Yang memerintah negara itu adalah seorang raja. Erlangga namanya. Baginda terkenal bijaksana dan berbudi. Pendeta-pendeta yang buka pertapaan dan asrama sampai jauh di gunung-gunung mendapat perlindungan belaka. (CCA: 9)
Pendeskripsian mengenai perilaku jahat dan baik yang diwakilkan oleh dua tokoh di atas, Calon Arang dan Erlangga, tidak hanya terbatas pada perwakilan dua sisi yang terdapat pada jiwa manusia. Akan tetapi, lebih dari itu, diskriminasi gender telah dilekatkan pada sosok Calon Arang. Calon Arang sebagai seorang perempuan selalu distereotipkan negatif.
Menurut Simone de Beauvoir bahwa perempuan adalah objek dan bukan subjek. Dalam relasi manusia, perempuan dijadikan sebagai "yang lain" (the other). Pendefinisian perempuan sebagai "sang lain" membuat perempuan menjadi lemah posisinya di masyarakat. Ia dijadikan objek terus-menerus, manusia yang tidak bebas sehingga tidak mampu mempertahankan eksistensinya. Gayatri Spivak mengistilahkan hal ini dengan subaltern , yaitu subjek yang tertekan.
Apa yang diperlihatkan Calon Arang dalam praktik sosialnya sangat jauh berbeda. Sebagai "the other", Calon Arang mampu mengukuhkan eksistensi dalam kehidupan sosialnya. Ia bertindak sebagai subjek yang menentukan jalan hidup orang lain yang diperlakukannya sebagai objek. Potensinya sebagai tukang teluh membuat ia muncul sebagai sosok perempuan yang kuat, berpengaruh, dan memiliki kuasa atas lingkungan sosialnya.
Kalau Calon Arang atau salah seorang dari murid-muridnya sedang tidur, tak ada anak berani berseru atau tertawa-tawa. Kalau anak itu berani membuat gaduh di waktu mereka tidur, matilah ia diteluh. (CCA: 24)
"Hinakanlah kami, Calon Arang! Hinakanlah jami!" teriaknya.
Tombaknya ditujukan pada perempuan tukang sihir.
Calon Arang tertawa melihat kepala dusun itu. Tiba-tiba perempuan itu berteriak:
"Bah!"
Kena hawa teriakan itu jadi kaku-kejanglah kepala dusun itu dan ia pun roboh ke tanah ...
Calon Arang dan muridnya tertawa kegirangan.