Bermacam “kebijakan budaya” yang dikonsepsikan oleh negara untuk membentuk budaya nasional berbasis keadiluhungan etnis semakin kabur dan bisa dikatakan gagal karena ketidakmampuan menciptakan program-program yang tepat (McGuigan, 1996: 50), sehingga mereka lebih memilih regulai pasar neoliberal untuk mengatur kebijakan budaya sekaligus memperoleh keuntungan kapital dan berharap kepentingan nasionalnya tetap terjaga.
Akibat dari pilihan tersebut adalah maraknya industri budaya yang sekaligus menghasilkan popularitas budaya pop dan menjadi situs baru bagi para pemodal dan individu-individu kreatif sebagai perantara budaya baru untuk menyemaikan identitas kultural nasional yang semakin cair dan tidak semata-mata dikonstruksi dengan konsepsi budaya adiluhung.
Featherstone (2007: 44), merefleksikan pemikiran Bordieu, menjelaskan perantara budaya baru sebagai kelas menengah kota baru yang mempunyai kemampuan intelektual dan estetik untuk terlibat dalam proses dan mekanisme industri budaya (film, majalah, musik, televisi, periklanan, dan lain-lain) sehingga mereka mempopulerkan gaya hidup, produk estetik populer, dan tanda-tanda kultural baru yang punya potensi menghancurkan perbedaan dikotomis budaya adiluhung dan budaya pop: sebuah kondisi budaya pascamodern.
Dengan demikian, konsepsi identitas nasional menjadi dinamis dan dialogis, memunculkan makna yang beragam, berubah, dan berkontestasi melalui konstalasi hamparan kultural berupa citra, ide, ruang, benda, wacana, dan praktik, yang di satu sisi mempopulerkan ide de-diferensiasi kultural dan, di sisi lain, menjadikan bentuk kekuasan budaya nasional semakin sulit untuk diidentifikasi (Edensor, 2002: 17).
Apa yang harus dicatat adalah bahwa beragam negosiasi, artikulasi, dan kontestasi yang terjadi dalam representasi industri budaya, tetaplah berada dalam garis edar neoliberal, meskipun mungkin akan muncul representasi yang melawan. Maka, pembacaan beragam representasi tentang pascakolonialitas tidak bisa menegasikan popularitas neoliberalisme sebagai praktik ekonomi-politik yang banyak diadopsi dan diterapkan di negara-negara pascakolonial.
MEMBACA GENRE FILM DALAM KERANGKA EKONOMI-POLITIK
Karena film merupakan salah satu bentuk industri budaya, maka formula komersialisasi yang diterapkan oleh production house, tentu tidak akan berbeda dengan paparan di atas, yakni menginkorporasi dan merepresentasikan persoalan dan kecenderungan budaya pascakolonial-neoliberal di tengah-tengah masyarakat di dalam narasinya.
Dalam konteks ekonomi-politik, formula tersebut bisa mempermudah penerimaan penonton serta memperluas proses hegemoni neoliberal di tengah-tengah masyarakat, karena para pemodal dan kompleksitas industrinya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik neoliberalisme industri budaya.
Tentu dibutuhkan strategi untuk bisa melangsungkan kepentingan ekonomis-ideologis-politis tersebut, yang salah satunya adalah memilih genre populer, seperti drama remaja, keluarga, komedi, maupun horor. Model pemilihan genre populer sebenarnya lebih banyak mengikuti pola yang digunakan oleh industri film Hollywood yang terbukti mampu menjadi sang dominan dalam budaya film di seluruh dunia.
Ketenaran film-film Hollywood yang disebabkan keberhasilan menciptakan genre popular dan narasi yang mudah dipahami serta kapasitas manajemen dan pemasaran (Cooke, 2007: 3-4; Chapman, 2003: 95-194; Aitken, 2001; Telotte, 2006; Bondanella, 2006; Neupert, 2006; Palmer, 2006) menjadikan para produser dan sutradara di negara-negara pascakolonial berusaha untuk meniru film-film tersebut, baik genre maupun tema naratif, meskipun sudah disesuaikan dengan konteks negara dan sosio-kultural zamannya masing-masing.
Kepentingan untuk distribusi dan pemasaran memang menjadi pertimbangan pertama mengapa produksi film di negara-negara pascakolonial banyak meniru genre populer dari Hollywood, seperti drama/melodramatik, aksi, maupun horor. Harbord (2002: 77) menjelaskan keterkaitan genre film dan pemasaran dalam beberapa alasan.