Artinya, rezim mempunyai kepentingan untuk memperoleh konsensus dari rakyat melalui pengetahuan budaya nasional. Untuk mendukung konsensus tersebut diciptakanlah aparatus-aparatus hegemonik seperti media, pendidikan, institusi agama, keluarga, lembaga kebudayaan, maupun individu seniman/sastrawan/budayawan.
Para individu secara sistematis mewacanakan dan menjalankan kebijakan-kebijakan rezim dalam hal kebudayaan. Sehingga wajar kiranya, kalau karya-karya seni, khususnya film, selalu berusaha merujuk pada wacana ideologis konsensual tentang budaya nasional.
Tumbangnya rezim otoriter Suharto oleh gerakan Reformasi 1998, dianggap sebagai babak baru yang bisa menghadirkan kontra-hegemoni terhadap hegemoni yang dijalankan Orba. Dalam konteks kebudayaan, rezim pemerintah pasca gerakan Reformasi 1998, seolah-olah sudah memberikan kebebasan dalam berekspresi tanpa lagi dibebani oleh pengetahuan tentang budaya nasional.
Hal itu ditandai dengan maraknya ekspresi budaya lokal di lingkup daerah. Namun, dalam tataran industri media populer, pengetahuan tentang budaya bangsa ternyata masih menjadi komponen kuasa hegemonik yang dilakukan rezim. Budaya populer masih dianggap sebagai benda dan praktik yang punya potensi massif dalam menggerakkan massa sehingga perlu dikendalikan.
Persoalan film, misalnya, tetap diposisikan membawa misi budaya bangsa. Film sebagai budaya populer, ternyata masih belum ‘terbebas’ sepenuhnya dari penilaian-penilaian yang dibuat oleh institusi sensor yang dibuat Negara.
Tulisan ini akan menelusuri dan menelaah bagaimana budaya bangsa digunakan oleh Negara untuk mengarahkan dan membatasi kerja para sineas dari era Sukarno, era Orde Baru/Suharto, hingga era 2000-an, era SBY. Selain itu, saya juga akan mengungkap bagaimana posisi sineas dan film Indonesia dalam menghadapi kuasa sensor Negara.
Budaya Bangsa, Film, dan Kepentingan Rezim
Membicarakan film Indonesia dalam keterkaitannya dengan perspektif budaya bangsa, samahalnya membicarakan beragam paradoks keindonesiaan itu sendiri. Bagaimana tidak, di satu sisi, diharapkan bahwa film akan menjadi identitas budaya bangsa yang bercirikan dan berwarna Indonesia, namun di sisi lain, tidak ada kejelasan dalam memposisikan persoalan budaya dalam bingkai film.
Kebijakan-kebijakan yang diambil dan kemudian dilaksanakan oleh aparatus-aparatus film ternyata masih mengendalikan para sineas dan karya mereka yang ujung-ujungnya berakhir pada kuasa-hegemonik negara atas nama kebudayaan.
Rezim Sukarno
Di era Sukarno, film-film yang dibuat pada era itu berkembang pesat dengan membawa pesan dan semangat nasionalisame dalam nuansa revolusioner. Menurut Franken (dikutip Irawanto, 1999: 78), sejumlah besar industri film Indonesia muncul untuk mendukung kebudayaan nasional dan “perhatian yang besar dari intelektual muda menjadi jaminannya.”