Kedua, indoktrinasi mental kaum proletar sejak dini melalui pertunjukan ludruk dapat menjadi titik awal untuk mempersiapkan aksi-aksi politik yang masif di bawah kendali kekuatan komunis.
Dengan kata lain, keterlibatan ideologis kelompok dan pertunjukan ludruk di Jawa Timur memberikan keuntungan kultural bagi PKI, khususnya dalam memberdayakan basis proletarnya di desa-desa sebagai strategi untuk memenangkan suara politik secara nasional.
Popularitas Lakon Perjuangan di Era Orde Baru
Sebagai upaya untuk membersihkan jejak-jejak ideologi komunis di ranah budaya, baik di kota maupun desa, rezim Orde Baru melarang kelompok ludruk dan pertunjukannya selama beberapa tahun di Jawa Timur karena keterlibatannya dalam Lekra. Banyak seniman ludruk yang selamat dari pembunuhan massal menghentikan aktivitas pentasnya dan mengalami trauma yang mendalam.
Namun, rezim baru ini mengetahui potensi kontribusi kesenian rakyat dalam menyebarkan wacana ideologis. Sebagai budaya residual, mengikuti terminologi Williams (2006), ludruk masih memiliki aura publik karena akar sejarahnya yang mampu membuat petani datang ke pementasan tersebut. Oleh karena itu, rezim Orde Baru daerah memasukkan ludruk ke dalam kebijakan budaya mereka.
Namun, menurut Kartolo, seniman ludruk terkenal dan senior di Surabaya, untuk membersihkan sisa-sisa ideologi komunis, aparat rezim mewajibkan para seniman yang ingin bergabung dengan kelompok ludruk baru menjalani “ritual penyucian diri”. Salah satu bentuk yang umum adalah menandatangani surat pernyataan tidak memihak (Tempo).
Aparat militer di Jawa Timur menggabungkan banyak seniman dari beberapa kelompok populer pada masa Soekarno ke dalam kelompok-kelompok baru di bawah kendali mereka.
Selain merger tersebut, di beberapa kabupaten, aparat militer aparat juga mendirikan beberapa baru Selain penggabungan tersebut, di beberapa kabupaten, aparat militer juga mendirikan beberapa kelompok baru dengan menggandeng banyak seniman terkemuka pada periode sebelumnya (Ishommudin, 2013).
Di Jombang aparat mendirikan Ludruk Putra Bhirawa dan Bintang Jaya. Di Madiun, aparat TNI AU Madiun mendirikan Ludruk Trisula Dharma. Penggunaan nama Jawa dan Sanskerta yang biasa digunakan di institusi militer, menunjukkan kontrol rezim negara terhadap budaya kerakyatan dan posisi seniman sebagai “penyampai pesan kesadaran nasional baru” di bawah kekuasaan Orde Baru.
Terlepas dari apakah mereka suka atau tidak suka persepsi, seniman ludruk harus mengikuti aturan baru jika mereka masih ingin melanjutkan kreativitas mereka dan menerima keuntungan ekonomi dari kegiatan budaya.
Salah satu implikasi dari kontrol tersebut adalah para seniman ludruk, baik untuk acara komersial di rumah keluarga kaya di desa maupun pertunjukan yang disponsori negara, harus menampilkan wacana budaya dominan yang diidealkan oleh rezim negara. Menumbuhkan nasionalisme di tengah program pembangunan modern di segala aspek masyarakat adalah salah satu wacananya.
Nasionalisme di tangan rezim Orde Baru menjadi wacana ideologis yang penting, yang dimobilisasi melalui lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, kegiatan indoktrinasi bagi warga negara biasa dan pegawai negeri, program televisi, surat kabar, dan film.