wadana, Lendesi, Larung, Buyung, dan Gandi. (CCA: 13)
"Siapa engkau, he laki-laki? Aku belum pernah bertemu."
"Hamba inilah Weksirsa, Sang Maha Pendeta. Dan yang satu ini kawan hamba si Mahisa Wadana. Kami berdua murid Calon Arang yang masyhur ke seluruh negeri itu ..." (CCA: 78)
Kepemimpinan Calon Arang di antara murid-muridnya merupakan bentuk legitimasi kekuasaannya. Walaupun legitimasi itu lahir dari suatu rasa takut, murid-murid Calon Arang telah memberikan pengakuan akan kehebatan gurunya. Melalui simbolisasi perempuan peneluh, Calon Arang mampu mencitrakan dirinya sebagai seorang pemimpin perempuan dan membiaskan dikotomi gender dalam proses penyejajaran dirinya dengan laki-laki.
Proses penyejajaran diri Calon Arang tidak berhenti hingga adanya pertarungan antara Raja Erlangga yang diwakilkan prajurit terbaiknya dengan Calon Arang. Raja merupakan simbol superioritas tertinggi suatu negara harus berhadapan dengan peneluh sebagai simbol inferioritas, bagian dari rakyat biasa. Pertarungan itu berhasil dimenangkan oleh Calon Arang karena prajurit raja tidak mampu menghadapi kekuatan teluhnya.