Lucunya, semangat nasionalisme dalam film tersebut paradoks dengan realitas bahwa film- film impor Hollywood yang leluasa membanjiri bioskop-bioskop di Indonesia. Karena Presiden Sukarno sendiri adalah penikmat film Hollywood dan dia membuka kran bagi pengusaha film Hollywood untuk memonopoli tayangan sinema di Indonesia (Tirto).
Ketika medan politik era 1950-an mengalami pergeseran yang ditandai dengan semakin menguatnya pengaruh politik komunis dan nasionalis dalam payung Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme), budaya bangsa dalam jagat film Indonesia juga mengalami reorientasi.
Wacana budaya bangsa diarahkan sebagai bentuk perjuangan untuk menolak film-film impor, terutama dari Hollywood yang dianggap representasi neoimperalisme Amerika dalam hal kebudayaan.
Kondisi tersebut melahirkan institusi/aparatus yang bergerak dalam formasi diskursif demi mendukung semangat konfrontasi yang dilakukan rejim terhadap kekuatan budaya asing, yang pada akhirnya memperkuat kuasa hegemonik dengan menggunakan film sebagai komponennya.
Munurut Irawanto (1999: 78), terdapat dua organisasi film yang aktif menentang film-film impor Hollywood, yakni (1) SARBUFIS (Sarekat Buruh Film Indonesia dan Seni Drama), berafiliasi ke SOBSI, sarekat buruh yang merupakan underbow PKI dan (2) LFI (Lembaga Film Indonesia) dibentuk oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), underbow PKI.
SARBUFIS dan LFI lebih memperjuangkan produksi dan peredaran film Indonesia untuk melawan imperalisme Amerika lewat film-filmnya.
Satu gerakan besar yang dijalankan yakni PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperalis Amerika Serikat), didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (PNI), SOBSI (PKI), GERWANI (PKI), Front Pemuda, LEKRA (PKI), SARBUFIS (PKI) dan organisasi lain yang berafiliasi pada PKI atau sayap radikal.
Gerakan itu sejalan dengan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1964 yang poin pentingnya adalah (1) pembentukan Lembaga Pembinaan Perfilman dan (2) gambaran umum mengenai aturan-aturan tema film yang bisa diterima/lolos sensor dengan mensyaratkan pembelaan terhadap Pancasila dan Manifesto Politik serta kebijakan pemerintah (Kurnia, et al, 2004: 50).
Perjuangan aksi tersebut berhasil ketika pada tanggal 16 Agustus 1964 Menteri Perdagangan melarang peredaran film-film Amerika (Irawanto, 1999: 85-86). Terlepas dari sisi positif yang mungkin terjadi selepas keberhasilan tersebut, budaya bangsa dalam konteks perfilman pada masa kepemimpinan Sukarno lebih banyak digunakan sebagai medium politis.
Baik pemerintah maupun parpol-parpol pendukungnya memainkan isu budaya bangsa untuk mendukung posisi mereka di tengah-tengah masyarakat yang “harus diselamatkan dari pengaruh buruk budaya imperalis Amerika.”