Maka dari itu film Indonesia diharapkan mampu memberikan pendidikan tentang kesusilaan dengan tidak memunculkan pemuatan adegan- adegan yang bernuansa seksual. Dengan kata lain, adegan seksual dalam film dianggap melanggar tata nilai budaya bangsa ini.
Selain pelarangan adegan seksual, dalam Kode Etik Produksi yang dibuat oleh Dewan Produksi Film Nasional (1981) juga mensyaratkan film Indonesia harus mengekspresikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Sebagaimana dikutip Sen & Hill (2000: 142), dalam Kode Etik Produksi film Indonesia perlu “mengekspresikan kehidupan bersama yang harmonis di antara agama-agama yang ada serta saling menghormati dalam praktik beragama sesuai dengan agama dan keyakinan masing- masing”.
Film juga harus “menunjukkan bagaimana rakyat Indonesia menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, dalam episode- episode yang menekankan nilai kesatuan nasional”.
Selain itu, film Indonesia dilarang “memasukkan pernyataan yang bisa menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pengadilan, termasuk tidak boleh memuat adegan pembunuhan polisi.”
Penyebaran wacana budaya bangsa dan juga kesatuan bangsa tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam Undang-Undang Perfilman No. 8 Tahun 1992, Pasal 3, disebutkan bahwa arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman Indonesia adalah untuk pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa.
Film juga digunakan untuk pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia;(c) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; peningkatan kecerdasan bangsa.
Kehadiran Lembaga Sensor Film (LSF) pada 1992 sebagai sebagai pengganti BSF juga mendasarkan praktik-praktik penyensorannya dalam kerangka menjaga kebudayaan bangsa dari pengaruh-pengaruh yang merusak.
Kebudayaan bangsa, dengan demikian, telah menjadi pengetahuan atau rezim kebenaran yang mendasari praktik perfilman Indonesia selama Orba. Yang pasti di balik itu semua, pengetahuan tentang budaya bangsa telah menjadi komponen kuasa hegemonik yang menyebar dan mewujud dalam praktik institusional beragam lembaga dan organisasi perfilman.
Sangat wajar, kiranya, kalau para sineas dalam era ini juga tidak bisa berbuat banyak karena daya kreatif mereka harus dibatasi oleh "budaya bangsa" dan "slogan hegemonik" lainnya yang sangat tidak jelas dan absurd. Jarang sekali muncul film-film kritis yang mampu menawarkan pandangan alternatif dalam berbudaya maupun berbangsa.
Heider (1991: 42-46) mencatat beberapa genre film yang berkembang semasa Orba. Pertama, genre perjuangan, mengetengakan cerita tentang perjuangan bersenjata para pejuang dalam melawan penjajah Jepang maupun Belanda. Kedua, genre sentimentil, berupa film-film drama yang mengangkat problem kehidupan keluarga atau remaja ibu kota.