Mohon tunggu...
Dendra Ardiyansyah
Dendra Ardiyansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Dendra Ardiansyah, 42321010069, Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak - Desain Komunikasi Visual

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aplikasikan Teori dari John Peter Bologna dan Robert Klitgaard

31 Mei 2023   23:08 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:08 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NAMA: DENDRA ARDIANSYAH

NIM: 42321010069

MATKUL: ETIK DAN ANTI NARKOBA

DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. Apollo M.Si, Ak, CA, CIBV, CIBG

MERCU BUANA

APA ITU KORUPSI?

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok secara tidak sah atau tidak etis. Hal ini melibatkan penyalahgunaan atau pelecehan kekuasaan oleh pejabat pemerintah, pejabat publik, atau individu yang memiliki posisi penting dalam organisasi atau lembaga. Tindakan korupsi dapat berupa suap, nepotisme, pemerasan, penyuapan, penggelapan dana publik, atau manipulasi kontrak.

Dampak negatif korupsi terhadap masyarakat dan pembangunan negara sangat merugikan. Beberapa dampak tersebut meliputi sebagai berikut:

Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan peluang, yang berpotensi menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih besar.

Penghambatan investasi dan pembangunan ekonomi yang sehat karena dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik disalahgunakan.

Kerusakan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga publik, yang dapat mengganggu stabilitas politik dan mengurangi partisipasi publik dalam proses demokratis.

Peningkatan kemiskinan karena penyalahgunaan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk mengurangi kemiskinan, seperti dana yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan dan perawatan kesehatan.

Pelemahan sistem hukum karena korupsi dapat merusak independensi sistem peradilan dan menghambat penegakan hukum. Koruptor seringkali berhasil menghindari pertanggungjawaban hukum, yang berkontribusi pada berlanjutnya siklus korupsi.

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi menjadi prioritas di banyak negara. Upaya untuk melawan korupsi melibatkan peran aktif pemerintah, lembaga anti-korupsi, masyarakat sipil, dan warga negara dalam mempromosikan transparansi, akuntabilitas, integritas, dan keadilan dalam pengelolaan kekuasaan publik dan sumber daya negara.

KENAPA KORUPSI BISA TERJADI?

Korupsi dapat terjadi karena adanya kombinasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu dan struktur sosial. Beberapa faktor yang menyebabkan korupsi antara lain kelemahan tata kelola, rendahnya gaji dan insentif, budaya toleransi terhadap korupsi, ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat, serta ketidaktegasan dalam penegakan hukum.

Kelemahan dalam tata kelola, seperti kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pengawasan yang efektif, memberikan celah bagi korupsi untuk terjadi. Rendahnya gaji yang diterima oleh pejabat publik atau pegawai pemerintah dapat mendorong individu mencari cara-cara ilegal atau tidak etis untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Budaya yang menerima atau menghargai korupsi juga dapat mempengaruhi perilaku individu dalam melakukan tindakan korupsi. Ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat terhadap dampak negatif korupsi serta kurangnya pengawasan dan tuntutan akuntabilitas dapat memberikan ruang bagi pelaku korupsi. Selain itu, ketidaktegasan dalam penegakan hukum yang tidak efektif dan sanksi yang lemah dapat memberikan sinyal bahwa korupsi dapat dilakukan tanpa risiko.

Pencegahan dan pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang holistik. Hal ini meliputi peningkatan tata kelola yang baik dengan transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pengawasan yang kuat. Selain itu, pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif korupsi serta peran aktif dalam mengawasi dan menuntut akuntabilitas sangat penting. Penguatan hukum dan penegakan yang tegas terhadap pelaku korupsi juga diperlukan, sehingga mereka tidak dapat menghindar dari pertanggungjawaban hukum. Promosi nilai-nilai integritas dan etika dalam masyarakat juga menjadi bagian penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Dalam kesimpulannya, korupsi adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Upaya untuk melawan korupsi harus melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga anti-korupsi, masyarakat sipil, dan warga negara, dengan fokus pada peningkatan tata kelola yang baik, kesadaran masyarakat, penegakan hukum yang kuat, dan promosi nilai-nilai integritas dan etika.

APA YANG MENYEBABKAN KORUPSI?

Korupsi timbul akibat faktor-faktor yang kompleks dan beragam. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan korupsi meliputi:

Peluang: Adanya peluang untuk melakukan korupsi menjadi faktor utama. Jika terdapat kelemahan dalam sistem tata kelola, rendahnya transparansi, lemahnya mekanisme pengawasan, atau kurangnya akuntabilitas, individu atau kelompok tertentu dapat memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Niat individu: Faktor psikologis dan moralitas individu juga berperan dalam korupsi. Seseorang mungkin memiliki keinginan untuk memperkaya diri sendiri, kurangnya integritas, atau mengabaikan dampak negatif korupsi terhadap orang lain dan masyarakat.

Budaya dan norma sosial: Budaya yang menerima atau menghargai korupsi dapat menjadi pendorong perilaku koruptif. Jika korupsi dianggap sebagai norma sosial atau praktik yang umum, individu cenderung lebih terdorong untuk melakukannya.

Upah yang rendah dan insentif: Gaji yang rendah bagi pejabat publik atau pegawai pemerintah dapat memicu korupsi. Kurangnya kompensasi yang memadai dapat mendorong individu mencari cara-cara ilegal atau tidak etis untuk meningkatkan penghasilan.

Penegakan hukum yang tidak tegas: Kurangnya penindakan yang tegas terhadap pelaku korupsi dapat memberikan sinyal bahwa risiko melakukan korupsi lebih rendah. Jika sistem hukum tidak efektif dalam menindak pelaku korupsi dan memberikan sanksi yang memadai, individu cenderung merasa aman melanggar hukum.

Ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat: Ketidaktahuan atau kurangnya kepedulian masyarakat terhadap korupsi juga dapat mempengaruhi terjadinya korupsi. Jika masyarakat tidak memahami dampak negatif korupsi atau tidak tertarik untuk melawannya, maka tindakan korupsi dapat terus berlanjut tanpa hambatan.

Perlu dicatat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan korupsi dapat saling terkait dan berinteraksi dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi tertentu. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus melibatkan langkah-langkah seperti peningkatan tata kelola yang baik, penegakan hukum yang kuat, pendidikan dan kesadaran masyarakat, serta mempromosikan integritas dan nilai-nilai etika dalam masyarakat.

KAPAN KORUPSI BISA TERJADI?

Korupsi bisa terjadi dalam berbagai situasi dan konteks. Berikut beberapa situasi umum di mana korupsi sering terjadi:

Proses pengadaan dan kontrak: Korupsi terjadi saat penawaran tender atau pemberian kontrak terjadi. Pihak yang terlibat bisa menerima atau memberikan suap untuk mempengaruhi keputusan atau memperoleh keuntungan pribadi.

Pelayanan publik: Korupsi terjadi dalam perizinan, layanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi publik. Penerimaan suap atau pemerasan digunakan untuk mendapatkan pelayanan yang seharusnya gratis atau mempercepat proses pelayanan.

Penegakan hukum: Korupsi terjadi dalam sistem peradilan dan penegakan hukum. Penyuapan hakim, polisi, atau petugas hukum lainnya mengganggu keadilan dan menguntungkan pihak yang memberikan suap.

Sektor swasta: Korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik, tetapi juga di sektor swasta. Contohnya, memberikan suap kepada pejabat perusahaan untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang tidak adil atau memanipulasi data keuangan.

Politik: Korupsi terkait dengan politik, seperti pemilihan umum, kampanye politik, dan pendanaan partai politik. Penerimaan suap, penyalahgunaan dana kampanye, atau penyalahgunaan kekuasaan politik adalah bentuk korupsi yang terjadi dalam konteks politik.

Sektor internasional: Korupsi juga dapat terjadi dalam hubungan internasional, seperti penyalahgunaan dana bantuan, suap kepada pejabat asing, atau manipulasi kontrak bisnis lintas negara.

Perlu diingat bahwa ini hanya beberapa contoh situasi di mana korupsi dapat terjadi, dan korupsi juga bisa muncul dalam berbagai bentuk dan tingkat keparahan.

JOHN PETER BOLOGNA

John Peter Bologna, yang juga dikenal dengan nama panggung Jack Bologna, adalah seorang aktor dan penari Italia. Ia terkenal karena perannya sebagai Harlequin dalam pertunjukan pantomim dan harlequinade Georgia pada awal abad ke-19 di teater Sadler's Wells dan Covent Garden di Inggris. Bologna menghabiskan banyak waktu di Inggris untuk mempopulerkan karakter Harlequin dan pertunjukan tersebut.

John Peter Bologna, dalam bukunya yang berjudul "The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime", menjelaskan asal mula terjadinya korupsi. Menurutnya, korupsi memiliki empat akar penyebab yang disebut "GONE". Bologna mempublikasikan pemikirannya dalam teori yang disebut "Gone Theory".

TEORI GONE

G: Greedy (Keserakahan)

Keserakahan merupakan dorongan yang mendorong para pelaku korupsi untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak sah. Mereka yang memiliki kekuasaan seringkali menyalahgunakannya demi kepentingan diri sendiri, melakukan tindakan korupsi.

* O: Opportunity (Peluang)

Pelaku korupsi mencari kesempatan-kesempatan untuk melancarkan tindakan korupsi. Mereka memanfaatkan situasi di mana ada program kerja yang memerlukan dana besar, dengan memanipulasi anggaran atau menggunakan dana yang semestinya digunakan dengan tepat. Mereka memanfaatkan situasi di mana pengawasan lemah dan peluang untuk menyalahgunakan dana lebih mudah.

* N: Need (Kebutuhan)

Faktor ekonomi menjadi pendorong utama bagi seseorang atau kelompok tertentu untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau keinginan yang tidak pernah terpuaskan seringkali mendorong individu untuk terlibat dalam korupsi. Hal ini mengakibatkan kerugian bagi banyak pihak dan menguntungkan pelaku korupsi.

* E: Expose (Kekebalan)

Salah satu alasan mengapa korupsi terus berlanjut adalah karena pelaku korupsi tidak merasa takut atau tidak menghadapi konsekuensi serius atas perbuatannya. Kurangnya efektivitas dalam memberikan hukuman kepada pelaku korupsi menyebabkan mereka tidak merasa jera dan merasa memiliki perlindungan terhadap hukum.

Jack Bologna menyampaikan bahwa jika seseorang sudah terjebak dalam pola pikir GONE (keserakahan, peluang, kebutuhan, kekebalan), pengaruhnya sangat besar dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam korupsi.

MENGAPA TEORI GONE DIBUTUHKAN?

Mengapa diperlukan tindakan untuk mengatasi teori GONE yang disampaikan oleh Jack Bologna?

Jika salah satu dari empat tindakan GONE dapat diatasi atau tingkat kejadiannya dapat diminimalkan, maka angka kejadian kecurangan, korupsi, penggelapan, suap, dan tindakan ilegal lainnya juga dapat berkurang. Keserakahan dalam diri seseorang mendorong mereka untuk terlibat dalam tindakan korupsi.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian korupsi adalah sebagai berikut:

Pengendalian Sistem Internal yang Baik: Instansi atau organisasi perlu mengendalikan sistem pengendalian internal dengan baik untuk mengurangi tindakan kecurangan oleh individu. Jika sistem pengendalian internal memiliki kualitas yang buruk, ini akan memberikan peluang besar bagi pelaku tindak kriminal seperti koruptor. Langkah ini dapat diterapkan di berbagai sektor, baik sektor publik, swasta, maupun masyarakat.

Deteksi Dini: Mencegah kecurangan di internal dengan mendeteksi tindakan tersebut secara dini dan memberikan hukuman yang sesuai kepada pelaku yang sudah melakukan. Tingkat motivasi seseorang juga dapat mempengaruhi mereka untuk terlibat dalam tindakan kecurangan jika mereka menganggap hukuman secara sepele. Oleh karena itu, penting untuk memberikan konsekuensi yang tegas sebagai upaya pencegahan.

Dengan mengambil tindakan-tindakan tersebut, diharapkan bahwa tingkat kejadian korupsi dapat dikurangi dan individu menjadi lebih berpikir dua kali sebelum terlibat dalam tindakan kecurangan.

 

BAGAIMANA CARA MENYEMPURNAKAN TEORI GONE?

Jack Bologne melakukan penelitian yang berdasarkan pada beberapa faktor dan mengambil inspirasi dari tingginya angka kecurangan yang ada dalam fenomena fraud. Teori GONE merupakan pengembangan dari teori Cressey (1953). Teori Cressey menjelaskan bahwa setiap kasus kecurangan memiliki tiga faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu:

Tekanan (Press): Tekanan atau tekanan psikologis yang dialami oleh individu dapat menjadi faktor pendorong dalam terjadinya kecurangan. Faktor-faktor seperti masalah keuangan, tekanan kerja, atau kebutuhan mendesak dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak etis.

Peluang (Opportunity): Peluang atau kesempatan yang ada bagi seseorang untuk melakukan kecurangan juga menjadi faktor penting. Ketika ada kelemahan dalam sistem pengendalian internal atau kurangnya pengawasan yang memadai, pelaku memiliki kesempatan untuk melancarkan tindakan kecurangan dengan lebih mudah.

Rasionalisasi (Rationalization): Rasionalisasi adalah proses di mana pelaku menghasilkan alasan atau pembenaran untuk tindakan mereka yang tidak bermoral atau ilegal. Mereka mungkin merasa bahwa kecurangan tersebut dapat dibenarkan dalam situasi tertentu atau mereka memiliki alasan pribadi yang membuat mereka meyakini bahwa tindakan tersebut tidak salah.

Dengan demikian, kedua teori ini saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain. Teori GONE mengembangkan konsep-konsep ini lebih lanjut dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya kecurangan.

PELUANG TEORI GONE DALAM MENGALAMI KECURANGAN

Faktor-faktor dalam teori GONE (Greed, Opportunity, Needs, Expose) memiliki pengaruh yang berbeda-beda dalam terjadinya kecurangan atau korupsi, tergantung pada situasi dan konteksnya.

Keserakahan (Greed) adalah dorongan untuk mencari keuntungan pribadi secara tidak sah. Jika keserakahan tersebut sangat dominan dalam suatu lingkungan atau jika individu memiliki dorongan yang kuat untuk mencapai keuntungan pribadi, peluang terjadinya kecurangan bisa lebih besar.

Peluang (Opportunity) mencerminkan kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Jika ada kelemahan dalam sistem pengendalian internal, pengawasan yang tidak memadai, atau kurangnya langkah-langkah pencegahan kecurangan, maka peluang bagi pelaku untuk melakukan kecurangan akan meningkat.

Kebutuhan (Needs) mencerminkan faktor ekonomi atau kebutuhan pribadi yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam kecurangan. Jika individu atau kelompok menghadapi tekanan keuangan atau memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, mereka mungkin cenderung mencari cara ilegal untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kekebalan (Expose) mencerminkan kurangnya efektivitas dalam penegakan hukum atau hukuman yang diberikan kepada pelaku kecurangan. Jika pelaku merasa bahwa risiko ditangkap atau dihukum rendah, mereka mungkin merasa tidak takut terhadap konsekuensi dan lebih mungkin melanggar aturan.

Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua individu atau situasi akan menghasilkan kecurangan atau korupsi. Beberapa individu dan organisasi mungkin memiliki sistem pengendalian yang kuat, etika yang baik, dan komitmen terhadap integritas, yang dapat mengurangi peluang kecurangan. Oleh karena itu, evaluasi konteks dan upaya pencegahan dan pengendalian kecurangan yang komprehensif dapat membantu mengurangi peluang teori GONE menjadi faktor yang signifikan dalam tindakan kecurangan.

TRIANGLE FRAUD

Triangle fraud, juga dikenal sebagai "fraud triangle," adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan atau fraud. Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh Donald Cressey pada tahun 1953. Triangle fraud terdiri dari tiga elemen utama yang saling berinteraksi:

  1. Opportunity (Peluang): Peluang merupakan faktor penting yang memungkinkan seseorang untuk melakukan kecurangan. Biasanya terkait dengan celah dalam sistem pengendalian internal suatu organisasi atau lingkungan kerja yang kurang pengawasan. Peluang yang tinggi memberikan insentif bagi individu untuk melanggar aturan.
  2. Pressure (Tekanan): Tekanan merujuk pada tekanan atau dorongan yang dialami oleh individu untuk melakukan kecurangan. Tekanan ini bisa berupa masalah keuangan, tekanan dari atasan, masalah pribadi, atau kondisi ekonomi yang sulit. Tekanan ini bisa mendorong individu untuk mencari jalan pintas atau cara yang tidak sah untuk mengatasi masalah mereka.
  3. Rationalization (Rasionalisasi): Rasionalisasi adalah proses mental di mana individu mencari cara untuk membenarkan atau meyakinkan diri sendiri bahwa tindakan kecurangan yang akan mereka lakukan adalah wajar atau dapat dibenarkan. Individu menciptakan pembenaran moral, logis, atau emosional untuk membenarkan tindakan mereka.

Ketika ketiga elemen ini saling berinteraksi dan terjadi secara bersamaan, dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Biasanya, ketika pelaku fraud merasakan tekanan dan merasa memiliki peluang untuk melakukannya, mereka menggunakan rasionalisasi untuk membenarkan tindakan mereka.

Triangle fraud memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya kecurangan dan membantu dalam pengembangan strategi pencegahan dan deteksi fraud dalam suatu organisasi. Namun, penting juga untuk diingat bahwa tidak semua individu yang menghadapi peluang dan tekanan akan terlibat dalam kecurangan. Beberapa individu dapat mengatasi tekanan dan menjaga integritas mereka, sementara yang lain mungkin jatuh ke dalam perangkap kecurangan.

 

CARA PENGAPLIKASIKAN TEORI GONE

Penerapan teori GONE dalam konteks pencegahan dan penanganan kecurangan atau korupsi dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:

Menganalisis dan mengidentifikasi faktor GONE: Langkah pertama adalah menganalisis dan mengidentifikasi faktor GONE (Keserakahan, Peluang, Kebutuhan, Kekebalan) dalam konteks organisasi atau lingkungan yang relevan. Hal ini melibatkan pemahaman mendalam tentang potensi tekanan, peluang, kebutuhan, dan rasionalisasi yang dapat mendorong individu atau kelompok untuk terlibat dalam tindakan korupsi.

Mengembangkan kebijakan dan prosedur anti-korupsi: Organisasi perlu mengembangkan kebijakan dan prosedur yang jelas dan tegas terkait pencegahan dan penanganan korupsi. Hal ini termasuk penetapan standar etika yang tinggi, pengaturan pengendalian internal yang kuat, pengawasan yang efektif, dan mekanisme pelaporan pelanggaran yang aman dan rahasia.

Meningkatkan kesadaran dan pelatihan: Organisasi perlu meningkatkan kesadaran tentang bahaya korupsi dan dampak negatifnya. Pelatihan dapat diberikan kepada karyawan untuk memahami faktor GONE, mengenali tanda-tanda korupsi, dan melaporkan pelanggaran dengan aman. Pelatihan ini juga dapat mencakup peningkatan pemahaman tentang etika kerja, kepatuhan terhadap aturan dan regulasi, serta pengenalan terhadap praktik-praktik terbaik dalam mencegah korupsi.

Peningkatan pengawasan dan transparansi: Organisasi perlu meningkatkan pengawasan internal terhadap proses-proses yang rentan terhadap korupsi. Hal ini melibatkan penguatan pengendalian internal, pemantauan yang lebih ketat terhadap pengeluaran dan anggaran, serta audit yang teratur untuk mendeteksi adanya penyimpangan. Transparansi juga harus ditingkatkan dengan memberikan akses informasi yang cukup kepada semua pihak yang berkepentingan.

Penegakan hukum dan sanksi yang efektif: Penting untuk menjalankan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku korupsi. Sanksi yang efektif dan berat harus diberikan sebagai bentuk pembelajaran dan pencegahan bagi pelaku korupsi lainnya. Hal ini akan membantu menciptakan rasa takut dan mengurangi kekebalan yang mungkin dirasakan oleh pelaku korupsi.

Kolaborasi dengan pihak eksternal: Organisasi juga dapat bekerja sama dengan pihak eksternal, seperti lembaga pemerintah, badan anti-korupsi, atau lembaga swadaya masyarakat, untuk memperkuat upaya pencegahan korupsi. Melalui kolaborasi ini, informasi dan sumber daya dapat saling dibagi untuk meningkatkan efektivitas dalam mengatasi korupsi.

Penerapan teori GONE dengan pendekatan yang holistik dan komprehensif ini membutuhkan kerjasama semua pihak terkait, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan lembaga penegak hukum, untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi dan mendorong integritas dalam semua aspek kehidupan.

CONTOH KASUS PENGAPLIKASIAN TEORI GONE

Salah satu contoh kasus nyata yang dapat dihubungkan dengan teori GONE adalah skandal korupsi yang melibatkan seorang pejabat pemerintah tinggi di suatu negara.

Keserakahan (Greed): Pejabat tersebut memiliki dorongan keserakahan yang tinggi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dia menggunakan posisinya untuk menyalahgunakan kekuasaan dan menerima suap dalam skala besar.

Peluang (Opportunity): Pejabat tersebut memanfaatkan peluang yang ada dalam sistem pemerintahan yang kurang transparan dan rentan terhadap korupsi. Dia dapat memanipulasi proses pengadaan, mengalihkan dana publik untuk kepentingan pribadi, dan menyalahgunakan wewenangnya tanpa terdeteksi.

Kebutuhan (Needs): Faktor ekonomi mungkin menjadi pendorong bagi pejabat tersebut. Mungkin dia memiliki gaya hidup mewah atau memiliki tanggungan keuangan yang besar, sehingga dia merasa perlu untuk mencari cara-cara ilegal untuk memenuhi kebutuhan pribadi tersebut.

Kekebalan (Exposure): Salah satu alasan korupsi terus berlanjut dalam kasus ini adalah karena pejabat tersebut merasa kebal terhadap hukum. Mungkin ada kurangnya penegakan hukum yang efektif atau terdapat jaringan perlindungan yang melindungi pejabat tersebut dari pengungkapan kejahatan yang dilakukannya.

Dalam kasus ini, teori GONE dapat diterapkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi. Untuk mengatasi kasus ini, tindakan yang dapat dilakukan antara lain:

Memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian internal di instansi pemerintah untuk mencegah kesempatan terjadinya korupsi.

Memperkuat lembaga penegak hukum dan peradilan untuk memastikan pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang sesuai dan efektif.

Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana publik, termasuk proses pengadaan barang dan jasa.

Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan terhadap tindakan korupsi dan memberikan perlindungan bagi whistleblower yang melaporkan kasus korupsi.

Meningkatkan integritas dan etika kerja di semua tingkatan organisasi pemerintah.

Memanfaatkan teknologi dan inovasi, seperti penggunaan sistem informasi yang terintegrasi dan alat deteksi dini, untuk mendeteksi indikasi kecurangan.

Contoh kasus ini menggambarkan bagaimana teori GONE dapat diterapkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi dan memberikan dasar untuk mengambil tindakan pencegahan dan penanganan yang komprehensif. Namun, penting untuk dicatat bahwa contoh kasus yang spesifik dapat bervariasi dalam konteks dan skala kejadian korupsi yang berbeda.

ROBERT KLITGAARD

Robert Klitgaard adalah seorang ahli yang terkenal dalam bidang pencegahan korupsi. Dia menjabat sebagai profesor di Claremont Graduate University dan telah menulis beberapa buku tentang korupsi dan upaya untuk melawannya. Klitgaard diakui karena kontribusinya dalam mengembangkan konsep dan metode yang digunakan untuk menganalisis dan mengatasi korupsi dalam berbagai konteks.

Salah satu kontribusi paling terkenal dari Robert Klitgaard adalah "Formula Klitgaard" yang juga dikenal sebagai "Formula Korupsi". Formula ini digunakan untuk menganalisis tingkat korupsi dalam suatu sistem dengan mempertimbangkan tiga faktor utama: Monopoli + Discretion - Akuntabilitas. Melalui formula ini, kita dapat memahami dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya korupsi.

Selain itu, Klitgaard juga telah berperan sebagai konsultan dan penasihat dalam bidang anti-korupsi di berbagai negara dan organisasi internasional. Dia memberikan kontribusi penting dalam merancang kebijakan dan strategi pencegahan korupsi, serta memberikan pelatihan dan pendidikan kepada pemimpin dan praktisi di bidang tersebut.

Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas dalam pencegahan korupsi, Robert Klitgaard telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya memerangi korupsi dan mendorong tata pemerintahan yang bersih dan transparan.

TEORI FORMULA KLITGAARD

Teori Formula Klitgaard, juga dikenal sebagai "Formula Korupsi" atau "Formula Klitgaard untuk Korupsi," adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard untuk menganalisis dan mengukur tingkat korupsi dalam suatu sistem. Formula ini membantu dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi dan memberikan dasar untuk merancang strategi pencegahan korupsi.

Formula Klitgaard untuk Korupsi dinyatakan sebagai berikut:

Korupsi = Monopoli + Discretion - Akuntabilitas

Monopoli: Merujuk pada situasi di mana hanya sedikit atau bahkan satu-satunya pihak yang memiliki kontrol atau kekuasaan atas sumber daya, keputusan, atau akses tertentu. Monopoli dapat menciptakan kesempatan bagi korupsi karena kurangnya persaingan dan pengawasan yang memadai.

Discretion: Merupakan tingkat keleluasaan atau keputusan yang diberikan kepada individu atau lembaga dalam melaksanakan tugas atau mengambil keputusan. Semakin besar tingkat keleluasaan atau keputusan yang diberikan, semakin besar pula peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi.

Akuntabilitas: Mengacu pada tingkat transparansi, pertanggungjawaban, dan konsekuensi yang ada dalam sistem untuk tindakan korupsi. Semakin rendah tingkat akuntabilitas, semakin rendah pula hambatan dan sanksi yang menghadang pelaku korupsi.

Dalam konteks ini, formula Klitgaard memberikan kerangka kerja untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang dapat mendorong atau mempengaruhi terjadinya korupsi dalam suatu sistem. Dengan memahami dan mengidentifikasi faktor-faktor ini, langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi dapat dirancang dan diterapkan secara lebih efektif.

KENAPA KLITGAARD MEMBUAT TEORI INI

Robert Klitgaard mengembangkan "Formula Klitgaard" atau "Formula Korupsi" sebagai alat untuk menganalisis dan memahami tingkat korupsi dalam suatu sistem. Motivasi utama di balik pembuatan teori ini adalah keinginannya untuk memberikan kerangka kerja yang komprehensif dalam memahami dan mengatasi korupsi.

Klitgaard menyadari bahwa korupsi adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor sosial, politik, dan ekonomi. Dia ingin menciptakan suatu pendekatan yang sistematis dan terukur untuk menganalisis korupsi serta memberikan dasar bagi upaya pemberantasan korupsi.

Dengan menggunakan pengetahuannya tentang ekonomi dan ilmu politik, Klitgaard menyusun formula matematis yang menggabungkan tiga faktor utama yang mempengaruhi terjadinya korupsi. Formula Klitgaard secara umum dikenal sebagai "Formula Korupsi" dan dirumuskan sebagai berikut: Korupsi = Monopoli + Discretion - Akuntabilitas.

  1. Monopoli merujuk pada situasi di mana seseorang atau kelompok memiliki kendali penuh atau dominan atas sumber daya atau kekuasaan. Monopoli dapat menciptakan peluang bagi korupsi karena tidak adanya persaingan atau pengawasan yang membatasi kekuasaan.
  2. Discretion mengacu pada kebebasan atau kewenangan yang dimiliki oleh individu atau lembaga untuk membuat keputusan atau mengendalikan sumber daya. Semakin besar kewenangan diskresioner yang dimiliki, semakin besar peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan dan terjadinya korupsi.
  3. Akuntabilitas mengacu pada tingkat pertanggungjawaban dan pengawasan yang ada dalam sistem. Semakin tinggi tingkat akuntabilitas, semakin kecil peluang untuk terjadinya korupsi karena ada pengawasan dan sanksi yang efektif terhadap tindakan yang tidak sah.

Dengan menggunakan formula ini, Klitgaard berusaha untuk menganalisis tingkat korupsi dalam suatu sistem dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap korupsi. Melalui pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor ini, diharapkan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dirancang dan diimplementasikan secara lebih efektif.

Klitgaard menyadari bahwa formula ini hanya merupakan alat analisis dan tidak memberikan solusi langsung untuk mengatasi korupsi. Namun, ia berpendapat bahwa dengan memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap korupsi, langkah-langkah yang tepat dapat diambil untuk mengurangi atau menghilangkan peluang korupsi dalam suatu sistem.

BAGAIMANA KLITGAARD MENERAPKAN TEORI INI

Robert Klitgaard menerapkan teori Formula Klitgaard dalam berbagai konteks untuk menganalisis dan mengatasi korupsi. Berikut adalah beberapa cara di mana ia menerapkan teori ini:

Analisis Korupsi: Klitgaard menggunakan Formula Klitgaard sebagai kerangka kerja untuk menganalisis tingkat korupsi dalam suatu sistem. Dengan mempertimbangkan faktor monopoli, diskresi, dan akuntabilitas, ia mengidentifikasi dan mengukur sejauh mana korupsi terjadi dalam suatu konteks tertentu. Hal ini membantu dalam memahami akar penyebab korupsi dan mengidentifikasi area yang memerlukan perhatian dalam upaya pemberantasan korupsi.

Perancangan Kebijakan Anti-Korupsi: Klitgaard menggunakan Formula Klitgaard sebagai panduan dalam merancang kebijakan dan strategi anti-korupsi. Dengan memperhatikan faktor monopoli, diskresi, dan akuntabilitas, ia merancang langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi peluang korupsi. Misalnya, dengan memperkuat pengawasan dan meningkatkan akuntabilitas, ia berusaha untuk mengurangi peluang penyalahgunaan kekuasaan.

Konsultasi dan Pelatihan: Klitgaard telah bekerja sebagai konsultan dan penasehat anti-korupsi di berbagai negara dan organisasi internasional. Dalam kapasitas ini, ia menerapkan teori Formula Klitgaard dengan memberikan saran dan pelatihan kepada pemerintah dan lembaga untuk membantu mereka dalam mengidentifikasi dan mengatasi korupsi. Ia menggunakan formula ini sebagai alat untuk menganalisis situasi dan mengembangkan strategi yang sesuai untuk mengurangi korupsi.

Pendidikan: Klitgaard juga telah memberikan pendidikan tentang anti-korupsi kepada para pemimpin dan praktisi di bidang tersebut. Dalam program pendidikan ini, ia menerapkan teori Formula Klitgaard sebagai dasar untuk memahami korupsi dan memberikan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya. Melalui pemahaman yang lebih baik, para peserta dapat mengembangkan strategi yang efektif dalam mencegah dan mengatasi korupsi.

Dengan menerapkan teori Formula Klitgaard, Klitgaard berharap dapat memberikan kontribusi dalam upaya pemberantasan korupsi dan mempromosikan tata pemerintahan yang bersih dan transparan.

Hasil Karya Sendiri
Hasil Karya Sendiri

BAGAIMANA CARA MENGAPLIKASIKAN TEORI FORMULA KLITGAARD

Berikut adalah beberapa langkah dalam mengaplikasikan Teori Formula Klitgaard:

Identifikasi Faktor-Faktor Utama: Pertama-tama, identifikasi faktor-faktor utama yang terkait dengan korupsi dalam konteks yang ingin Anda analisis. Faktor-faktor utama tersebut adalah Monopoli (Monopoly), Diskresi (Discretion), dan Akuntabilitas (Accountability).

Evaluasi Monopoli: Tinjau apakah terdapat monopoli kekuasaan atau kontrol yang signifikan dalam sistem atau organisasi yang sedang Anda analisis. Identifikasi apakah adanya monopoli ini dapat menciptakan peluang untuk terjadinya korupsi.

Tinjau Diskresi: Evaluasi tingkat diskresi atau kebebasan yang dimiliki oleh individu atau pemegang kekuasaan dalam membuat keputusan atau mengelola sumber daya. Tinjau apakah ada kelemahan dalam pengawasan atau kendali yang dapat memberikan peluang bagi tindakan korupsi.

Perhatikan Akuntabilitas: Tinjau sejauh mana akuntabilitas diterapkan dalam sistem atau organisasi yang sedang Anda analisis. Pertimbangkan apakah ada kurangnya transparansi, prosedur akuntabilitas yang lemah, atau hukuman yang tidak efektif bagi pelaku korupsi.

Analisis dan Pengukuran: Gunakan formula korupsi Klitgaard, yaitu Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas, untuk mengukur tingkat korupsi dalam sistem atau organisasi yang sedang Anda analisis. Berdasarkan nilai yang dihasilkan, Anda dapat memperoleh pemahaman tentang tingkat korupsi dan sejauh mana faktor-faktor tersebut mempengaruhinya.

Pengembangan Strategi Anti-Korupsi: Berdasarkan analisis Anda, identifikasi area-area yang perlu diperbaiki untuk mengurangi tingkat korupsi. Fokus pada penguatan pengawasan, peningkatan transparansi, dan penerapan mekanisme akuntabilitas yang lebih baik. Rancang strategi anti-korupsi yang sesuai dengan konteks yang Anda hadapi.

Implementasi dan Evaluasi: Terapkan strategi anti-korupsi yang telah Anda rancang. Pantau dan evaluasi efektivitas strategi tersebut secara berkala. Jika diperlukan, lakukan penyesuaian dan perbaikan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengurangi tingkat korupsi.

Penerapan Teori Formula Klitgaard membutuhkan pemahaman yang baik tentang konteks dan situasi yang sedang Anda analisis. Melalui pendekatan yang komprehensif dan strategi yang tepat, Anda dapat menggunakan formula ini sebagai alat untuk menganalisis dan mengatasi korupsi dalam berbagai konteks.

Untuk mengaplikasikan Teori Formula Klitgaard dalam menganalisis dan mengatasi korupsi, berikut adalah beberapa langkah yang perlu diikuti:

  1. Memahami Konteks: Lakukan analisis mendalam tentang konteks di mana korupsi terjadi. Pahami faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi terjadinya korupsi dalam konteks tersebut. Identifikasi lembaga, sistem, dan proses yang terlibat dalam situasi tersebut.
  2. Identifikasi Faktor Korupsi: Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya korupsi dalam konteks yang sedang Anda analisis. Faktor-faktor tersebut dapat termasuk monopoli kekuasaan, diskresi yang tinggi, rendahnya akuntabilitas, ketidaktransparanan, atau lemahnya mekanisme pengawasan.
  3. Mengukur Faktor-Faktor Korupsi: Gunakan Formula Klitgaard (Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas) untuk mengukur tingkat korupsi yang ada dalam konteks yang sedang Anda analisis. Berdasarkan pengukuran ini, Anda dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dominan dalam situasi tersebut.
  4. Perencanaan Strategi Anti-Korupsi: Berdasarkan pemahaman tentang faktor-faktor korupsi yang telah diidentifikasi, rancang strategi anti-korupsi yang relevan dan sesuai dengan konteks tersebut. Strategi tersebut dapat melibatkan perbaikan pengawasan, penguatan mekanisme akuntabilitas, peningkatan transparansi, atau perubahan kebijakan dan regulasi.
  5. Implementasi dan Evaluasi: Terapkan strategi anti-korupsi yang telah dirancang dan pantau implementasinya. Selama implementasi, evaluasi secara berkala efektivitas strategi tersebut dalam mengurangi tingkat korupsi. Jika diperlukan, lakukan penyesuaian dan perbaikan strategi untuk mencapai hasil yang lebih baik.
  6. Kolaborasi dan Pendidikan: Libatkan berbagai pemangku kepentingan yang relevan dalam upaya anti-korupsi, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Lakukan pendidikan dan pelatihan mengenai pentingnya pencegahan korupsi dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi korupsi di dalam konteks tersebut.

Penerapan Teori Formula Klitgaard membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan pemahaman yang baik tentang konteks, analisis yang mendalam terhadap faktor-faktor korupsi, dan perencanaan strategi yang tepat. Dengan menggabungkan pendekatan ini, Anda dapat menganalisis dan mengatasi korupsi secara lebih efektif dalam berbagai konteks.

CONTOH KASUS DARI TEORI FORMULA KLITGAARD

parafrase kalimat Berikut ini adalah contoh kasus yang mengilustrasikan penerapan Teori Formula Klitgaard dalam menganalisis dan mengatasi korupsi:

Kasus: Korupsi dalam Proyek Infrastruktur Publik

Konteks: Sebuah negara sedang mengalami kasus korupsi yang melibatkan proyek infrastruktur publik, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan jalan tol telah disalahgunakan oleh pejabat pemerintah.

Identifikasi Faktor Korupsi:

Monopoli: Pejabat pemerintah memiliki kekuasaan mutlak dalam pemilihan kontraktor dan pengelolaan dana proyek.

Diskresi: Tidak ada mekanisme yang jelas dan ketat untuk mengawasi penggunaan dana proyek, memberikan kesempatan bagi pejabat pemerintah untuk melakukan penyalahgunaan.

Akuntabilitas: Tidak adanya transparansi dan akuntabilitas yang memadai dalam penggunaan dana proyek, sehingga sulit untuk melacak dan mengawasi aliran dana.

Pengukuran Faktor-Faktor Korupsi: Berdasarkan Formula Klitgaard, tingkat korupsi dalam kasus ini dapat diukur dengan mempertimbangkan monopoli, diskresi, dan akuntabilitas yang ada. Misalnya, jika monopoli dan diskresi tinggi, sedangkan akuntabilitas rendah, maka tingkat korupsi akan cenderung tinggi.

Perencanaan Strategi Anti-Korupsi:

Meningkatkan transparansi: Menerapkan mekanisme yang memastikan kegiatan dan penggunaan dana proyek dapat dipantau dan dilaporkan secara terbuka kepada publik.

Menguatkan pengawasan: Memperkuat lembaga pengawas dan audit independen yang bertanggung jawab untuk mengawasi penggunaan dana proyek secara ketat.

Mengurangi diskresi: Memperkenalkan prosedur dan aturan yang jelas untuk pemilihan kontraktor dan penggunaan dana proyek, sehingga mengurangi peluang penyalahgunaan.

Implementasi dan Evaluasi: Menerapkan strategi anti-korupsi yang telah dirancang dan memonitor implementasinya secara berkala. Melakukan evaluasi untuk mengukur efektivitas strategi tersebut dalam mengurangi tingkat korupsi dalam proyek infrastruktur publik.

Kolaborasi dan Pendidikan: Melibatkan masyarakat sipil, lembaga internasional, dan pihak-pihak terkait lainnya dalam upaya anti-korupsi. Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada pejabat pemerintah dan pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pencegahan korupsi dan praktik tata kelola yang baik.

Dalam contoh kasus di atas, Teori Formula Klitgaard digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor korupsi yang terlibat dalam kasus korupsi proyek infrastruktur publik dan merancang strategi anti-korupsi yang relevan. Penting untuk menyesuaikan strategi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan spesifik dalam konteks proyek infrastruktur publik tersebut.

CONTOH KASUS DARI TEORI FORMULA KLITGAARD

Berikut ini adalah contoh kasus nyata di Indonesia yang dapat mengilustrasikan penerapan Teori Formula Klitgaard dalam menganalisis dan mengatasi korupsi:

Kasus: Korupsi dalam Proyek Pembangunan Jalan Raya

Konteks: Sebuah proyek pembangunan jalan raya di Indonesia mengalami kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah, kontraktor, dan pihak terkait lainnya. Dana proyek yang seharusnya digunakan untuk pembangunan jalan raya tersebut disalahgunakan oleh para pelaku korupsi.

Identifikasi Faktor Korupsi:

Monopoli: Pejabat pemerintah memiliki kekuasaan dalam pemilihan kontraktor dan pengelolaan dana proyek pembangunan jalan raya.

Diskresi: Tidak ada mekanisme pengawasan yang memadai untuk mengontrol penggunaan dana proyek dan memastikan kepatuhan terhadap prosedur yang ditetapkan.

Akuntabilitas: Tidak adanya transparansi dan akuntabilitas yang memadai dalam penggunaan dana proyek, sehingga sulit untuk melacak aliran dana dan memantau penggunaannya secara efektif.

Pengukuran Faktor-Faktor Korupsi: Berdasarkan Formula Klitgaard, tingkat korupsi dalam kasus ini dapat diukur dengan mempertimbangkan tingkat monopoli, diskresi, dan akuntabilitas yang terjadi. Jika tingkat monopoli dan diskresi tinggi, sementara tingkat akuntabilitas rendah, maka tingkat korupsi dalam proyek pembangunan jalan raya tersebut cenderung tinggi.

Perencanaan Strategi Anti-Korupsi:

Meningkatkan transparansi: Memperkuat mekanisme pelaporan dan pengawasan untuk memastikan bahwa penggunaan dana proyek pembangunan jalan raya dapat dipantau secara terbuka oleh publik.

Menguatkan pengawasan: Memperkuat peran lembaga pengawas dan audit independen dalam mengawasi dan memeriksa penggunaan dana proyek secara ketat.

Mengurangi diskresi: Mengimplementasikan prosedur dan aturan yang jelas dalam pemilihan kontraktor dan penggunaan dana proyek, serta memastikan adanya persaingan yang sehat.

Implementasi dan Evaluasi: Menerapkan strategi anti-korupsi yang telah dirancang dan melakukan evaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitasnya dalam mengurangi tingkat korupsi dalam proyek pembangunan jalan raya.

Kolaborasi dan Pendidikan: Melibatkan masyarakat sipil, lembaga internasional, dan pihak terkait lainnya untuk bekerja sama dalam upaya anti-korupsi. Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada pejabat pemerintah dan pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pencegahan korupsi dan menerapkan praktik tata kelola yang baik.

Dalam kasus nyata ini, Teori Formula Klitgaard digunakan sebagai kerangka kerja untuk menganalisis faktor-faktor korupsi yang ter libat dalam kasus korupsi dalam proyek pembangunan jalan raya di Indonesia. Dengan mengidentifikasi faktor monopoli, diskresi, dan akuntabilitas, langkah-langkah strategis dapat dirancang untuk mengurangi tingkat korupsi dalam proyek tersebut.

Contoh strategi anti-korupsi yang dapat diterapkan dalam kasus ini meliputi:

  1. Meningkatkan transparansi: Menerapkan sistem pelaporan yang transparan dan memastikan informasi terkait penggunaan dana proyek pembangunan jalan raya dapat diakses oleh publik. Hal ini dapat mencakup pembentukan portal online yang memuat informasi terkait proyek, pengeluaran, dan hasil audit.
  2. Menguatkan pengawasan: Memperkuat peran lembaga pengawas dan audit independen yang bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan proyek. Mereka harus memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan audit secara mendalam dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan.
  3. Mengurangi diskresi: Menetapkan aturan dan prosedur yang jelas dalam pemilihan kontraktor dan penggunaan dana proyek. Proses seleksi harus dilakukan secara terbuka dan adil, dengan kriteria yang jelas untuk pemilihan kontraktor yang berkualitas dan memiliki rekam jejak yang baik.
  4. Penguatan hukum dan penegakan hukum: Memastikan bahwa hukum yang ada terkait dengan korupsi ditegakkan dengan tegas. Proses hukum harus berjalan tanpa intervensi dan pelaku korupsi harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
  5. Pendidikan dan kesadaran: Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada pejabat pemerintah, kontraktor, dan pihak terkait lainnya tentang etika dan tata kelola yang baik. Ini dapat mencakup pelatihan tentang pencegahan korupsi, pentingnya transparansi, dan tindakan yang harus diambil dalam menghadapi situasi korupsi.

Dalam penerapan strategi anti-korupsi ini, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, lembaga internasional, dan sektor swasta. Kolaborasi yang kuat dan komitmen yang tinggi diperlukan untuk mencapai hasil yang signifikan dalam mengatasi korupsi dalam proyek pembangunan jalan raya dan membangun tata kelola yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.proquest.com/openview/28b498cb3f0be8a3c9cdf29a419977d4/1?pq-origsite=gscholar&cbl=2026366&diss=y

https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=ak8xdW1sY4sC&oi=fnd&pg=PR9&dq=robert+klitgaard&ots=rZ4VAp6TMF&sig=d1IIfHPgXgfhPa4gquGyHTgEDf8&redir_esc=y#v=onepage&q=robert%20klitgaard&f=false

http://jurnaledukasia.org/index.php/edukasia/article/view/198

https://repository.unsoed.ac.id/16427/

https://scholarhub.ui.ac.id/politik/vol3/iss1/5/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun