Selain itu, para pelaku dan pemangku kebijakan juga sudah harus mulai berpikir transformatif. Dengan pola pikir transformatif, para pelaku kesenian lokal akan bisa bersifat apropriatif terhadap perkembangan terbaru demi untuk perluasan penggemar, tetapi mereka tetap memiliki kesadaran untuk terus menegosiasikan makna-makna sosio-kultural dalam pertunjukan.
Sementara, para pemangku kebijakan juga harus peka terhadap perkembangan kontemporer dalam bidang pertunjukan maupun teknologi media yang bisa digunakan untuk memfasilitasi para pelaku dalam berkarya dan menyebarluaskan karya, baik dalam lingkup regional, nasional, maupun internasional.
Memang, sekali lagi, dibutuhkan "kesadaran dan politik anggaran" yang tidak kecil, tetapi itu masih lebih baik dari pada hanya bisa me-nina-bobo-kan para pelaku kesenian lokal dengan gelar penjaga, pengawal, dan pahlawan tradisi, dan pada kesempatan yang sama menutup mata terhadap kerumitan hidup yang mereka alami.
Daftar Rujukan
Ashley, David. 1994. “Postmodernism and Antifoundationalism”. Dalam David R.Dickens & Andrea Fontana (eds). Postmodernism and Social Inquiry. London: University College London Press.
Featherstone. 2007. Consumer Culture and Postmodernism, 2nd Edition. London: Sage Publications.
Harper, Phillip Brian. 1994. Framing the Margins: The Social Logic of Postmodern Cultuere. New York: Oxford University Press.
Harvey, David. 2005. “Class Relations, Social Justice, and the Politics of Difference”. Dalam Michael Ketih & Steve Pile (ed). Place and the Politics of Identity. New York: Routledge.
Lyotard, Jean-François. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Malpas, Simon.2005. The Postmodern. London: Routledge.
Morton, Stephen. 2007. Gayatri Spivak. London: Routledge.