Prajurit-prajurit itu pun mendekatlah. Cepat kepala pasukan menjambak rambut tukang sihir itu. Dua orang pembantunya mengacungkan pedang terhunus di atas tubuh Calon Arang.
Apakah yang terjadi kemudian? Tangan ketiga prajurit itu sekaligus menjadi kaku kejang kena teluh Calon Arang.
Tukang sihir itu pun bangunlah dari tidurnya. Melihat ketiga prajurit itu meluaplah amarahnya. Matanya merah. Sebentar kemudian menyemburkan api dari matanya itu. Juga hidung, kuping, dan mulutnya merah padam mengeluarkan api yang menjilat-jilat. Terbakarlah prajurit itu. Terbakarlah sampai hangus dan mati di situ juga. (CCA: 34)
Teluh merupakan salah satu hal yang bersifat supranatural. Keahlian teluh Calon Arang mampu melumpuhkan superioritas laki-laki. Calon Arang tidak dapat dilumpuhkan dengan senjata tajam. Kemenangan Calon Arang juga menjadi kemenangan supertisi terhadap ilmu pengetahuan.
... Para prajurit Daha yang tersohor gagah berani dan tak undur menghadapi maut, kini bimbang memikirkan Calon Arang. Sekali ini lawan yang dihadapi bukanlah prajurit musuh. Juga bukan senjata dari besi. Tetapi ... kesaktian tukang sihir. Dan mereka tak tahu sihir. (CCA: 35)
Kutipan di atas memperkuat klasifikasi Strauss yang membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan kemampuan pengetahuannya. Perempuan, menurut Strauss, lekat dengan hal-hal supertisi atau takhayul, sedangkan laki-laki melekat dengan pengetahuan ilmiah. Ketidakmampuan prajurit Daha menghadapi Calon Arang dilatarbelakangi ketidaktahuannya mengenai hal-hal yang berbau sihir. Prajurit Daha terbiasa bertarung dengan kekuatan yang sifatnya nyata dan logis.
Namun, kemampuan sihir Calon Arang akhirnya dapat ditandingi dan diatasi oleh Empu Baradah, seorang pendeta dari Lembah Tulis. Empu Baradah dapat membunuh Calon Arang karena berhasil mencuri kitab bertuah Calon Arang yang berisi segala rahasia sihirnya. Kitab itu dicuri oleh Empu Bahula atas bantuan Ratna Manggali, istrinya yang juga anak dari Calon Arang.
Sangat girang hati Empu Bahula menerima kitab bertuah itu.
"Sekarang terpeganglah semua rahasianya," pikirnya.
Setelah mendapat barang itu ia pamitan dengan istrinya. (CCA: 74)
Lama api itu membakar Sang Empu. Dan Calong Arang terus meniup sambil meraung seperti singa. Api tambah besar. Tambah besar. Tetapi Empu Baradah tidak terbakar olehnya.