Dengan demikian, para sineas akan tertantang untuk selalu melakukan eksplorasi tema-tema baru dan cerdas yang mampu menarik minat para penonton. Dengan demkian, ketika literasi media dan literasi budaya benar-benar sudah berkembang, maka kebebasan ekspresi, seperti yang diharapkan oleh para sineas maupun seniman-seniman lainnya, akan benar-benar terwujud.
Dan, bangsa ini, tentunya, tidak akan menjadi bangsa yang terlalu takut untuk berubah di tengah-tengah perkembangan industri media dan budaya populer. Lebih dari itu, rakyat tidak akan selalu menjadi “kambing hitam yang dibodohkan dan dihantui stigma buruk budaya Barat” oleh mereka yang sebenarnya sudah lebih dulu bersentuhan dan mengakui kemjauan budaya Barat.
Daftar Bacaan
Arsuka, Nirwan Ahmad. “Sensor dan Kebebasan.” Kompas, 27 Januari 2008.
Gramsci, Antonio .1981. “Class, Culture, and Hegemony.” Dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press
Heider, Karl G. 1991. Indonesian Cinema, National Culture on Screen. Honolulu: University of Hawai Press
Heins, Marjorie & Christine Cho.2003. "Media Literacy: An Alternative to Censorship." New York: Free Expression Policy Project.
Indarto, Totot. “Mau Berubah ke Mana Film Kita?” Kompas, 11 Pebruari 2007.
Indarto, Totot . “Gonjang-ganjing Perfilman Indonesia.” Kompas, 14 Januari 2007.
Irawanto, Budi . 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Kristanto, J.B. 2004. Nonton Film, Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.