Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Transformasi Ludruk: Keterlibatan Politik, Hegemoni Negara, dan Strategi Survival

9 Februari 2023   00:02 Diperbarui: 19 Februari 2023   09:22 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan Ludruk Karya Budaya di Gresik. Dokumentasi penulis

Pada tahun 1930-an, Gondo Durasim (Cak Durasim) dan kawan-kawan mendirikan organisasi ludruk pertama di Surabaya, Ludruk Organisatie. Pada masa sebelum revolusi kemerdekaan, pertunjukan ludruk, drama rakyat yang populer di Surabaya dan beberapa daerah sekitarnya, menjadi media untuk menyebarluaskan kritik terhadap kekejaman rezim kolonial. 

Rakyat jelata sangat memahami ketidakadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat yang disebabkan oleh sistem kolonial yang lebih banyak memberikan keuntungan bagi penjajah. Kondisi demikian merupakan arena diskursif tempat Cak Durasim dan kawan-kawan membuat narasi tematik dan mementaskannya di atas panggung. 

Meski tidak meniadakan fungsi ludruk yang menghibur, mereka selalu berusaha menghadirkan kesengsaraan rakyat dalam pementasannya melalui kidungan (lagu pengantar berbahasa Jawa), lawakan (humor), dan cerita utama sebagai upaya membangkitkan semangat revolusioner penonton. 

Karena kritik dan tawaran subversif, rezim Belanda sebelum tahun 1940 melarang pertunjukan ludruk dan melikuidasi organisasi ludruk sebagai kebijakan kuratif mereka dalam menghalangi penyebaran semangat revolusi yang lebih luas. 

Kedatangan penjajah Jepang pada tahun 1942 seakan memberi peluang baru bagi para seniman ludruk untuk tetap eksis, karena rezim baru ini melegalkan kembali organisasi dan pertunjukan ludruk. Namun, rezim Jepang menggunakan pertunjukan ludruk sebagai media propaganda, terutama untuk menyebarkan ide-ide Asia Timur Raya agar berada di bawah kendali mereka. 

Namun demikian, dalam sebuah pertunjukan, Cak Durasim mengkritik penjajah Jepang secara terang-terangan melalui parikan populernya: “pagupon omae doro/melu Nippon tambah sengsara (pagupon rumah merpati/mengikuti Nippon lebih duka). Karena parikan ini, aparat Jepang memenjarakan Cak Durasim hingga meninggal dunia (Susanto, 2012).

Berdasarkan kasus di atas, pada awal popularitasnya sebagai seni pertunjukan rakyat, para seniman ludruk banyak menyerap isu dan persoalan sosial di masyarakat untuk mengkritisi ketidakadilan rezim penguasa melalui bahasa arek (dialek Jawa yang digunakan di Surabaya dan beberapa daerah di sekitarnya yang memiliki tidak ada tingkat linguistik berdasarkan strata sosial). 

Melalui kidungan, penonton dengan mudah memahami humor, dan melalui narasi realis dalam arek, mereka memahami kritik sosial dan pesan revolusioner pertunjukan ludruk. 

Dengan kata lain, tidak hanya para tokoh politik-intelektual seperti Soekarno, Hatta, Dr. Sutomo, Tan Malaka, Sjahrir, dll yang berperan dalam memberdayakan kesadaran konsensual masyarakat akan pentingnya kemerdekaan. 

Sesi hiburan oleh para travesti sebelum lakon ludruk dimulai. Dokumentasi penulis
Sesi hiburan oleh para travesti sebelum lakon ludruk dimulai. Dokumentasi penulis
Cak Durasim dan kawan-kawan juga mengambil peran penting dan langsung untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap rezim kolonial yang mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia.

Memang ada beberapa penelitian sebelumnya yang memfokuskan pada ludruk sebagai kajiannya. Peacock (1968), misalnya, meneliti ludruk dan kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan penyebaran nilai-nilai modern, namun fokus waktunya belum sampai pada periode pasca-Soekarno. 

Dengan aksentuasi yang berbeda, Supriyanto (1992) memperhatikan aspek sejarah, cerita, dan estetika dalam pertunjukan ludruk. Ia juga menyatakan pentingnya cerita-cerita perlawanan dalam setting kolonial sebagai pembelajaran publik, khususnya untuk mengkritisi otoritas represif yang menyengsarakan kelas bawah. 

Kendati demikian, ia tidak mengkritisi mengapa cerita perlawanan terhadap penjajah sangat populer di masa Orde Baru. Samidi (2006) membahas hubungan antara penonton dan perkembangan dua jenis teater tradisional, yaitu ludruk dan wayang wong (drama yang menampilkan cerita Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Jawa Keraton) di Surabaya dari tahun 1950-1965. 

Kehadiran penonton di pertunjukan adalah aspek penting, terutama dalam memberikan dukungan keuangan bagi anggota rombongan. Konsekuensinya, rombongan harus membuat para penggemarnya merasa senang sekaligus menaati peraturan pemerintah setempat. 

Kajian-kajian penelitian terdahulu tersebut, setidaknya, menunjukkan belum banyaknya kajian terkait ludruk dari sudut pandang kritis, yang menitikberatkan pada operasi kekuasaan melalui pertunjukan dan kaitannya dengan lingkungan politik dan budaya yang lebih luas.

Artikel ini membahas tentang transformasi pertunjukan ludruk pada masa pascakolonial, dari masa rezim Soekarno ke masa rezim Reformasi, dan kaitannya dengan konteks sejarah, yaitu kondisi sosial ekonomi dan formasi politik-ideologis. 

Saya memiliki kerangka yang berbeda dari Subiyantoro (2010) yang memahami transformasi sebagai perubahan struktur permukaan, bukan struktur dalam, tanpa memperhitungkan prosesnya yang rumit. 

Transformasi, bagi saya, menunjukkan perubahan wacana dalam cerita dan elemen pertunjukan sebagai cara menyesuaikan tren budaya, seperti model pementasan dan penambahan pertunjukan musik interaktif, meskipun struktur pertunjukannya tidak berubah. 

Memodifikasi perspektif Aschroft (2002; 2001), saya menganggap transformasi sebagai apropriasi yang disengaja atas wacana dan praktik baru yang dilakukan oleh aktor lokal (dalam hal ini seniman ludruk) sebagai terobosan strategis dan fleksibel di tengah perubahan ekonomi, budaya, sosial, dan politik. 

Para penari remo Karya Budaya dalam model pertunjukan terob. Dokumentasi penulis
Para penari remo Karya Budaya dalam model pertunjukan terob. Dokumentasi penulis

Dalam kasus tertentu, pemahaman tersebut akan membuat mereka terlibat dalam ideologi dominan. Dengan konsepsi tersebut, saya menemukan beberapa permasalahan untuk dibahas sebagai berikut.  

(1) wacana khusus dalam cerita ludruk dari setiap periode; (2) kondisi kontekstual yang mempengaruhi perubahan wacana; (3) bagaimana kekuatan politik tertentu beroperasi dalam pertunjukan ludruk di setiap periode; dan, (4) pengaruh transformasi terhadap pertunjukan dan kelompok ludruk.

Untuk mencapai tujuan kajian dan menjawab pertanyaan di atas, saya menerapkan perspektif cultural studies, khususnya wacana Foucauldian dan hegemoni Gramscian. Bagi Foucault (1989), wacana adalah sekelompok pernyataan yang terkait dengan formula tunggal dari objek-objek yang bermakna dan sekelompok pernyataan terbatas yang terkait dengan formasi diskursif yang serupa. 

Sebagai rezim kebenaran, wacana akan melahirkan pengetahuan dan mengkonstruksi berbagai subjek diskursif yang juga menghasilkan operasi dan relasi kuasa dalam setting sejarah tertentu. Wacana bukan sekadar menerjemahkan perjuangan atau sistem dominasi, tetapi wacana adalah hal yang untuknya dan yang olehnya ada perjuangan; itu adalah kekuasaan yang harus direbut (Foucault, 1981:53). 

Selanjutnya, operasi kuasa menyebar, tidak top-down, tidak represif, dan datang dari titik yang tidak terbatas (Foucault, 1998:94-95). Konsep wacana dan kekuasaan/pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan hegemoni, khususnya dalam hal operasi dan hubungan kekuasaan melalui pengetahuan budaya dan moral. 

Hegemoni adalah moda kekuasaan yang menekankan kepemimpinan intelektual, budaya, dan moral di mana kelas penguasa mengartikulasikan kepentingan bersama, baik secara ekonomi maupun ideologis, untuk menciptakan konsensus populer dan blok historis yang mendukung otoritas rezim (Gramsci, 2006; Boggs, 1984; Howson & Smith, 2008; Joseph, 2002). 

Namun, kekuatan hegemonik tidak pernah stabil dan selalu membutuhkan negosiasi yang lebih baru karena dalam operasinya, dapat terjadi perlawanan dari kelas sosial lain ketika mereka kekurangan keuntungan dan kelas dominan mulai mempraktikkan kekuatan koersif. 

Kedua pendekatan tersebut berguna tidak hanya dalam menganalisis data, tetapi juga berfungsi sebagai kerangka kerja untuk menemukan dan mengumpulkan data melalui penelitian kualitatif, yang memadukan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan/dokumenter. 

Untuk mengumpulkan data primer terkait permasalahan tersebut, kami melakukan penelitian lapangan di Kabupaten Mojokerto, dimana beberapa kelompok ludruk terkenal dengan para senimannya masih eksis dan populer di tengah perubahan budaya saat ini. 

Dalam pengumpulan data, saya menggunakan wawancara mendalam untuk menggali informasi dari ketua kelompok ludruk, sedangkan observasi partisipatif berguna untuk mengetahui kondisi riil pertunjukan ludruk, termasuk persepsi masyarakat belakangan ini. 

Dalam penelitian kepustakaan, saya membaca dan menganalisis beberapa data sekunder penting dari buku-buku sebelumnya, artikel jurnal, surat kabar, dan media online.

Dalam proses analisis, perspektif Foucauldian memberikan konsep penting dan kerangka operasional untuk mengkritisi transformasi wacana-wacana tertentu yang dimobilisasi dalam pertunjukan ludruk pada setiap periode dan konteks sejarahnya, termasuk kondisi politik, sosial, dan ekonomi. 

Perspektif Gramscian memberi saya sudut pandang yang signifikan dalam memahami hubungan antara cerita ludruk dan operasi kekuasaan tertentu di setiap periode. 

Dengan menggunakan kedua perspektif tersebut, kami menganalisis data berdasarkan tujuan penelitian ini, yaitu menganalisis transformasi cerita ludruk pascakolonial dan kaitannya dengan kondisi sejarah dan kepentingan politik-ideologis. 

Mengingat kondisi sejarah yang berbeda pada masa Reformasi, khususnya dalam pesatnya pertumbuhan industri budaya berbasis teknologi sebagai warna dominan lingkungan budaya yang didorong oleh ekspansi neoliberal, kami akan menganalisis ciri-ciri cerita ludruk terkini dan kelangsungan hidup kreatif. strategi yang dilakukan oleh para seniman dan kelompok ludruk. 

Sangat mungkin bagi mereka untuk membuat cerita kontemporer berbasis masalah sosial untuk menarik pemirsa mereka. Melalui strategi ini, mereka dapat sekaligus menangani masalah ekonomi dan menegosiasikan konsepsi ideal masalah kontemporer kepada pemirsa.

Saya akan menganalisis, pertama-tama, kemunculan wacana kritik sosial dalam pertunjukan ludruk pada masa Soekarno. Pada periode ini, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) beranggotakan banyak seniman dan organisasi ludruk di Jawa Timur sebagai wadah untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat dalam ranah budaya dan menyebarkan ideologi komunis. 

Pasca tragedi berdarah 1965, rezim militeristik mengambil alih banyak organisasi ludruk dan mengontrol pementasannya, terutama cerita-ceritanya, dengan upaya mencegah kembalinya tema-tema kerakyatan sebagai ciri khas ideologi komunis. 

Berdasarkan konteks sejarah kedua periode tersebut, kita akan menelusuri karakteristik diskursus kritik sosial dalam pertunjukan ludruk dan hubungannya dengan operasi kekuasaan tertentu di setiap periode. Pada masa Reformasi yang lebih baru, organisasi ludruk bebas dari kontrol rezim negara, baik dalam kegiatan manajerial maupun kinerjanya. 

Pada periode ini, menarik untuk membahas transformasi cerita ludruk dan strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh kelompok ludruk di tengah maraknya industri budaya berbasis teknologi. Seniman ludruk bisa saja menciptakan cerita-cerita baru yang menjawab persoalan sosial-budaya, ekonomi, dan politik kontemporer di masyarakat.

Ludruk, Lekra, dan Kritik Sosial di Era Sukarno

Pasca kemerdekaan tahun 1945, di tengah semangat kebangsaan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi, suasana politik Indonesia diwarnai oleh kontestasi banyak pihak dengan ideologinya masing-masing—Islam tradisionalis dan modernis, nasionalis-sekuler, sosialis, dan komunis. 

Masing-masing pihak berusaha menggalang isu-isu kerakyatan seperti kemiskinan, pendidikan, nasionalisme, dan kemajuan hidup demi kepentingan dan tujuan politiknya, khususnya dalam merebut simpati dan suara rakyat sebagai langkah awal untuk mengambil peran dalam penyelenggaraan negara. 

Presiden Sukarno bahagia menonton ludruk Marhaen di Istana Negara. Sumber: Historia/Perpusnas
Presiden Sukarno bahagia menonton ludruk Marhaen di Istana Negara. Sumber: Historia/Perpusnas

Ranah budaya merupakan salah satu kunci penting yang dapat mendukung usaha mereka dalam mencapai tujuannya. Akibatnya, masing-masing partai mendirikan lembaga budaya sebagai organisasi (semi) otonom mereka, yang dapat memainkan peran penting dalam menghibur dan meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap partai.

PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah partai yang sangat aktif memobilisasi massa berdasarkan isu-isu krusial seperti kemiskinan dan reforma agraria. Dalam ranah budaya, PKI selalu mengartikulasikan pentingnya pembangunan budaya rakyat sebagai salah satu cara strategis untuk membangun identitas bangsa yang kuat. 

Dalam pelaksanaannya, beberapa tokoh PKI seperti Njoto dan D.N Aidit turut andil dalam pendirian Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang menekankan pada pemberdayaan kesenian rakyat dan seniman dalam program-programnya. Lekra segera meraih popularitas di kalangan seniman rakyat di Indonesia karena janjinya untuk mengembangkan kesenian rakyat. 

Di Jawa Timur banyak seniman ludruk dari berbagai kalangan di Surabaya, Mojokerto, Malang, Jombang, dan kabupaten lain yang bergabung dengan lembaga ini. Realitas ini tak lepas dari komitmen para seniman ludruk terhadap gerakan revolusi dan persoalan keseharian rakyat kelas bawah yang dalam banyak hal sejalan dengan konstitusi dan program Lekra.

Sebagai konsekuensi dari proses pelibatan ini, banyak organisasi ludruk di Jawa Timur yang banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik-ideologis Lekra, tidak hanya dalam cara mengatur dan menggerakkan anggotanya, tetapi juga dalam narasi-narasi yang dibawakan di atas panggung. 

Mengikuti bimbingan Lekra, khususnya dalam membuat narasi dalam artian realisme sosialis, para seniman ludruk mulai melakukan observasi partisipatif terhadap permasalahan keseharian masyarakat untuk menemukan tema-tema menarik yang dapat membangkitkan simpati rakyat. Eko Edy Susanto (selanjutnya Susanto), Ketua Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, mengatakan:

“Pementasan ludruk menjadi idola kaum proletar karena menampilkan cerita-cerita yang membawa kritik sosial terhadap kebijakan pemerintah yang “tidak pro publik”. Melalui cerita-cerita tersebut, masyarakat merasa puas karena merasa permasalahan sehari-harinya terwakili secara imajinatif.” (Wawancara, 12 November 2013)

Seniman ludruk yang berafiliasi dengan Lekra menemukan formula jitu untuk memasukkan kesengsaraan kaum proletar melalui cerita sosial. Oleh karena itu, bagi PKI, kondisi budaya seperti itu memberi keuntungan politik karena simpati masyarakat meningkat. Namun, mereka juga mengangkat beberapa isu nasional seperti pemberontakan militer daerah di Sumatera dan Sulawesi. 

Secara diskursif, komitmen terhadap persoalan kebangsaan sejalan dengan kebijakan PKI dalam mendukung program-program Sukarno, khususnya dalam melakukan aksi militer untuk menangani subversi daerah. Dengan kata lain, terkait dengan kebijakan negara, kelompok yang berafiliasi dengan Lekra memiliki posisi diskursif kontekstual berdasarkan kepentingan ideologisnya.

Selain dua tema tersebut, para seniman ludruk membuat cerita tentang urusan agama. Melalui ketiga cerita tematik yang dominan tersebut, penampilan kelompok ludruk yang berafiliasi dengan Lekra semakin populer di ranah budaya publik, meskipun dalam banyak kasus, penampilan mereka seringkali memicu tanggapan kontroversial, terutama dari faksi-faksi ideologis yang berlawanan. 

Beberapa cerita provokatif ditampilkan tentang tema-tema sensitif agama yang berkorelasi dengan masalah sosial yang akut. Misalnya, para seniman ludruk menafsirkan kembali wacana-wacana sakral dalam ajaran Islam, seperti Allah Yang Maha Esa, dengan cara sekuler.

Di Jombang, salah satu daerah basis massa NU, Lekra membawakan cerita berjudul Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Menantu). Dalam kisah yang dibawakan oleh kelompok paling terkenal di Jombang ini, Arum Dalu, Allah Yang Maha Esa, dianggap memiliki seorang anak. 

Ada juga cerita berjudul Kawine Malaikat Jibril… Pada tahun 1965, kelompok ludruk…di Jawa Timur lebih berani dan kritis. Cerita-cerita provokatif seperti Gusti Allah Dadi Manten (Dewa Menikah) dan Malaikat Kimpoi (Malaikat Berhubungan Seks) kerap dipentaskan di beberapa daerah yang menjadi basis kelompok kesenian binaan Lekra. 

Masyarakat Jawa Timur yang selama ini lebih ekspresif… dalam budayanya, mementaskan ludruk dengan cerita Malaikat Kipo. Kata “kipo” berarti “pipa” yang berfungsi sebagai saluran. Kisah ini membahas pemberontakan rakyat terhadap pemilik tanah di bawah program reformasi tanah. 

Kyai (guru agama Islam) adalah simbol kaum bangsawan kelas atas (priyayi) yang memiliki tanah yang lebih luas. Malaikat menjadi pembela masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. (“Gusti Allah Pun Ngunduh Mantu”, Tempo, 30 September 2013.p.98-99)

Kisah yang lebih kontroversial tentu saja Matinya Gusti Allah (Matinya Tuhan) yang membuat banyak umat Islam di Jawa Timur marah. Meski tidak ada data yang pasti tentang hal itu, bagi banyak umat Islam, Matinya Gusti Allah adalah propaganda aktif dari PKI yang memprovokasi keyakinan agama mereka tentang kekuasaan Tuhan. 

Memang semua cerita kontroversial yang dilakukan oleh kelompok ludruk di bawah doktrin komunis adalah reaksi kreatif dan kritis terhadap masalah sosial yang akut di masyarakat masih terjebak dalam wacana dan praktik keagamaan yang feodal dan ketat. 

Bagi Lekra, kondisi masa depan mungkin membuat masyarakat kelas bawah hidup sengsara dan tidak pernah menemukan jalan yang progresif dalam mencapai kesejahteraan ekonomi karena masyarakat selalu mengikuti kata-kata agama kyai tanpa memiliki pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan.

Ludruk Marhaen menggelar pertunjukan di Istana Negara. Sumber: Historia/Perpusnas
Ludruk Marhaen menggelar pertunjukan di Istana Negara. Sumber: Historia/Perpusnas

Saya membaca keberanian kelompok ludruk untuk membawakan cerita-cerita yang sensitif secara relijius sebagai terobosan kreatif yang memiliki tujuan ideologis, pertama, mengajarkan massa untuk berpikir sekuler, terutama untuk melepaskan proses-proses duniawi yang rumit seperti kegiatan ekonomi dan politik dari cita-cita sorgawi. diajarkan oleh guru agama di wilayah desa. 

Untuk memberdayakan budaya rakyat sebagai sumber utama budaya nasional yang dapat memperkuat ideologi revolusioner di tengah massa proletariat, penting pada masa itu untuk “menyuburkan” kesadaran bersama akan pentingnya pemikiran radikal terhadap dogma dan kekuasaan feodal-religius. 

Kedua, indoktrinasi mental kaum proletar sejak dini melalui pertunjukan ludruk dapat menjadi titik awal untuk mempersiapkan aksi-aksi politik yang masif di bawah kendali kekuatan komunis. 

Dengan kata lain, keterlibatan ideologis kelompok dan pertunjukan ludruk di Jawa Timur memberikan keuntungan kultural bagi PKI, khususnya dalam memberdayakan basis proletarnya di desa-desa sebagai strategi untuk memenangkan suara politik secara nasional.

Popularitas Lakon Perjuangan di Era Orde Baru
Sebagai upaya untuk membersihkan jejak-jejak ideologi komunis di ranah budaya, baik di kota maupun desa, rezim Orde Baru melarang kelompok ludruk dan pertunjukannya selama beberapa tahun di Jawa Timur karena keterlibatannya dalam Lekra. Banyak seniman ludruk yang selamat dari pembunuhan massal menghentikan aktivitas pentasnya dan mengalami trauma yang mendalam. 

Namun, rezim baru ini mengetahui potensi kontribusi kesenian rakyat dalam menyebarkan wacana ideologis. Sebagai budaya residual, mengikuti terminologi Williams (2006), ludruk masih memiliki aura publik karena akar sejarahnya yang mampu membuat petani datang ke pementasan tersebut. Oleh karena itu, rezim Orde Baru daerah memasukkan ludruk ke dalam kebijakan budaya mereka. 

Namun, menurut Kartolo, seniman ludruk terkenal dan senior di Surabaya, untuk membersihkan sisa-sisa ideologi komunis, aparat rezim mewajibkan para seniman yang ingin bergabung dengan kelompok ludruk baru menjalani “ritual penyucian diri”. Salah satu bentuk yang umum adalah menandatangani surat pernyataan tidak memihak (Tempo). 

Aparat militer di Jawa Timur menggabungkan banyak seniman dari beberapa kelompok populer pada masa Soekarno ke dalam kelompok-kelompok baru di bawah kendali mereka.

Selain merger tersebut, di beberapa kabupaten, aparat militer aparat juga mendirikan beberapa baru Selain penggabungan tersebut, di beberapa kabupaten, aparat militer juga mendirikan beberapa kelompok baru dengan menggandeng banyak seniman terkemuka pada periode sebelumnya (Ishommudin, 2013). 

Di Jombang aparat mendirikan Ludruk Putra Bhirawa dan Bintang Jaya. Di Madiun, aparat TNI AU Madiun mendirikan Ludruk Trisula Dharma. Penggunaan nama Jawa dan Sanskerta yang biasa digunakan di institusi militer, menunjukkan kontrol rezim negara terhadap budaya kerakyatan dan posisi seniman sebagai “penyampai pesan kesadaran nasional baru” di bawah kekuasaan Orde Baru. 

Terlepas dari apakah mereka suka atau tidak suka persepsi, seniman ludruk harus mengikuti aturan baru jika mereka masih ingin melanjutkan kreativitas mereka dan menerima keuntungan ekonomi dari kegiatan budaya.

Salah satu implikasi dari kontrol tersebut adalah para seniman ludruk, baik untuk acara komersial di rumah keluarga kaya di desa maupun pertunjukan yang disponsori negara, harus menampilkan wacana budaya dominan yang diidealkan oleh rezim negara. Menumbuhkan nasionalisme di tengah program pembangunan modern di segala aspek masyarakat adalah salah satu wacananya. 

Nasionalisme di tangan rezim Orde Baru menjadi wacana ideologis yang penting, yang dimobilisasi melalui lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, kegiatan indoktrinasi bagi warga negara biasa dan pegawai negeri, program televisi, surat kabar, dan film.

Menariknya, aparatur negara cenderung mengekspos nasionalisme antikolonial, yang selalu menganggap penjajah (khususnya penjajah Belanda), sebagai musuh bersama bangsa karena kekuasaan mereka di masa lalu mengakibatkan kesengsaraan nasional, dalam aspek ekonomi, politik, dan budaya. 

Kesengsaraan tersebut menjadi argumen rasional untuk membangkitkan sentimen nasional dan menciptakan oposisi biner antara rakyat Indonesia dan Belanda, meskipun secara administratif mereka telah merdeka sejak tahun 1945.

Karena kelompok ludruk telah merevisi orientasi ideologis dan kreatifnya (mulai tahun 1970-an) para seniman harus mengikuti arahan militer dalam melakukan pertunjukannya, termasuk jenis cerita yang disukai dan pesan politik lainnya melalui kidungan dan parikan. Cerita perlawanan dalam setting kolonial merupakan salah satu ciri pertunjukan ludruk. 

Perlawanan terhadap penjajah Belanda atau kompeni pada masa Orde Baru menunjukkan mobilisasi nasionalisme antikolonial melalui pertunjukan ludruk. Bagi kami, yang menarik untuk dibahas adalah kemunculan para pahlawan rakyat sipil dalam cerita-cerita perlawanan yang berperan dominan dalam pemberontakan melawan kompeni.

Misalnya, dalam cerita berjudul Sogol Pendekar Sumur Gemuling, sang tokoh utama, Sogol, secara individual melakukan aksi “Robin Hood” dengan merampok keluarga kaya—baik Belanda maupun pribumi—dan memberikan barang rampasan kepada keluarga miskin di desanya. 

Eksploitasi kolonial menambah kemiskinan penduduk desa karena mereka harus memberikan hasil panen mereka kepada kompeni melalui aparat desa. Didorong oleh kemarahannya melihat ketidakadilan dan kemiskinan yang dialami oleh penduduk asli yang miskin, 

Sogol memutuskan untuk melakukan perampokan, meskipun tindakan tersebut menjadikannya musuh publik, tidak hanya di mata kompeni, tetapi juga di mata penduduk asli yang kaya. . Bagaimana Sogol bisa memiliki keberanian seperti itu? Ia memiliki kesaktian yang membuatnya aman dari cedera atau kematian akibat tembakan. 

Memang di akhir cerita, kompeni bisa membunuh Sogol setelah ibunya ditangkap, namun semangat perlawanan terhadap penjajah menjadi wacana dominan yang diceritakan kepada para penonton ludruk. Menariknya, ada beberapa cerita populer serupa yang juga mengandung wacana perlawanan, seperti Sarip Tambak Oso, Sawunggaling, Pak Sakerah, Joko Sembung, dll.

Pertanyaannya kemudian, mengapa para seniman ludruk pada periode ini menampilkan cerita perlawanan. Ada beberapa jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan tersebut mengingat konteks sejarah kelahiran kembali ludruk pada masa Orde Baru di Indonesia. 

Penguasaan aparat militer terhadap kelompok dan seniman ludruk pada tahun 1970-an tidak hanya dalam arti administrasi dan politik, tetapi juga dalam arti produksi. Sebagai kelas penguasa dalam pembentukan rezim negara, aparat militer mungkin. Pertanyaannya kemudian, mengapa para seniman ludruk pada periode ini menampilkan cerita perlawanan. 

Ada beberapa jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan tersebut mengingat konteks sejarah kelahiran kembali ludruk pada masa Orde Baru di Indonesia. Penguasaan aparat militer terhadap kelompok dan seniman ludruk pada tahun 1970-an tidak hanya dalam arti administrasi dan politik, tetapi juga dalam arti produksi. 

Sebagai kelas penguasa dalam pembentukan rezim negara, aparat militer mungkin juga mengatur dan memerintahkan para seniman ludruk untuk menyebarluaskan wacana-wacana tertentu. 

Cerita-cerita perlawanan terhadap kompeni dipilih karena meskipun tidak mengusung perjuangan militer seperti yang terwakili dalam banyak narasi film, mereka merepresentasikan dan memobilisasi isu-isu revolusi kolonial yang menekankan pada pertempuran fisik seperti yang dilakukan oleh pasukan militer di masa lalu. 

Dengan kata lain, meskipun pahlawan rakyat sipil memainkan peran dominan dalam cerita, wacana yang diterapkan di dalamnya adalah militerisme. Wacana ini sangat signifikan bagi rezim negara karena mereka ingin menegosiasikan otoritas mereka.

 Oleh karena itu, negosiasi militerisme menjadi basis konsensual yang dapat melahirkan persetujuan rakyat terhadap operasi rezim.
Konsekuensi lebih lanjut dari penguasaan negara adalah berkurangnya kritik atas ketidakadilan dalam masyarakat melalui pertunjukan ludruk. Susanto menyatakan:

“Ludruk pada masa Orde Baru memang menjadi ‘pengeras suara’ pemerintah. Pementasan ludruk mengartikulasikan propaganda rezim, khususnya menggalakkan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana (KB), tanaman pembangunan lima tahun, dll. 

Kondisi tersebut menyebabkan animo masyarakat terhadap ludruk menurun. Mereka merasa pertunjukan ludruk tidak mengartikulasikan masalah sosial dan menyuarakan suara kaum proletar. Tidak ada kritik tajam terhadap kebijakan dan program pemerintah. 

Segala sesuatu yang berhubungan dengan rezim diartikulasikan dengan sopan santun. Adegan humor dan kidungan tidak lagi memiliki arti kritis dan hanya menjadi pidato resmi dari agen informasi.” (Wawancara, 12 November 2013)

Memang kepopuleran ludruk sebagai kesenian rakyat yang membawa suara-suara kritis di atas panggung, berubah menjadi media budaya penting negara untuk menyebarluaskan kebijakan dan program mereka.

Intervensi diskursif ini bertujuan untuk memperluas penerimaan politik di kalangan masyarakat dan mendukung keunggulan rezim baru dengan otoritas yang menjanjikan, khususnya dalam kesejahteraan ekonomi yang layak melalui berbagai terobosan modern.
yaitu pembangunan nasional. 

Dalam kondisi demikian, para seniman ludruk tidak bisa mendapatkan suara yang independen karena secara administratif dan ideologis mereka dikendalikan oleh rezim. Dalam posisi subordinat ini, yang bisa mereka lakukan adalah mengikuti kecenderungan wacana yang disukai dan memobilisasi pentingnya ajaran moral dan budaya yang mendukung pembentukan kuasa hegemonik.

Meski seharusnya semua seniman ludruk di Jawa Timur menuruti apa yang diinginkan rezim, mereka juga bisa menegosiasikan kepentingannya, terutama dalam konteks melestarikan keberadaan ludruk sebagai kesenian rakyat di tengah suasana budaya modern. 

Dengan mendapat izin dari aparat militer, meski tanpa kebebasan berekspresi, mereka tetap bisa berkreasi, menghibur penonton, dan mendapatkan keuntungan ekonomi. Setidaknya mereka memiliki cita-cita ideal bahwa kesenian rakyat ini mampu bersaing dengan masifnya popularitas industri budaya, seperti program televisi, film, dan produk musik. 

Meskipun terlalu sulit untuk memiliki posisi dan prestasi yang sama sejak rezim memberikan para kreator industrial dan produsen kapitalis lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan produk budaya komersial mereka. Lebih lanjut, seniman ludruk juga mungkin bermimpi bahwa suatu saat rezim akan memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan pertunjukan ludruk.

Pada 1980-an, mimpi itu menjadi kenyataan ketika aparat militer menarik kembali posisi administratifnya dalam mengontrol pertunjukan ludruk. 

Tari remo Karya Budaya dalam model tobongan
Tari remo Karya Budaya dalam model tobongan
Adapun implikasi dari kebijakan tersebut, beberapa kelompok ludruk di Surabaya, Mojokerto, Jombang, dan Malang diperbolehkan untuk membuat strategi, baik dalam keterampilan manajerial maupun pola diskursif, meskipun tidak berarti mereka mencapai kebebasan total dalam merepresentasikan masalah-masalah krusial di masyarakat.  

Secara manajerial dan kreatif, beberapa seniman ludruk terkenal dari Surabaya, Mojokerto, dan Malang mulai menemukan strategi pertunjukan yang lebih baru untuk memperbesar penontonnya hingga ke desa-desa ketika produk budaya pop dominan di kota-kota seperti Surabaya. 

Gedongan, model pertunjukan pada masa Soekarno di mana kelompok ludruk tampil di tempat-tempat umum kota dalam waktu temporal (umumnya dalam seminggu atau sebulan) dengan menjual tiket kepada penontonnya maupun model teaternya (Samidi, 2006), adalah tidak cocok lagi karena orang kota lebih suka menonton film. 

Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, beberapa kelompok ludruk dari Surabaya (Baru Budi, Susana, dan RRI), Mojokerto (Karya Budaya), dan Jombang (Kartika Jaya) mulai menemukan terobosan untuk memperlebar target penontonnya dengan membawa penampilan mereka ke pedesaan. 

Mereka merumuskan tobongan, model pertunjukan selama dua atau tiga bulan di lapangan desa yang dikelilingi dengan menggunakan gedhek (dinding yang terbuat dari bambu) dan penonton harus membeli tiket satu malam.

Dalam tobongan, cerita perlawanan masih sangat populer dan wacana perkembangan masih menjadi unsur yang dominan. Memang, kisah-kisah itu menceritakan dan mengajarkan kepada penonton tentang keutamaan melawan otoritas kolonial sebagai basis pemupukan nasionalisme. 

Lebih jauh lagi, mobilisasi oposisi biner antara pahlawan dan musuh, dalam hal ini penjajah, dapat menginternalisasi dan mengindoktrinasi pentingnya mengambil sikap tegas di bawah label kebangsaan. Dengan konstruksi politik-estetika ini, masyarakat akan selalu sadar akan bahaya dan dampak negatif dari nilai-nilai budaya barat yang dilambangkan oleh penjajah Belanda. 

Pertanyaannya kemudian, mengapa rezim Orde Baru melalui seniman dan pertunjukan ludruk membutuhkan nasionalisme yang begitu antikolonial, padahal pada periode sebelumnya banyak pemikir dan kreatif telah menyuburkan konsep nasionalisme yang dinamis, yang memungkinkan mereka “mengimpor” berbagai wacana ideologi sebagai yayasannya. 

Bagi kita, sangat penting untuk memahami program pembangunan nasional sebagai konteks sejarah dari proses kebudayaan, yang khususnya melibatkan kesenian rakyat.

Salah satu ciri khas program pembangunan nasional adalah terjadinya revolusi industri di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya di mana rezim mengundang sebanyak mungkin investor asing dan nasional untuk menanamkan modal finansial mereka atas nama kemajuan. 

Rezim juga mengizinkan budaya pop asing, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, yang dilarang di era Soekarno melalui mekanisme impor. Tak pelak, konsekuensi ideologis dari kebijakan tersebut adalah tumbuhnya kapitalisme sebagai determinan dominan dalam segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dari kota hingga desa (Faruk, 1995). 

Implikasi selanjutnya adalah meluasnya paham individualisme yang menekankan kebebasan individu di tengah-tengah masyarakat. Bagi aparatur negara, kebebasan ini, terutama dalam pemikiran dan ekspresi budaya, dapat menimbulkan kritik terhadap pemerintah yang akan mengganggu kekuasaannya. 

Oleh karena itu, penyebarluasan wacana komunalisme, moralitas, dan nasionalisme antikolonialisme melalui seni-seni residual namun tetap populer, seperti ludruk, merupakan strategi preventif untuk membendung “mekarnya” semangat perlawanan. 

Adegan lawakan (humor/komedi) Karya Budaya. Dokumentasi penulis
Adegan lawakan (humor/komedi) Karya Budaya. Dokumentasi penulis
Dengan kata lain, rezim negara menggunakan budaya tradisional, dalam hal ini pertunjukan ludruk yang diperbaharui wacana politik-ideologisnya melalui cerita perlawanan, sebagai upaya mereka untuk mencegah meningkatnya ketidakpuasan, kritik, dan perlawanan yang dikonstruksi sebagai ancaman terhadap budaya dan juga untuk mengamankan basis konsensual otoritas hegemonik mereka.

Memang sutradara ludruk mulai membuat cerita tentang cinta dan masalah sosial sehari-hari, namun penyelesaian dari semua konflik selalu memiliki kesimpulan moralistik atau keharmonisan di antara para tokohnya. 

Resolusi serupa dapat kita temukan dalam narasi film Indonesia pada 1980-an, di mana ketegangan konflik yang semakin tinggi antara individu dengan keluarga atau masyarakatnya diselesaikan dengan kembalinya mereka ke kehangatan keluarga sebagai metafora integrasi (Khrisna Sen, 2010). 

Namun, terlepas dari wacana moralitas dan integratif tersebut, kisah cinta dapat dibaca sebagai taktik estetik, baik untuk mengapropriasi modernitas sebagai budaya dominan maupun menegosiasikan keberadaan ludruk sebagai salah satu kesenian rakyat yang tersisa di tengah perubahan budaya sebagai dampak langsung pesatnya budaya populer. 

Setidaknya, secara minimal, para seniman ludruk masih bisa memposisikan diri dan kreativitasnya yang berbasis tradisi dengan orientasi modern dalam kontestasi budaya.

Terlepas dari hegemoni rezim negara, jumlah kelompok ludruk di Jawa Timur pada masa Orde Baru mulai berkurang. Booming ludruk pada awal tahun 1980-an menunjukkan respon euforia atas kebijakan kebudayaan rezim Orde Baru yang memungkinkan para seniman ludruk mengadakan pentas, baik di kota maupun desa. 

Kepopuleran tobongan yang dipengaruhi oleh bertambahnya kelompok ludruk sejalan dengan kemajuan ekonomi penduduk desa akibat revolusi hijau dan sistem pertanian modern, sehingga mereka memperoleh pendapatan yang lebih besar. Selain itu, akses hiburan modern sangat terbatas bagi penduduk desa. 

Namun, pesatnya kemajuan budaya populer membuat jumlah kelompok ludruk semakin berkurang dari tahun 1985-1988. Dalam konteks pedesaan, banyak keluarga kaya yang memperoleh keuntungan finansial dari hasil panen yang sukses membeli “televisi hitam putih” untuk menonton program-program populer di TVRI (Televisi Republik Indonesia), seperti industri musik metropolitan (Selecta Pop, Aneka Ria Safari, Kamera Ria, dan Album Minggu Ini) dan film (Film Cerita Akhir Pekan). 

Lambat laun warga desa mulai mengonsumsi budaya pop dan kurang tertarik dengan seni pertunjukan tradisional seperti ludruk, meskipun tidak sepenuhnya ditinggalkan (Setiawan, 2012).

Pada awal tahun 1990-an, jumlah kelompok ludruk menurun drastis, karena hanya sedikit penduduk desa pergi ke tobongan. Kondisi seperti itu membuat kelompok ludruk kehilangan penonton dan tentunya pendapatan. Akhirnya, banyak dari mereka yang tumbang dan berhenti tampil. 

Berkurangnya kelompok ludruk secara radikal pada tahun 1994 merupakan konsekuensi langsung dari akses televisi swasta di wilayah pedesaan. Penduduk desa lebih suka menonton acara yang beragam dan berwarna di televisi swasta, seperti sinetron (sinetron), musik populer, dan olahraga di RCTI, SCTV, Indosiar, dan ANTV. 

Selain itu, kepopuleran layar tancap (istilah lokal untuk film layar lebar yang diputar di tempat terbuka) juga turut menyebabkan hilangnya tobongan dari ranah budaya desa. Sejak saat itu, kelompok ludruk telah melakukan pertunjukan teropan, sebuah model pertunjukan di mana kelompok-kelompok tertentu tampil di terob untuk melayani ritual keluarga orang kaya atau dalam ritual desa. 

Dalam mode pertunjukan baru ini, cerita-cerita perlawanan dan berbasis masalah sehari-hari masih populer, menunjukkan bahwa wacana ideologi Orde Baru masih beroperasi, meski lambat laun mulai kehilangan kekuatan dominan dan efektifnya ketika krisis ekonomi nasional terjadi pada tahun 1997 dan berbagai masalah pelik. muncul. 

Strategi Survival di Zaman Pasar 

Booming VCD player China yang murah di tahun 2000-an mempercepat perubahan budaya yang radikal di desa-desa. Durasi acara hiburan yang lebih singkat, variasi acara, dan warna-warni produk tekno-kultural turut menyebabkan marjinalisasi beberapa kesenian rakyat di Jawa Timur, termasuk ludruk. 

Selain itu, kurangnya perhatian rezim negara daerah terhadap kebijakan budayanya juga menjadi penyebab matinya banyak kelompok kesenian rakyat di Mojokerto, Jombang, Surabaya, dan Malang (Susanto, wawancara, 12 November 2013). 

Di Surabaya, kota tempat Cak Durasim mempopulerkan ludruk sebagai media revolusi, aparat negara meniadakan jejak sejarah ludruk dan tidak menghiraukannya (Kompas, 4 Juni 2002). 

Ketiadaan rezim negara dalam mengembangkan kesenian rakyat, termasuk ludruk, tentunya menunjukkan ketidakkonsistenan mereka dalam memposisikan aset budaya bangsa yang disebut-sebut mengandung nilai-nilai moral luhur sebagai identitas bangsa. 

Ironisnya, rezim negara juga mengeluarkan kebijakan budaya nasional, yakni “industri kreatif” dan seni pertunjukan, menjadi salah satu sektor penting dalam kebijakan tersebut. Memang dalam konsep yang ideal, industri kreatif akan melahirkan ekonomi kreatif yang dapat memberikan manfaat ekonomi, baik bagi pelakunya maupun negara. 

Warga Cerme Gresik menonton Karya Budaya. Dokumentasi penulis
Warga Cerme Gresik menonton Karya Budaya. Dokumentasi penulis

Namun, mereka memerlukan program-program yang konstruktif, terutama penelitian pendahuluan untuk menemukan model yang sesuai berdasarkan sumber daya budaya dan kreatif, dan inisiatif negara yang akan mendorong aktor sosial, intelektual, kapitalis, dan komunitas kreatif untuk berhasil dalam kebijakan industri kreatif yang akan menghasilkan kesejahteraan untuk semua (Primorac, 2005; Miles dan Green, 2008). 

Sayangnya, di Indonesia, pemerintah pusat dan daerah masih belum memiliki program yang pasti untuk meningkatkan industri kreatif berbasis kesenian rakyat.

Namun, ada beberapa faktor internal yang membuat jumlah kelompok ludruk mengalami penurunan pada masa Reformasi. Pertama, pertunjukan ludruk gagal memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga banyak seniman yang meninggalkan kesenian rakyat ini (Musyawir, 2013). 

Kedua, banyak grup yang tidak memiliki anggota tetap, yang memaksa mereka untuk mempekerjakan artis amatir dengan kapasitas yang lebih rendah ketika mereka diundang untuk tampil. 

Menurut Hengky Kusuma, seorang peneliti, “ludruk papan nama” ini hanya bisa bertahan dalam waktu singkat dan akan cepat menghilang karena tidak ada komitmen dari anggotanya (Radar Mojokerto, 31 Desember 2010). Ketiga, struktur naratif pertunjukan ludruk yang berdurasi panjang terkesan terlalu tradisional dibandingkan dengan kesenian populer modern. 

Keempat, lambatnya regenerasi seniman ludruk menyebabkan sulitnya mencari bakat-bakat baru dan muda, sehingga penonton tidak terlalu tertarik untuk datang ke pementasan ludruk yang diperankan oleh seniman-seniman tua berusia sekitar 50-70 tahun. 

Pengelolaan tradisional dalam kelompok ludruk membuat pimpinan/pengelolanya mempertimbangkan dengan serius ketika ingin mengganti seniman yang lebih tua dengan yang lebih muda (Surabaya Post, 20 September 2008).

Keenam, minimnya tokoh intelektual dalam kelompok ludruk yang mampu menangani urusan manajerial dan menciptakan terobosan-terobosan inovatif berkaitan dengan cerita dan tata panggung, dapat menyebabkan ludruk terkesan konvensional dan tidak menarik untuk ditonton, terutama bagi generasi muda.

Sebagai strategi bertahan hidup yang kreatif dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan di atas, beberapa kelompok ludruk menemukan beberapa terobosan, baik dalam manajemen produksi maupun cerita. Akibatnya, kelompok ini masih bisa bertahan dan mendapatkan banyak pekerjaan kinerja, baik dari orang desa yang kaya maupun lembaga budaya. 

Terdapat lima kelompok ludruk unggulan di Jawa Timur berdasarkan intensitas pertunjukannya, yaitu (1) Ludruk Karya Budaya Mojokerto; (2) Ludruk Budhi Wijaya Mojokerto; (3) Ludruk Mustika Jaya Jombang; (4) Ludruk Karya Baru Mojokerto; dan (5) Ludruk Putra Wijaya Jombang. 

Kelima kelompok tersebut sangat populer karena kemampuan dan kapasitas manajer mereka dalam merumuskan manajemen organisasi berdasarkan pengetahuan modern dan karena direktur kreatif mereka dalam menciptakan cerita baru atau up-to-date dan inovasi pementasan. 

Karena kemampuan kreatifnya, kelompok-kelompok tersebut menerima 6.000.000 rupiah hingga 7.000.000 rupiah untuk pertunjukan terob.

Adegan tari travesti Karya Budaya. Dokumentas penulis
Adegan tari travesti Karya Budaya. Dokumentas penulis

Dalam konteks terobosan manajerial dan pementasan, menurut Susanto, Ludruk Karya Budaya telah menerapkan beberapa cara inovatif sebagai upaya serius untuk bersaing di era pasar saat ini (wawancara, 12 November 2013). Cara pertama dalam merevitalisasi mekanisme klasik regenerasi yaitu nyebeng, sepelan, dan tedean. 

Nyebeng adalah observasi yang dilakukan oleh artis-artis muda ketika seniornya tampil di atas panggung. Sepelan adalah kesepakatan untuk berbicara atau berakting antara artis yang lebih muda dan yang lebih senior ketika mereka bermain dalam satu adegan. 

Tedean wajib bagi seniman muda untuk meminta saran dan kritik dari seniman senior tentang aksi dalam adegan tertentu yang telah atau akan mereka lakukan. Melalui revitalisasi ini, kelompok ludruk dapat menemukan solusi yang tepat untuk masalah regenerasi. 

Metode kedua, yang bertentangan dengan metode klasik, mengadakan lokakarya akting dan pementasan yang dapat memperkaya keterampilan kreatif para seniman. Melalui workshop, mereka dapat menciptakan tarian baru, teknik akting, teknik penyutradaraan, dan yang lain. 

Peningkatan keterampilan yang diperoleh melalui workshop setidaknya akan membuat pertunjukan ludruk menjadi lebih baik dan kreatif, sehingga akan mendorong lebih banyak penonton untuk menghadiri pertunjukan. 

Metode ketiga berkaitan dengan metode kedua, yaitu merekrut orang-orang kreatif yang dapat memberikan pengetahuan lebih tentang dunia pementasan, mulai dari sound system, lightening system, dan elemen estetika lainnya. 

Cara keempat adalah memperbaiki pengelolaan ludruk dengan menggabungkan sistem tradisional dan modern, sehingga para seniman ludruk dapat merasakan suasana komunal yang mengesankan selama pertunjukan dan dapat menemukan penerima manfaat yang maksimal, terutama untuk pendapatan keuangan, melalui mekanisme pengelolaan yang lebih baik. 

Anggota Karya Budaya, misalnya, selalu mendapat dua macam bonus tahunan, menjelang Idul Fitri (hari raya terbesar umat Islam) dan di akhir tahun karena pengelolanya selalu menyisihkan sebagian honor mereka dalam setiap penampilan. 

Setiap anggota akan menerima 1.500.000-2.000.000 rupiah. Hal ini bisa terjadi karena melalui terobosan kreatif dan inovatif, Karya Budaya bisa menerima 150 undangan kerja dalam setahun, jumlah yang tinggi untuk kesenian rakyat.

Berdasarkan pengamatan partisipatif kami selama pementasan Karya Budaya di sebuah desa di Mojokerto, kami menyimpulkan bahwa terobosan-terobosan di atas memberikan efek yang luar biasa terhadap popularitas kelompok ini. 

Memang tidak ada perubahan struktur pementasan—secara kronologis mulai dari kidungan, remo (tari penyambutan), pertunjukan karawitan Jawa, lawakan (humor), dan cerita. Karyo, salah seorang penonton dari ratusan penonton malam itu, mengomentari penampilan tersebut sebagai berikut:

“Di Mojokerto, Anda akan menemukan kondisi serupa. Ratusan penonton hadir saat Karya Budaya tampil. Grup ini luar biasa. Setiap seniman memiliki kualitas yang bagus, baik dalam remo maupun dalam berakting sebagai tokoh dalam sebuah cerita. 

Teknologi pencahayaan dan tata suara memberi kami situasi yang berbeda, karena kami seperti memasuki pertunjukan tradisional dengan cita rasa modern. Panggung yang penuh warna juga memberikan kenikmatan dalam menonton ceritanya. 

Memang di pertengahan cerita, banyak anak-anak dan remaja yang meninggalkan pementasan, namun ada sekitar dua ratus penonton yang menikmati cerita hingga subuh.” (Wawancara, 28 November 2013)

Penggunaan teknologi lighting dan sound system terkini menciptakan kombinasi yang luar biasa antara seni rakyat dan teknologi modern. 

Hal ini menunjukkan bahwa penonton saat ini sudah sangat terbiasa dengan teknologi modern karena mereka menonton acara televisi dan mendengarkan musik di VCD, sehingga ketika seorang manajer panggung menggunakannya dalam pementasan, mereka sangat bersemangat. 

Kapasitas estetik para seniman Karya Budaya hasil workshop internal turut menambah ketertarikan penonton pada kelompok ini karena ada teknik kreatif menari dan akting yang membuat pertunjukan menjadi interaktif.

Namun demikian, penciptaan cerita baru yang berkaitan dengan masalah sosial kontemporer juga mengambil peran penting sebagai strategi bertahan hidup karena pesaing utama ludruk adalah sinetron (sinetron Indonesia di televisi swasta) dan film yang memiliki cerita lebih menarik dan rumit berdasarkan masalah nyata. 

Secara historis, ludruk telah terikat dalam hubungan antara kondisi sosial dan konteks sejarah sebagaimana telah kita bahas pada subbab sebelumnya. 

Artinya, tidak sulit bagi sutradara atau penulis naskah ludruk untuk mengarang cerita-cerita baru berdasarkan permasalahan sehari-hari masyarakat, meskipun kebanyakan lebih tertarik, didorong oleh pemikiran pragmatis dan jejak popularitas cerita kolonial dalam ingatan publik, untuk mementaskan Sarip Tambakoso, Pak Sakera, Joko Sambang, dan kisah perlawanan lainnya. 

Dalam arti kritis, penciptaan cerita-cerita baru penting untuk secara bertahap menghapus efek hegemonik militerisme dan untuk mendapatkan kembali hubungan ludruk yang lebih dekat dengan penontonnya yang umumnya berasal dari kelas bawah dan desa.

Di era Reformasi ini, masyarakat mengalami berbagai permasalahan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan budaya. Semuanya dapat menjadi landasan imajinatif dan kreatif bagi para seniman dan sutradara ludruk yang dapat ditransfer ke dalam kidungan, humor, cerita, dan aksi pementasan lainnya. 

Meski tidak bisa memberikan solusi praktis atas permasalahan tersebut, namun artikulasinya bisa membuat penonton merasa terwakili secara akurat dalam pertunjukan ludruk. 

Paring Waluyo dan Happy Budhi (2007) berpendapat bahwa dengan mengenali dan memahami kebiasaan dan permasalahan penonton sehari-hari, seniman ludruk dapat menciptakan cerita, humor, dan kidungan yang terjalin dengan nilai dan peristiwa yang mudah dipahami dan diingat. 

Beberapa kelompok ludruk sebenarnya sudah mulai membuat cerita kekinian berbasis masalah sosial dalam pementasannya untuk menarik penonton. Karya Budaya, misalnya, dalam beberapa kesempatan menampilkan Juragan Dhemit (Majikan Setan) dan Warisan Mak Yah, dua kisah yang menggambarkan peliknya persoalan nyata di masyarakat kita.

Cerita pertama berfokus pada kesengsaraan Saodah, seorang pembantu rumah tangga, yang diperkosa dan dihamili oleh majikannya. Majikan tidak mengakui anaknya. Kisah tersebut sebenarnya mewakili perjuangan dan ketakutan banyak perempuan kelas bawah yang ingin mencapai kesejahteraan ekonomi dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Indonesia maupun di luar negeri.

“Juragan Dhemit adalah cerita sosial yang banyak terjadi di masyarakat kita saat ini. Banyak wanita muda tiba di kota besar dan pergi ke luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. 

Memang, mereka dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga mereka dengan melakukan hal ini. Namun, kita sering mendengar dan membaca banyak cerita tragis yang dialami oleh mereka. 

Oleh karena itu, kami membuat cerita untuk mengkritisi masalah sosial dan mengingatkan masyarakat umum, terutama perempuan, yang ingin pergi ke kota besar dan luar negeri.” (Susanto, wawancara, 12 November 2013)

Kompas (18 Maret 2006) menggambarkan kisahnya sebagai berikut:

Saodah kembali ke kampung dengan penampilan yang aneh. Orangtuanya menemukan Saodah lebih tenang dari sebelumnya. Tiga tahun lalu, ia sering mengirimkan uang hasil gajinya sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Pak Brojo Utoyo. Tidak butuh waktu lama. 

Ayahnya menyadari apa yang sedang terjadi; dia hamil. Sebelum pulang, kedua teman laki-lakinya, Supali dan Trubus memaksa Pak Brojo untuk mengakui bayi itu sebagai anaknya. 

Namun, janji hanyalah janji. Sampai anaknya beranjak remaja, Pak Brojo tidak pernah mengakuinya. Apa nama yang cocok untuk majikan yang tidak manusiawi seperti ini? ... Para seniman bersama-sama meneriakkan "Juragan Dhemit". 

Menurut catatan Kompas, kisah tersebut mendapat apresiasi luar biasa dari pemirsa di Malang. Apalagi, penonton kelas bawah dan menengah seolah menemukan subjektivitasnya dalam cerita. Realitas tersebut menunjukkan bahwa para penonton dapat mengapresiasi cerita yang sangat dekat dengan permasalahan sehari-hari mereka. 

Poster Juragan Dhemit. Sumber: Karya Budaya
Poster Juragan Dhemit. Sumber: Karya Budaya
Artinya, cerita berbasis konflik kelas dapat menjadi ledakan ekspresif yang dapat membangkitkan kesadaran pemirsa, meskipun tidak dapat membantu mereka memecahkan masalah rumit mereka. Yang menarik dari cerita ini adalah narasinya memberikan aksentuasi konflik kelas yang lebih baru di mana tokoh dominan tidak mengalami akhir yang tragis karena tindakan kejamnya. 

Namun, seruan “Juragan Dhemit” di akhir cerita memberikan wacana yang berkesan bagi penonton dan memberikan peringatan kritis bahwa dalam masyarakat kita sendiri, masih ada “penjajah” yang perlu dilawan.

Cerita kedua, Warisan Mak Yah, menawarkan antitesis dari pandangan stereotip tentang prostitusi, yang memposisikan pelacur perempuan sebagai “sampah sosial”. Susanto menjelaskan:

“Mak Yah adalah putri seorang perwira angkatan laut Belanda dan pelacur dari Kupang, Surabaya. Ayahnya kembali ke Belanda dan ibunya meninggal ketika dia masih muda. Teman-teman ibunya yang juga berprofesi sebagai PSK memanggil anak itu Mak Yah. 

Hidup di tengah prostitusi membuat Mak Yah mengikuti profesi ibu angkatnya, dan menjadi pelacur. Karena darah campuran Jawa-Belanda, wajah dan tubuhnya lebih menarik daripada pelacur lainnya. Dia menjadi idola bagi pelanggan pria. Ketika sudah tua, Mak Yah tinggal sendirian di kampung yang sunyi. 

Meski demikian, ia tetap bekerja keras, meski beberapa penyakit serius menjangkiti tubuhnya. Dia juga menjadi korban stigma sosial negatif di komunitasnya. Tidak ada seorang pun yang mungkin mengunjunginya dan memberinya simpati. 

Namun, sebelum meninggal, dia menulis wasiatnya kepada aparat setempat bahwa mereka boleh menjual rumah dan tanahnya. Kemudian, mereka harus menggunakan setengah dari uang itu untuk merenovasi gedung TK yang rusak. Lagi pula, separuhnya lagi untuk membeli ‘kantong pembawa jenazahnya.’” (Wawancara, 12 November 2004)

Cerita ini dengan jelas mengkritisi stereotipisasi dan stigmatisasi pikiran publik tentang prostitusi tanpa mempertimbangkan secara serius akar sejarahnya. Sebagai puncak kritik, cerita ini menawarkan perspektif berbeda di mana Mak Yah mengambil keputusan yang konstruktif, positif, dan visioner terkait dengan masalah krusial di komunitasnya (Radar Mojokerto, 4 Oktober 2004). 

Misalnya, melalui renovasi gedung TK, Mak Yah awalnya ingin menunjukkan kepada tetangganya pentingnya mendidik anak demi ilmu. Kedua, dia ingin memberikan semacam ajaran bahwa di “sisi tergelap” pelacur mungkin ada “matahari yang bersinar” yang dapat memperbaiki kondisi sosial yang lebih miskin.

Kedua kisah tersebut menunjukkan keberanian Karya Budaya dalam merepresentasikan persoalan sosial kontemporer dalam pementasannya. Tentu saja, kebebasan di masa Reformasi berkontribusi pada imajinasi dan wacana kritis, yang melampaui kode moral yang mapan di masyarakat. 

Berkurangnya kontrol aparat rezim negara dalam ekspresi budaya, walaupun tidak sepenuhnya absen, terutama terkait dengan isu komunisme, membuat para pelaku budaya, termasuk para seniman ludruk, mulai membuat cerita-cerita yang dilarang pada periode sebelumnya. 

Memang pada masa Orde Baru banyak kelompok ludruk yang membawakan cerita tentang prostitusi, maupun cerita yang sama dalam film, namun penyelesaian konflik selalu menekankan pentingnya akhir yang harmonis di mana para pelacur diintegrasikan kembali ke dalam kode moral yang mapan artinya mereka menjadi "orang kebanyakan." 

Begitu pula dalam konteks perjuangan kelas, kita dapat menemukan penilaian estetika kritis, yang mengingatkan penonton tentang bahaya eksploitasi manusia oleh warga yang sama dari kelas atas. 

Dengan kata lain, meski di masa Reformasi, slogan kesetaraan hak asasi manusia dan demokrasi bergema setiap saat, baik dalam program televisi maupun forum akademik, persoalan penjajahan biasa yang dilakukan oleh kelas dominan tetap saja terjadi.

Terlepas dari fungsi kritis ideal di atas, sekali lagi, jalinan antara narasi dan kondisi kontekstual bisa menjadi strategi yang tepat untuk mempopulerkan kembali ludruk di tengah ekspansi tekno-kultural. 

Memang strategi ini mensyaratkan popularitas sinetron dan film sebagai produk industri budaya modal besar, tetapi karena pertunjukan ludruk memiliki aspek pementasan yang khas, tidak masalah untuk menyerap dan menyesuaikan strategi serupa. 

Dalam konteks produksi, beberapa kelompok ludruk bergabung dengan industri rekaman dari Surabaya untuk merekam penampilan mereka dan mendistribusikannya dalam bentuk VCD. Di satu sisi, pilihan ini menekan durasi yang biasanya panjang (5-6 jam) menjadi pendek hanya 1 jam, dan di sisi lain, bisa mengurangi cerita dan wacana yang rumit. 

Namun demikian, dalam konteks industri kreatif, pilihan tersebut dapat dimaklumi karena merekam pertunjukan ludruk berarti memberikan penghasilan tambahan bagi seniman ludruk dari pembayaran akad. Dalam setiap kontrak, umumnya untuk dua kali shooting, Karya Budaya mendapat 25 juta rupiah dan pembayaran ini akan dibagi kepada 60 anggota secara proporsional. 

Proses shooting pertunjukan ludruk Karya Budaya. Dokumentasi  penulis
Proses shooting pertunjukan ludruk Karya Budaya. Dokumentasi  penulis

Selain itu, distribusi VCD dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, dari kota ke desa, dan dapat menarik beberapa dari mereka untuk mengundang kelompok untuk ritual keluarga atau komunal mereka. 

Namun pertunjukan langsung masih menjadi orientasi utama kelompok ludruk karena seniman dapat mengalami komunikasi langsung dan dinamis dengan penonton, sehingga akan mendapatkan kepuasan psikologis yang berbeda. Selain itu, secara ekonomi, banyak pertunjukan langsung berarti lebih banyak uang bagi mereka.

Simpulan

Dalam proses sejarahnya, ludruk, melalui anggota dan pengurusnya yang kreatif, telah menggunakan transformasi sebagai strategi untuk bertahan dalam kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang rumit. 

Di era rezim Soekarno, ketika ideologi revolusioner yang berpedoman pada demokrasi menjadi praktik dan formasi diskursif yang dominan, banyak kelompok dan seniman ludruk yang terlibat dalam Lekra karena lembaga ini berkomitmen untuk memberdayakan budaya proletar. 

Keterlibatan politik-ideologis ini, memang, bisa saja menjadikan ludruk sebagai kesenian rakyat yang bermartabat dan kritis, tetapi juga membawa mereka pada kesengsaraan. Pada masa Orde Baru, pertunjukan ludruk mengalami titik balik dalam proses transformatifnya. 

Sejak awal hingga pertengahan periode, banyak kelompok ludruk yang hadir di ranah budaya dengan mentransformasikan dan menegosiasikan wacana ideologi negara tentang nasionalisme dan pembangunan nasional sebagai cara untuk melahirkan dan mendistribusikan kekuatan hegemonik di kalangan massa. 

Namun, popularitas mereka menurun drastis akibat pembangunan pesat yang menyebabkan perubahan selera budaya penduduk desa. Runtuhnya banyak kelompok ludruk pada pertengahan hingga akhir 1990-an juga berkontribusi pada berkurangnya kesepakatan konsensual publik terhadap rezim Orde Baru karena wacana ideologi mereka tidak dapat lagi menjangkau massa melalui ludruk.

Pada era 2000-an, banyak kelompok ludruk yang menemukan persoalan yang lebih pelik dalam melanjutkan proses kreatifnya. Beberapa masalah internal yang serius dan persaingan yang semakin ketat dengan materi tekno-kultural yang diproduksi oleh industri kapitalis besar membuat banyak seniman dan pengelola ludruk menyerah dan menghentikan pertunjukan mereka. 

Namun, beberapa kelompok ludruk di Mojokerto dan Jombang telah mulai membangun dan mempraktikkan strategi transformatif dengan menyesuaikan tren modern dalam elemen dan manajemen pementasan. Mereka juga telah menciptakan cerita-cerita baru yang terkait dengan masalah sehari-hari kontemporer. 

Dengan strategi transformatif tersebut, kelompok ludruk di satu sisi dapat terus menyebarkan cerita kontekstual dan kritis yang mewakili permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya terkini dalam pertunjukan yang lebih menarik. Di sisi lain, para seniman ludruk dapat memperoleh keuntungan ekonomi ketika mereka dapat memiliki banyak terop dan pertunjukan rekaman untuk distribusi digital. 

Saya berpendapat bahwa melalui praktik transformasional ini, para seniman dan pengelola ludruk dapat menemukan terobosan yang sesuai dengan menjalankan sistem manajerial campuran (menggabungkan nilai-nilai komunal tradisional dengan mekanisme modern dan profesional) dan menciptakan inovasi dalam cerita dan pementasan. 

Strategi transformatif ini, sekali lagi, dapat menjadi titik tolak dan kelanjutan bagi para seniman ludruk dalam memposisikan dan memberdayakan kelompoknya di era kapitalistik pasar yang diwarnai industrialisasi budaya, baik tradisional, modern, maupun eksperimental.

Daftar Bacaan

Aschroft, Bill. (2002). Post-colonial Future: Transformation of Postcolonial Culture. London: Continuum.

Aschroft, Bill. (2001). Post-colonial Transformation. London: Routledge.

Boggs, Carl. (1984). The Two Revolution: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism. Boston: South End Press.

Faruk. (1995). Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, dan Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foucault, M. (1989). The Archaeology of Knowledge (English trans. A.M. Sheridan Smith). London: Routledge.

Foucault, M. (1998). The Will to Knowledge, The History of Sexualities Volume 1 (English trans. Robert Hurley). London: Penguin Books.

Foucault, M. (1981). The Order of Discourse. In Robert Young, Untying the Text: A Post-Structuralist Reader (pp. 48-78). Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Gramsci, A. (2006). (i) History of the Subaltern Classes; (ii) the Concept of “Ideology”; (iii) Cultural Themes: Ideological Material. In In M.G. Durham & D.M. Kellner, Media and Cultural Studies Keyworks (pp. 13-17). Victoria: Blackwell Publishing.

“Gusti Allah Pun Ngunduh Mantu”, Tempo, 30th September – 6th October 2013.

Howson, Richard & Kylie Smith. (2008). Hegemony and the Operation of Consensus and Coercion. In Richard Howson & Kylie Smith, Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (pp. 1-15) London: Routledge.

Ishommudin. (2013). Sejarah Kelam Ludruk Saat Peristiwa 1965. Retrieved on October 1, 2013 from http://www.tempo.co/read/news/2013/10/01/173518012/Sejarah-Kelam-Ludruk-Saat-Peristiwa-1965/1/2.

Joseph, Jonathan. (2002). Hegemony: A Realist Analysis. London: Routledge.

“Kebiasaan Pemain Comotan Dikritik”, Radar Mojokerto, 31st December 2010.

Kesenian Ludruk. Retrieved on October 1, 2013 from http://x7smaneta.blogspot.com/2012/05/kesenian-ludruk.html.

Kidung Cinta Ludruk Kota. Retrieved on October 5 2013 from http://dongengdalam.blogspot.com/2008/02/kidung-cinta-ludruk-kota.html.

“Ludruk Terhambat Regenerasi”, Surabaya Post, 20th September 2008.

“Masih Untung”, Kompas Edisi Jawa Timur, 4th June 2002.

Miles, I and L. Green. 2008. Hidden Innovation in the Creative Industries. United Kingdom: Nesta.

Musyawir. (2013). Kesenian Ludruk di Bumi Majapahit Nyaris Hilang. Retrieved on August 15, 2013 from http://oase.kompas.com/read/2013/03/18/23381457/Kesenian.Ludruk.di.Bumi.Majapahit.Nyaris.Hilang.

Peacock, J. (1968). Rites of Modernization: Symbol and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Chicago: The University of Chicago Press.

“Persiapan Ludruk Karya Budaya Ikuti Festival Ludruk Jatim 2004, Siapkan Lakon Warisan Mak Yah”, Radar Mojokerto, 4th October 2004.

Primorac, J. (2005). The Position of Cultural Workers in Creative Industries: Southeastern Perspectives. Zagreb: European Cultural Foundation.

Sen, Krishna. (2010). Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (trans. Windu W.J.). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Subiyantoro, Slamet. (2010). “Transformasi Loro Blonyo-Rumah Joglo dalam Analisis Struktural”. Humaniora, Vol. 22, No. 3, 327-335.

Supriyanto, H. (1992). Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: PT. Gramedia.

Williams, R. (2006). Base and Superstructure in Marxist Theory. In M.G. Durham & D.M. Kellner, Media and Cultural Studies Keyworks (pp. 130-142). Victoria: Blackwell Publishing.

Samidi. (2006). Teater Tradisional di Surabaya 1950-1965: Relasi Masyarakat dan Rombongan Seni. Humaniora, Vol.18, No. 3, 236-245.

“Saodah, Nasibmu Mirip Nasibku”, Kompas Edisi Jawa Timur, 18th March 2006.

Setiawan, Ikwan. (2011). Modernitas, Lokalitas, dan Poskolonialitas Masyarakat Desa di Era 80-an. Literasi, Vol. 1, No. 1, 116-133.

Susanto, E. E. (2012). “Ludruk Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan”, Radar Mojokerto, 27th May 2012.

Waluyo, P and H. Budhi (2007). “Ludruk pun Menyentuh Lumpur Lapindo”, Surya, 6th May 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun