Karena keempat model di atas dikembangkan dari penelitian di negara-negara maju, maka untuk kasus Indonesia, tentu membutuhkan penyesuaian dan modifikasi di sana-sini atau pemilihan salah satu model yang dianggap sesuai. Menurut saya, model kesejahteraan bisa digunakan untuk mengembangkan kesenian lokal di Indonesia. Mengapa?Â
Karena keragaman dan keunikan kesenian dengan atraksi memukau dan nilai-nilai filosofisnya bisa tetap dipertahankan ketika pemerintah mampu dan mau mengalokasikan anggaran yang lumayan besar untuk merangsang munculnya aktivitas-aktivitas regenerasi dan pertunjukan yang dilakukan oleh para seniman/wati di masing-masing kabupaten.Â
Dari proses itulah mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomi sehingga akan tetap mau menggerakkan pertunjukan dan pelatihan yang sekaligus bisa menjaga kesadaran masyarakat terhadap aset kultural yang sangat berharga.Â
Desain Pemberdayaan
Dari paparan paradigmatik di atas, kita bisa mem-break down alternatif desain pemberdayaan yang sekiranya bisa diterapkan untuk kesenian lokal di Jawa Timur.Â
Apa yang perlu diperhatikan adalah bahwa desain pemberdayaan yang dipaparkan dalam makalah ini berasal dari pembacaan dan modifikasi dari ketiga paradigma besar di atas. Artinya, dalam pemahaman saya, ketiga paradigma tersebut bisa saling melengkapi ketika diwujudkan dalam bentuk desain operasional.Â
Terobosan Kurikulum dan Penguatan Sanggar Seni
Sampai saat ini kita masih meyakini bahwa pendidikan masih menjadi elemen penting dalam menyemaikan kesadaran terhadap keunggulan dan kekuatan kesenian lokal. Sayangnya, kita tertinggal jauh dari negara tetangga yang seringkali kita benci karena hendak menyerobot kesenian khas Indonesia, termasuk reog, misalnya.Â
Di Malaysia, pengajaran gamelan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah. Bahkan, mereka mengimpor gamelan dan para pakar dari Jawa Tengah. Bisa jadi suatu saat, mereka juga akan mengimpor alat musik patrol dari Jember.Â
Sementara, di sebagian besar sekolah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gamelan hanya dikenalkan secara deskriptif, bukan secara empiris, dalam artian para siswa diajak untuk belajar gamelan.Â