Budaya tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang “kaku” dan “serba baik”. Budaya yang jelek juga harus diungkapkan karena dari situlah akan muncul ruang-ruang kontemplatif untuk menjadi lebih baik.
Benturan-benturan kultural yang terjadi dalam masyarakat dan direpresentasikan dalam film tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif karena dari benturan-benturan itulah budayabangsa ini akan terus menjadi dan pada saatnya nanti akan membentuk keragaman dalam memaknai budaya. Film, paling tidak, sudah memberikan gambarannya tentang hal itu.
Dari perkembangan tersebut, ada satu hal yang patut disayangkan. Film- film Indonesia di era 2000-an ternyata masih belum bisa melepaskan diri dari formasi diskursif budaya perkotaan, sebagaimana yang diusung film-film pada masa Orba.
Dengan kata lain, budaya perkotaan menyisakan medan semantik ideologis yang menyebabkan para sineas muda kita mengambil inspirasi kreatifnya tetap pada level kota. Film-film bergenre remaja sangat kental dengan wacana tersebut. Pun genre kritik sosial, juga masih berkutat pada wilayah perkotaan, terutama Jakarta dengan seluk-beluk kehidupannya.
Kiranya, hanya Pasir Berbisik-lah yang mengambil latar kehidupan desa (pegunungan Bromo) meskipun sekedar latar belaka dan tidak bisa menjelaskan relasi yang jelas antara setting lokasi dan setting Bromo dengan orang Tengger-nya.
Film komedi Maskot, meskipun mengambil latar kehidupan desa, tetapi tetap menunjukkan tokoh dari kota sebagai messian yang bisa menyelamatkan kehidupan warga desa. Ironisnya lagi, sampai saat ini masih belum ada film yang mengkritik segala ketidakbecusan pemerintah dalam mengurus bangsa ini.
Meski para sineas muda relatif mudah untuk menghasilkan film-film bermutu karena adanya SDM-SDM bermutu, kemajuan teknologi maupun ketersediaan dana, tetapi pemerintah rupanya tetap mempunyai kepentingan untuk mengawasi dan mengendalikan perkembangan film Indonesia.
LSF masih saja bercokol sebagai aparatus hegemonik yang berhak menggunting film-film yang dianggap melanggar budaya dan moralitas bangsa. Film Virgin maupun Pocong 1 menjadi korban dari kewenangan LSF tersebut. Ketakutan para sineas untuk membuat film-film yang mengkritik peran aparatus negara bisa jadi dikarenakan peran destruktif LSF.
Pemerintah jelas sekali menginginkan re-hegemoni dalam kehidupan budaya bangsa, termasuk melalui film, dengan alasan bahwa ketika generasi muda sudah semakin akrab dengan budaya Barat maka jati diri bangsa ini akan hancur dan berbahaya bagi kehidupan budaya di masa mendatang.
Di tengah-tengah usaha re-hegemoni negara, Festival Film Indonesia dalam era reformasi diharapkan memberikan nuansa lain yang bisa mendorong semangat kreatif para sineas muda Indonesia.