Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film, Sensor, dan Paradoks Budaya Bangsa

8 Februari 2023   00:15 Diperbarui: 9 Februari 2023   00:01 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukarno berfoto bersama Eric Johnston, Ann Francis, Ann Miller, dan Dore Schary saat di Amerika Serikat. Sumber: Wikimedia Commons

Artinya, rezim mempunyai kepentingan untuk memperoleh konsensus dari rakyat melalui pengetahuan budaya nasional. Untuk mendukung konsensus tersebut diciptakanlah aparatus-aparatus hegemonik seperti media, pendidikan, institusi agama, keluarga, lembaga kebudayaan, maupun individu seniman/sastrawan/budayawan.

Para individu secara sistematis mewacanakan dan menjalankan kebijakan-kebijakan rezim dalam hal kebudayaan. Sehingga wajar kiranya, kalau karya-karya seni, khususnya film, selalu berusaha merujuk pada wacana ideologis konsensual tentang budaya nasional. 

Tumbangnya rezim otoriter Suharto oleh gerakan Reformasi 1998, dianggap sebagai babak baru yang bisa menghadirkan kontra-hegemoni terhadap hegemoni yang dijalankan Orba. Dalam konteks kebudayaan, rezim pemerintah pasca gerakan Reformasi 1998, seolah-olah sudah memberikan kebebasan dalam berekspresi tanpa lagi dibebani oleh pengetahuan tentang budaya nasional. 

Hal itu ditandai dengan maraknya ekspresi budaya lokal di lingkup daerah. Namun, dalam tataran industri media populer, pengetahuan tentang budaya bangsa ternyata masih menjadi komponen kuasa hegemonik yang dilakukan rezim. Budaya populer masih dianggap sebagai benda dan praktik yang punya potensi massif dalam menggerakkan massa sehingga perlu dikendalikan. 

Persoalan film, misalnya, tetap diposisikan membawa misi budaya bangsa. Film sebagai budaya populer, ternyata masih belum ‘terbebas’ sepenuhnya dari penilaian-penilaian yang dibuat oleh institusi sensor yang dibuat Negara. 

Tulisan ini akan menelusuri dan menelaah bagaimana budaya bangsa digunakan oleh Negara untuk mengarahkan dan membatasi kerja para sineas dari era Sukarno, era Orde Baru/Suharto, hingga era 2000-an, era SBY. Selain itu, saya juga akan mengungkap bagaimana posisi sineas dan film Indonesia dalam menghadapi kuasa sensor Negara.

Budaya Bangsa, Film, dan Kepentingan Rezim

Membicarakan film Indonesia dalam keterkaitannya dengan perspektif budaya bangsa, samahalnya membicarakan beragam paradoks keindonesiaan itu sendiri. Bagaimana tidak, di satu sisi, diharapkan bahwa film akan menjadi identitas budaya bangsa yang bercirikan dan berwarna Indonesia, namun di sisi lain, tidak ada kejelasan dalam memposisikan persoalan budaya dalam bingkai film. 

Kebijakan-kebijakan yang diambil dan kemudian dilaksanakan oleh aparatus-aparatus film ternyata masih mengendalikan para sineas dan karya mereka yang ujung-ujungnya berakhir pada kuasa-hegemonik negara atas nama kebudayaan. 

Rezim Sukarno

Di era Sukarno, film-film yang dibuat pada era itu berkembang pesat dengan membawa pesan dan semangat nasionalisame dalam nuansa revolusioner. Menurut Franken (dikutip Irawanto, 1999: 78), sejumlah besar industri film Indonesia muncul untuk mendukung kebudayaan nasional dan “perhatian yang besar dari intelektual muda menjadi jaminannya.” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun