Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kreator dalam sistem seperti itu termasuk ‘golongan tukang’ yang dalam proses kreatifnya tidak bisa berdiri sendiri karena bergantung pada tim lain, yakni tim penilai dan teknis-produksi. Mereka biasanya akan berkompromi dengan tim yang lebih banyak menimbang perkembangan dan trend di lapangan (Backer, 1982: 122; Granham, 1997; Hesmondhalgh, 2007).

Artinya, permasalahan utama yang seharusnya patut diketahui oleh penonton dialihkan ke dalam permasalahan lain yang bersifat kamuflatif. Tujuan di balik ini, tentu saja, untuk menggaet penonton sebanyak-banyaknya sehingga keuntungan kapital semakin menumpuk karena narasi tentang cinta dan kehidupan metropolitan masih menjadi orientasi utama dalam masyarakat Indonesia.   

Ketiga, hampir serupa dengan model yang dikembangkan Mazhab Frankfurt adalah penekanan kepada potensi “monopoli pengetahuan” melalui film yang berasal dari bentuk medium dan isinya sehingga bisa merubah praktik sosio-kultural, ekonomi, maupun politik (Babe, 2009: 35-41) sebagai akibat dari “bias” yang disebabkan oleh keterbatasan “ruang dan waktu” (bahan bahan dan bentuk) dan “kegunaan” serta motivasi di balik mediasi (van Loon, 2008: 22-27). 

Pendekatan yang dikembangkan dari pemikiran Innis ini mengkaji potensi bias yang dilakukan oleh para filmmaker terhadap isi yang serba dimapatkan dalam medium narasi sebagai bentuk efektifitas dan efisiensi modal, sehingga bisa memunculkan agenda setting terkait pengetahuan tertentu yang lebih banyak dieksploitasi di dalam narasi. 

Dalam film-film era 2000-an, misalnya, kecenderungan untuk merepresentasikan narasi metropolitanisme serta marjinalisasi narasi lokalisme, telah menghadirkan pengetahuan tentang kemajuan peradaban yang seolah-olah terus berlangsung dalam ruang kota. Akibatnya, penonton secara ajeg memposisikan kota sebagai ‘rumah idaman’ untuk merubah nasib dan terlepas dari ikatan-ikatan tradisional.

Signifikansi kota dan kehidupan metropolitannya dalam film Indonesia, sebenarnya berasal dari pemahaman di negara-negara Barat yang menjadikan film sebagai bagian dari transformasi masyarakat kapitalis menuju masyarakat industrial. Transformasi ini memproduksi pengalaman baru metropolis. Lanskap baru ruang kota sebagai akibat ekspansi kapitalisme industri tidak hanya membentuk transisi menuju cara modern untuk hidup di dunia, tetapi kita juga terpengaruh oleh budaya sang modern. 

Sepertihalnya bentuk-bentuk visual lainnya, film menjadi terlibat dalam proses perubahan, bahkan berperan dalam mendokumentasikan dan mengomentari tingkat perubahan. Kesuksesan film pada masa lampau lampau terletak pada kemampuannya untuk mengkombinasikan inovasi teknologi dengan kemampuan baru untuk merespons bentuk-bentuk sosial baru kehidupan metropolitan.  Dan, ternyata, kondisi tersebut bertransformasi dalam film-film di masa kini, di mana metropolitanisme tetap menjadi orientasi konsensual untuk menakar kemajuan sebuah bangsa (Mazumdar, 2007: xviii-xix; Mennel, 2008: 9).

Dari pembacaan terhadap ketiga perspektif tersebut, bisa dikonseptualisasikan argumen terkait kepentingan ekonomi-politik dalam produksi dan narasi film, bahwa “selalu ada kepentingan yang bersifat ekonomis, ideologis, dan politis, di balik proses dan produksi film”. Kepentingan ekonomis mewujud dalam praktik komodifikasi, produksi, dan distribusi yang diharapkan mendatangkan keuntungan finansial bagi para produser, sineas, maupun para distributornya. 

Kepentingan ideologis bisa dilihat dari kecenderungan untuk merepresentasikan  wacana dan pengetahuan partikular tentang problematika sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat, melalui penonjolan isu tematik yang disukai oleh pemodal yang bisa mengkonstruksi orientasi pemikiran masyarakat penonton. Maka, dalil deterministik ideologi Marxisme, tidak lagi dipahami secara kaku, tetapi melalui praktik representasi yang wajar, sehingga bisa menjadi tuntunan yang diproduksi terus-menerus.

Berpijak pada usaha untuk merevisi dalil determenistik ideologi Marxisme, Althusser (1971: 162-177) menjelaskan bahwasannya ideologi bisa didefinisikan dengan beberapa konsep, antara lain: (1) ideologi merupakan representasi dari hubungan imajiner dari individu terhadap kondisi-kondisi riil eksistensi; (2) ideologi mempunyai eksistensi material; dan (3) ideologi menginterplasi (memanggil) individu sebagai subjek. 

Untuk menciptakan interplasi subjek melalui proses representasi maka dibutuhkan Aparatus Negara Ideologis yang antara lain berupa aparatus religius, pendidikan, keluarga, hukum, politik, serikat dagang, media (komunikasi), dan budaya. Kehadiran aparatus-aparatus inilah yang akan menyemaikan dan menyebarkan pemahaman ideologis dalam masyarakat. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun