Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Membaca-ulang Kesenian Lokal: Beberapa Alternatif Desain Pemberdayaan

21 Februari 2023   08:06 Diperbarui: 23 Februari 2023   19:00 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari kreasi menumbuk padi. Dokumentasi penulis

Pascamodernisme 

Selain terciptanya budaya global yang serba standar dan seragam yang digerakkan kapitalisme raksana, kenyataan kultural masa kini yang memungkinkan bagi berkembangnya kesenian lokal adalah kondisi pascamodern yang menggejala di masyarakat metropolitan. 

Karakteristik utama dari kondisi posmodern adalah kerinduan masyarakat metropolitan terhadap nilai, bentuk, dan praktik budaya yang berwarna etnis, tradisi, eksotis, maupun primitif di tengah-tengah kehidupan modern masyarakat yang serba cepat, instan, dan pragmatis sehingga menjadikan mereka subjek yang terbelah, tidak terpusat, dan cair (Lyotard, 1984; Featherstone, 2007; Harper, 1994; Ashley, 1994; Malpas, 2005). 

Rutinitas dalam ritme metropolitan dan budaya yang serba instan memunculkan kejenuhan yang membutuhkan pelepasan-pelepasan bersifat emosional. Itulah yang menjadikan banyak wisatawan mancanegara maupun domestik yang begitu menikmati wisata kultural maupun saujana di wilayah-wilayah eksotis Indonesia. 

Para travesti dalam pertunjukan ludruk. Dokumentasi penulis
Para travesti dalam pertunjukan ludruk. Dokumentasi penulis

Banyak masyarakat lokal di tengah-tengah geliat modernitas yang mereka alami masih memiliki beragam kesenian yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kerinduan masyarakat metropolitan terhadap ketradisionalan dan keeksotisan.

Meskipun demikian, hal itu dimungkinkan ketika masyarakat pendukung, para pelaku, dan pemangku kebijakan memiliki kesadaran bersama untuk terus menghidupkan dan mengembangkan kesenian lokal sehingga bisa berdaya-guna untuk kesejahteraan ekonomi. 

Apa yang harus diperhatikan secara jeli dan kritis dari paradigma ini adalah masuknya para pemodal industri budaya dan pariwisata yang sekedar ingin menjual ketradisionalan dan keeksotisan kultural dengan hanya memberi sedikit rezeki ekonomi kepada masyarakat pendukungnya. 

Kita tentu tidak ingin seperti atraksi wisata di Bali yang lebih banyak memberikan keuntungan ekonomi kepada para pemodal besar dari Jakarta maupun mancanegara. 

Pada level birokrasi, maksimalisasi potensi kesenian lokal dalam era pascamodern memang masih bersifat parsial, dalam artian masih terjebak konsep “dalam rangka” dan seringkali mengabaikan aspek kebersinambungan serta pemberdayaan ekonomi kerakyatan. 

Akibatnya, kurang adanya sinkronisasi antara kehendak masyarakat dan kebijakan birokrat dalam paragidma pengembangan, sehingga seringkali masih bersifat top-down.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun