Ironisnya, rezim negara juga mengeluarkan kebijakan budaya nasional, yakni “industri kreatif” dan seni pertunjukan, menjadi salah satu sektor penting dalam kebijakan tersebut. Memang dalam konsep yang ideal, industri kreatif akan melahirkan ekonomi kreatif yang dapat memberikan manfaat ekonomi, baik bagi pelakunya maupun negara.
Namun, mereka memerlukan program-program yang konstruktif, terutama penelitian pendahuluan untuk menemukan model yang sesuai berdasarkan sumber daya budaya dan kreatif, dan inisiatif negara yang akan mendorong aktor sosial, intelektual, kapitalis, dan komunitas kreatif untuk berhasil dalam kebijakan industri kreatif yang akan menghasilkan kesejahteraan untuk semua (Primorac, 2005; Miles dan Green, 2008).
Sayangnya, di Indonesia, pemerintah pusat dan daerah masih belum memiliki program yang pasti untuk meningkatkan industri kreatif berbasis kesenian rakyat.
Namun, ada beberapa faktor internal yang membuat jumlah kelompok ludruk mengalami penurunan pada masa Reformasi. Pertama, pertunjukan ludruk gagal memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga banyak seniman yang meninggalkan kesenian rakyat ini (Musyawir, 2013).
Kedua, banyak grup yang tidak memiliki anggota tetap, yang memaksa mereka untuk mempekerjakan artis amatir dengan kapasitas yang lebih rendah ketika mereka diundang untuk tampil.
Menurut Hengky Kusuma, seorang peneliti, “ludruk papan nama” ini hanya bisa bertahan dalam waktu singkat dan akan cepat menghilang karena tidak ada komitmen dari anggotanya (Radar Mojokerto, 31 Desember 2010). Ketiga, struktur naratif pertunjukan ludruk yang berdurasi panjang terkesan terlalu tradisional dibandingkan dengan kesenian populer modern.
Keempat, lambatnya regenerasi seniman ludruk menyebabkan sulitnya mencari bakat-bakat baru dan muda, sehingga penonton tidak terlalu tertarik untuk datang ke pementasan ludruk yang diperankan oleh seniman-seniman tua berusia sekitar 50-70 tahun.
Pengelolaan tradisional dalam kelompok ludruk membuat pimpinan/pengelolanya mempertimbangkan dengan serius ketika ingin mengganti seniman yang lebih tua dengan yang lebih muda (Surabaya Post, 20 September 2008).
Keenam, minimnya tokoh intelektual dalam kelompok ludruk yang mampu menangani urusan manajerial dan menciptakan terobosan-terobosan inovatif berkaitan dengan cerita dan tata panggung, dapat menyebabkan ludruk terkesan konvensional dan tidak menarik untuk ditonton, terutama bagi generasi muda.
Sebagai strategi bertahan hidup yang kreatif dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan di atas, beberapa kelompok ludruk menemukan beberapa terobosan, baik dalam manajemen produksi maupun cerita. Akibatnya, kelompok ini masih bisa bertahan dan mendapatkan banyak pekerjaan kinerja, baik dari orang desa yang kaya maupun lembaga budaya.