Selain terciptanya budaya global yang serba standar dan seragam yang digerakkan kapitalisme raksana, kenyataan kultural masa kini yang memungkinkan bagi berkembangnya kesenian lokal adalah kondisi pascamodern yang menggejala di masyarakat metropolitan.
Karakteristik utama dari kondisi posmodern adalah kerinduan masyarakat metropolitan terhadap nilai, bentuk, dan praktik budaya yang berwarna etnis, tradisi, eksotis, maupun primitif di tengah-tengah kehidupan modern masyarakat yang serba cepat, instan, dan pragmatis sehingga menjadikan mereka subjek yang terbelah, tidak terpusat, dan cair (Lyotard, 1984; Featherstone, 2007; Harper, 1994; Ashley, 1994; Malpas, 2005).
Rutinitas dalam ritme metropolitan dan budaya yang serba instan memunculkan kejenuhan yang membutuhkan pelepasan-pelepasan bersifat emosional. Itulah yang menjadikan banyak wisatawan mancanegara maupun domestik yang begitu menikmati wisata kultural maupun saujana di wilayah-wilayah eksotis Indonesia.
Banyak masyarakat lokal di tengah-tengah geliat modernitas yang mereka alami masih memiliki beragam kesenian yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kerinduan masyarakat metropolitan terhadap ketradisionalan dan keeksotisan.
Meskipun demikian, hal itu dimungkinkan ketika masyarakat pendukung, para pelaku, dan pemangku kebijakan memiliki kesadaran bersama untuk terus menghidupkan dan mengembangkan kesenian lokal sehingga bisa berdaya-guna untuk kesejahteraan ekonomi.
Apa yang harus diperhatikan secara jeli dan kritis dari paradigma ini adalah masuknya para pemodal industri budaya dan pariwisata yang sekedar ingin menjual ketradisionalan dan keeksotisan kultural dengan hanya memberi sedikit rezeki ekonomi kepada masyarakat pendukungnya.
Kita tentu tidak ingin seperti atraksi wisata di Bali yang lebih banyak memberikan keuntungan ekonomi kepada para pemodal besar dari Jakarta maupun mancanegara.
Pada level birokrasi, maksimalisasi potensi kesenian lokal dalam era pascamodern memang masih bersifat parsial, dalam artian masih terjebak konsep “dalam rangka” dan seringkali mengabaikan aspek kebersinambungan serta pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Akibatnya, kurang adanya sinkronisasi antara kehendak masyarakat dan kebijakan birokrat dalam paragidma pengembangan, sehingga seringkali masih bersifat top-down.