SELALU ADA YANG IDEOLOGIS DI DALAM YANG KOMERSIAL
Membicarakan film adalah membicarakan beragam kepentingan, baik yang berorientasi ekonomi maupun ideologi dan politik. Cara pandang yang berusaha membuka bersemayamnya kepentingan ideologis di balik produksi dan di dalam narasi film merupakan jantung dari pendekatan ekonomi-politik dalam kajian film. Komodifikasi dan massifikasi industri film yang berorientasi pada akumulasi modal finansial bukan semata-mata persoalan bisnis yang didanai oleh para pemodal film dan dikerjakan oleh para filmmaker.
Lebih dari itu, dalam pendekatan ekonomi-politik, di balik praktik industri, distribusi, dan konsumsi produk narasinya selalu menghadirkan kepentingan ideologis-politis untuk menyampaikan pesan-pesan partikular terkait wacana dan pengetahuan yang diasumsikan bisa memperkuat kuasa kapitalisme dalam masyarakat.
Konsepsi di atas bisa terjadi karena sarana yang paling tepat untuk melakukan proses eks-nominasi ideologi adalah representasi, yang di antaranya bisa dilakukan melalui narasi film. Dengan contoh yang terjadi pada masyarakat borjuis, Barthes (1983: 138-139) menjelaskan proses eks-nominasi sebagai usaha untuk menyebarkan nilai dan kepentingan ideologis tanpa harus melakukan labelisasi nama ideologi, tetapi secara ajeg membicarakannya dalam representasi-representasi yang beragam di dalam masyarakat.
Maka, ideologi bukan lagi menjadi sesuatu dogmatis, tetapi teks dan praktik yang terus disebarkan dalam masyarakat, sehingga mereka menganggapnya sebagai sebuah kewajaran yang menjadi konsensus untuk menggerakkan kehidupan sosio-kultural.
Dengan mengambil inspirasi dari peristiwa dan kecenderungan kultural yang terjadi dalam masyarakat, para sineas bisa membuat film yang menarik dan mudah dipahami sehingga bisa laku sekaligus berhasil menyebarkan wacana ideologis yang bisa mengkonstruksi cara berpikir penonton dalam menyikapi perubahan sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat.
Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam era 2000-an, film Indonesia mulai beranjak dari tema-tema konsensual terkait integrasi sosial yang dikembangkan dalam industri film melalui pengawasan ketat rezim negara selama masa Orde Baru, menuju beragam tema yang bersifat kontekstual, dari kompleksitas kehidupan kaum remaja/muda perkotaan, isu-isu gender terkait kekuatan perempuan, maupun kritik kebangsaan.
Keberagaman tersebut tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat Indonesia poskolonial yang dipengaruhi oleh globalisasi budaya dan kecenderungan penerapan sistem ekonomi-politik neoliberal. Menimbang kondisi tersebut, pembacaan secara kritis terhadap hubungan prinsip-prinsip neoliberalisme dalam mempengaruhi narasi film perlu dilakukan karena di tengah-tengah beragam tema dan genre yang ada, sangat mungkin bersemayam wacana kapitalisme neoliberal di dalamnya.
Bukan semata-mata persoalan akumulasi keuntungan, tetapi bagaimana para pemodal film menggunakan beragam tema sosio-kultural dalam masyarakat untuk menarik perhatian penonton serta memasukkan rayuan-rayuan ideologi neoliberal di dalam narasi tersebut.
Atas pertimbangan itulah, maka tulisan ini akan melihat kontribusi pendekatan ekonomi-politik untuk mengkaji persoalan budaya pascakolonial yang direpresentasikan dalam film Indonesia era 2000-an. Budaya pascakolonial, dalam konteks ini, dipahami sebagai praktik dan orientasi kultural yang terdapat pada masyarakat selepas penjajahan dan dipengaruhi secara lanjut oleh masuknya budaya global-neoliberal melalui industri budaya dan media.
EKONOMI-POLITIK FILM
Pendekatan ekonomi-politik media, termasuk film, tidak bisa dilepaskan dari popularitas pendekatan ekonomi-politik Marxisme untuk membaca kepentingan-kepentingan kelas pemodal dalam menjalankan praktik ekonomi di balik produksi, distribusi, dan konsumsi. Tesis utama yang diusung adalah bahwa basis ekonomi akan menentukan superstructure yang di dalamnya termasuk persoalan ideologi, agama, relasi sosial, politik maupun budaya.
Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan alat produksinya mampu menggerakkan mekanisme dan moda produksi yang melibatkan kreator dan buruh dalam organisasi dan praktik kerja untuk menciptakan benda-benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nila guna serta bisa memenuhi kebutuhan dari para konsumennya melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi dari produk-produk yang akan mendorong terjadinya perubahan orientasi ideologi masyarakat sehingga mengakibatkan perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz, 2002; Wood, 2003).
Mengacu pada tesis base/superstructure, pendekatan ekonomi-politik dalam kajian film lebih banyak mengarah pada kepentingan pemodal melalui sistem kerja dan produksi untuk mengkomodifikasi persoalan-persoalan dalam masyarakat demi kepentingan komersialisasi. Dengan konsepsi tersebut, paling tidak terdapat beberapa kecenderungan yang berkembang dalam pendekatan ekonomi-politik film, sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Pertama, penekanan kajian terhadap institusi pemodal, organisasi dan mekanisme produksi, dan proses komersialisasi dalam industri film yang mempengaruhi bentuk dan tema naratif yang pada akhirnya berpengaruh terhadap praktik sosio-kultural (ideologi, struktur dan sistem sosial, agama, maupun budaya) dalam latar historis partikular (Granham, 2006; Maxwell, 2001).
Dalam perspektif ini, siapa pemilik modal, bagaimana sistem, mekanisme, dan organisasi produksinya, bagaimana posisi para filmmaker dalam produksi, serta kecenderungan wacana ideologis yang ditampilkan, menjadi bahan kajian yang penting. Dalam konteks Indonesia, bisa dilihat bagaimana dominasi keluarga Punjabi melalui production house-nya telah menjadi kekuatan industri film yang sangat mempengaruhi kecenderungan genre dan tema naratif tentang problematika kaum remaja di kota dengan segala hingar-bingarnya.
Kedua, penekanan kajian terhadap proses komodifikasi dalam film yang dengan massifikasi dan standardisasi produknya melakukan “pengelabuhan massa” karena menawarkan produk-produk industrial yang sebenarnya tidak mengusung wacana pencerahan dan semata-mata sebagai hiburan untuk mengisi waktu luang yang mengurangi potensi rasional, kreatif, dan resisten dari para penikmatnya serta demi memenuhi kepentingan ideologis kapitalis untuk akumulasi modal (Adorno, 1991; 1997; Witkin, 2003; Strinati, 2004: 46-75; Leslie, 2005: 34-40).
Dengan perspektif kritis yang biasa dilakukan oleh Mazhab Frankfurt, model ini menekankan pentingnya pembacaan kepada aspek komodifikasi yang dilakukan oleh filmmaker terhadap problematika sosio-kultural masyarakat dalam format yang serba ringkas, baik dalam hal ruang maupun waktu, sehingga tidak memunculkan sudut pandang komprehensif dan kritis dari penonton serta sekedar menjadi media hiburan.
Prinsip komodifikasi juga membatasi sekaligus menyempitkan isu dan wacana yang diangkat dalam narasi film. Komplikasi masalah yang berlangsung dalam masyarakat kota, misalnya, kebanyakan hanya disuguhkan dalam bentuk problematika cinta kaum muda dalam latar metropolitan serta menghilangkan problematika kaum miskin kota.
Menurut Louw (2001: 32) proses penyempitan ini terjadi karena (1) kuatnya patronase terhadap kepentingan pemodal dalam industri budaya yang hanya menghendaki wacana-wacana tertentu; (2) kecenderungan wacana dari para kreator dan pekerja; dan (3) tekanan dari relasi kuasa lainnya, semisal negara maupun institusi agama.
Realitas pembatasan kreativitas dalam hal tampilan dan wacana dalam film, juga terjadi karena sistem industri budaya, meskipun mengedepankan kreativitas baru, tetap menempatkan kreator dalam posisi subsistem. Para kreator bertugas untuk membuat produk yang bisa memenuhi kebutuhan estetik masyarakat sehingga bisa mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kreator dalam sistem seperti itu termasuk ‘golongan tukang’ yang dalam proses kreatifnya tidak bisa berdiri sendiri karena bergantung pada tim lain, yakni tim penilai dan teknis-produksi. Mereka biasanya akan berkompromi dengan tim yang lebih banyak menimbang perkembangan dan trend di lapangan (Backer, 1982: 122; Granham, 1997; Hesmondhalgh, 2007).
Artinya, permasalahan utama yang seharusnya patut diketahui oleh penonton dialihkan ke dalam permasalahan lain yang bersifat kamuflatif. Tujuan di balik ini, tentu saja, untuk menggaet penonton sebanyak-banyaknya sehingga keuntungan kapital semakin menumpuk karena narasi tentang cinta dan kehidupan metropolitan masih menjadi orientasi utama dalam masyarakat Indonesia.
Ketiga, hampir serupa dengan model yang dikembangkan Mazhab Frankfurt adalah penekanan kepada potensi “monopoli pengetahuan” melalui film yang berasal dari bentuk medium dan isinya sehingga bisa merubah praktik sosio-kultural, ekonomi, maupun politik (Babe, 2009: 35-41) sebagai akibat dari “bias” yang disebabkan oleh keterbatasan “ruang dan waktu” (bahan bahan dan bentuk) dan “kegunaan” serta motivasi di balik mediasi (van Loon, 2008: 22-27).
Pendekatan yang dikembangkan dari pemikiran Innis ini mengkaji potensi bias yang dilakukan oleh para filmmaker terhadap isi yang serba dimapatkan dalam medium narasi sebagai bentuk efektifitas dan efisiensi modal, sehingga bisa memunculkan agenda setting terkait pengetahuan tertentu yang lebih banyak dieksploitasi di dalam narasi.
Dalam film-film era 2000-an, misalnya, kecenderungan untuk merepresentasikan narasi metropolitanisme serta marjinalisasi narasi lokalisme, telah menghadirkan pengetahuan tentang kemajuan peradaban yang seolah-olah terus berlangsung dalam ruang kota. Akibatnya, penonton secara ajeg memposisikan kota sebagai ‘rumah idaman’ untuk merubah nasib dan terlepas dari ikatan-ikatan tradisional.
Signifikansi kota dan kehidupan metropolitannya dalam film Indonesia, sebenarnya berasal dari pemahaman di negara-negara Barat yang menjadikan film sebagai bagian dari transformasi masyarakat kapitalis menuju masyarakat industrial. Transformasi ini memproduksi pengalaman baru metropolis. Lanskap baru ruang kota sebagai akibat ekspansi kapitalisme industri tidak hanya membentuk transisi menuju cara modern untuk hidup di dunia, tetapi kita juga terpengaruh oleh budaya sang modern.
Sepertihalnya bentuk-bentuk visual lainnya, film menjadi terlibat dalam proses perubahan, bahkan berperan dalam mendokumentasikan dan mengomentari tingkat perubahan. Kesuksesan film pada masa lampau lampau terletak pada kemampuannya untuk mengkombinasikan inovasi teknologi dengan kemampuan baru untuk merespons bentuk-bentuk sosial baru kehidupan metropolitan. Dan, ternyata, kondisi tersebut bertransformasi dalam film-film di masa kini, di mana metropolitanisme tetap menjadi orientasi konsensual untuk menakar kemajuan sebuah bangsa (Mazumdar, 2007: xviii-xix; Mennel, 2008: 9).
Dari pembacaan terhadap ketiga perspektif tersebut, bisa dikonseptualisasikan argumen terkait kepentingan ekonomi-politik dalam produksi dan narasi film, bahwa “selalu ada kepentingan yang bersifat ekonomis, ideologis, dan politis, di balik proses dan produksi film”. Kepentingan ekonomis mewujud dalam praktik komodifikasi, produksi, dan distribusi yang diharapkan mendatangkan keuntungan finansial bagi para produser, sineas, maupun para distributornya.
Kepentingan ideologis bisa dilihat dari kecenderungan untuk merepresentasikan wacana dan pengetahuan partikular tentang problematika sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat, melalui penonjolan isu tematik yang disukai oleh pemodal yang bisa mengkonstruksi orientasi pemikiran masyarakat penonton. Maka, dalil deterministik ideologi Marxisme, tidak lagi dipahami secara kaku, tetapi melalui praktik representasi yang wajar, sehingga bisa menjadi tuntunan yang diproduksi terus-menerus.
Berpijak pada usaha untuk merevisi dalil determenistik ideologi Marxisme, Althusser (1971: 162-177) menjelaskan bahwasannya ideologi bisa didefinisikan dengan beberapa konsep, antara lain: (1) ideologi merupakan representasi dari hubungan imajiner dari individu terhadap kondisi-kondisi riil eksistensi; (2) ideologi mempunyai eksistensi material; dan (3) ideologi menginterplasi (memanggil) individu sebagai subjek.
Untuk menciptakan interplasi subjek melalui proses representasi maka dibutuhkan Aparatus Negara Ideologis yang antara lain berupa aparatus religius, pendidikan, keluarga, hukum, politik, serikat dagang, media (komunikasi), dan budaya. Kehadiran aparatus-aparatus inilah yang akan menyemaikan dan menyebarkan pemahaman ideologis dalam masyarakat.
Mengikuti logika Althusserian, Hall (1997b) menegaskan bahwa ideologi merupakan kerangka pikir/mental tentang objek-objek pengetahuan tertentu dan akan terus-menerus diwacanakan melalui praktik penandaan, yang termasuk di dalamnya adalah bahasa, konsep, kategori, pencitraan pikiran, dan sistem representasi sehingga kelas-kelas ataupun kelompok-kelompok sosial yang berbeda dalam masyarakat bisa mengatur diri mereka agar bisa membuat pemahaman dan menjadikan nilai, sistem, aturan, dan cara kerja dalam masyarakat bisa dimengerti secara bersama-sama (Heck, 2005: 110; Besley, 1990: 5-6).
Sementara, kepentingan politis merupakan usaha untuk menggiring orientasi pemikiran penonton ke dalam formasi, bentuk, dan praktik sosio-kultural yang akan memproduksi dan mereproduksi secara terus-menerus kuasa pemodal dan kelompok-kelompok dominan lainnya dalam kehidupan masyarakat, tanpa harus mendikte secara dogmatis, tetapi melakukan negosiasi dan artikulasi dalam ranah budaya sehingga memunculkan kuasa hegemonik.
Hegemoni terjadi ketika kelas penguasa mampu memimpin sebuah blok historis yang terdiri dari kaum intelektual, proletar, petani, dan lain-lain dalam sebuah kepemimpinan yang mengedepankan kerja-kerja moralitas dan kebudayaan, serta mengurangi mekanisme kekerasan.
Untuk bisa menuju kuasa hegemonik, maka kelas penguasa harus bertransformasi menjadi kelas pemimpin (the leading class) yang mampu menegosiasikan kepentingan kelasnya dan juga mengartikulasikan (menyuarakan) kepentingan kelas-kelas subordinat lainnya. Dari proses itulah akan muncul konsensus sebagai basis dari hegemoni (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau & Mouffee, 1981: 226; Boggs; 1984: 161; Bennet, 1986: xv; Williams, 2006: 134-137; Hall, 1997c: 425-426; Slack, 1997: 115).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengkaji bagaimana bentuk organisasi, peran pemodal, dan kelengkapan modal serta alat produksinya dan lebih ditekankan pada praktik representasi dalam narasi yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi-politik dalam produksi film.
Pendekatan ekonomi-politik lebih digunakan untuk melihat kecenderungan wacana-ideologis yang disajikan dalam film sebagai akibat dari kuasa pemodal yang secara cerdas membaca dan memproduksi kembali persoalan-persoalan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat demi memperoleh keuntungan finansial sebesar-besarnya melalui sistem dan mekanisme industri budaya yang lebih banyak mendukung beroperasinya relasi kuasa-hegemonik.
Artinya, penekanan utama akan tetap diarahkan kepada praktik representasi budaya pascakolonial-neoliberal dalam film dalam kaitannya dengan usaha untuk mendatangkan keuntungan finansial sembari terus melakukan hegemoni melalui kecenderungan formasi diskursif dan pengetahuan kultural-ideologis partikular dalam konteks “budaya media,” termasuk film, yang semakin populer dewasa ini.
Kellner (1995: 1 & 35) menjelaskan beberapa karakteristik budaya media. Pertama, terkonstruksi dari citra, suara, dan tontonan (dalam radio, televisi, film, dan produk lain industri budaya) yang mendominasi waktu senggang, membentuk pandangan politik dan kebiasaan sosial. Kedua, membantu individu untuk mengkonstruksi pemahaman tentang kelas, etnisitas, ras, kebangsaan, seksualitas, serta tentang “kita” dan “mereka.”
Ketiga, membentuk pandangan umum tentang dunia dan nilai terdalam, seperti baik atau buruk, positif atau negatif, moral atau kejahatan. Keempat, cerita dan citra media menyediakan simbol, mitos, dan sumber yang membantu untuk membentuk budaya umum bagi mayoritas individu di dunia.
Kelima, menyediakan material untuk menciptakan identitas dimana melaluinya individu-individu bisa memasuki masyarakat tekno-kapitalis yang memproduksi bentuk baru budaya global. Keenam, budaya kita hari ini adalah “budaya media”, di mana media telah mengkolonisasi budaya dan media merupakan alat utama bagi distribusi dan diseminasi budaya. Ketujuh, media merupakan situs dimana pertarungan berlangsung untuk mengontrol masyarakat.
BUDAYA PASCAKOLONIAL & HEGEMONI NEOLIBERAL: MEMBACA KONTEKS & TEKS NARATIF FILM
Untuk bisa memenuhi kepentingan komersial dan kepentingan ideologis-politiknya, tentu saja para pemodal harus memperhatikan konteks sosio-kultural masyarakat dan situs untuk merepresentasikan kepentingan tersebut. Yang termasuk dalam konteks sosio-kultural adalah perubahan budaya yang ada di masyarakat akibat penerapan sistem ekonomi-politik yang mengikuti kecenderungan yang di negara-negara Barat dan pengaruh budaya global dalam kehidupan sehari-hari warga. Situs representasi dalam hal ini adalah genre film populer agar masyarakat lebih tertarik untuk menonton.
Terkait persoalan budaya, dalam hal ini dipahami sebagai praktik dan orientasi kultural, pembicaraan tidak bisa dilepaskan dari kondisi budaya pascakolonial yang secara genealogis berlangsung dalam masyarakat pada masa penjajahan, selepas kemerdekaan, dan transformasinya hingga saat ini. Pada masa kolonial, penerapan sistem ekonomi-politik eksploitasi telah mengakibatkan proses pengekangan, pembatasan, dan pengebirian hak-hak dari warga terjajah.
Penjajah direpresentasikan sebagai subjek superior yang tengah menjalankan proyek besar Pencerahan bagi warga benua lain yang diceritakan secara stereotip dalam catatan perjalanan, karya sastra, maupun penelitian antropologis sebagai “liyan” (the other) yang kanibal, terbelakang, tidak berpendidikan, tidak beradab, dan tidak bergama sehingga layak untuk dijajah dan dididik menjadi modern (Said, 1978, 1994; Slemon, 1995; Bishop, 1995; Kachru, 1995; Célestin, 1996; Lidchi, 1997; Loomba, 2000: 57-58; Weaver-Hightower, 2007; Mrázek, 2006: 147; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998).
Kondisi inilah yang menyebabkan inferioritas sehingga mereka seringkali memimpikan untuk “menjadi seperti penjajah” atau “bermimpi menjadi Barat” (Lombard, 2000; Fanon, 2008: 74). Akibatnya, mereka berada ambivalensi antara tradisionalisme dan modernisme, antara emansipasi dan asimiliasi, yang seringkali menghadirkan dualitas tragis atau kegandaan psikis (Mbebe, 2001: 12; Quayson, 2000: 16-17).
Resistensi fisik dan intelektual terhadap penjajah dan segala pengaruhnya memang menghasilkan kemerdekaan. Namun, resistensi yang dijalani sebagai penanda dari cita-cita nasionalisme untuk membangun kehidupan kenegaraan dan kebangsaan tanpa beban-beban historis masa kolonial (Gandhi, 1998: 111-112), nyatanya tidak bisa menghilangkan jejak-jejak ideologis yang diwarisi dari bangsa penjajah berupa penerapan sistem pendidikan, hukum, militer, politik, ekonomi, dan sosio-kultural yang banyak meniru rezim kolonial atau negara-negara yang dianggap maju.
“Proyek-proyek modernitas”, seperti proyek emansipasi, ekspansi, renovasi, dan demokratisasi (Canclini, 1995) yang menjanjikan beragam wacana dan praktik perbaikan serta pencerahan bagi kemajuan setiap manusia dan bangsa, seperti yang dijanjikan proyek Abad Pencerahan (Venn, 2006: 55), ternyata menjadi impian besar dari praktik negara modern pascakolonial yang benar-benar mengadopsi Barat.
Dengan kata lain, hasrat kosmopolitan untuk mendapatkan kemajuan dan pencerahan sebagaimana dialami negara-negara maju sebenarnya menjadi paradigma yang kuat bagi para elit di tingkat nasional, sehingga berpengaruh pada kendurnya strategi budaya nasional dan kebimbangan dalam menentukan sikap subjek-subjek pascakolonial (Fanon, 1995).
Dalam kasus Indonesia, misalnya, ketakjuban pada formasi negara modern ala Barat telah menghasilkan kebimbangan-kebimbangan subjek pascakolonial, dari elit politik, akademik, sampai ke rakyat biasa, dalam menentukan arah kehidupan bernegara, berbangsa, dan berbudaya sampai hari ini (Sears, 2005: 335-336).
Ambivalensi dalam diri subjek-subjek pascakolonialmemberikan peluang besar masuknya pengaruh neoliberalisme sebagai sistem yang menekankan kebebasan pasar (Clarke, 2005: 50-51; Harvey, 2007: 10-11; Lapavitsas, 2005) melalui globalisasi dalam bidang ekonomi dan politik melalui lembaga keuangan internasional dan perusahaan transnasional yang selalu diidealisasikan memberikan kesejahteraan, demokratisasi, dan pemberadaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam bidang ekonomi, globalisasi neoliberal ditandai aliran kapital raksasa (huge capital) dari negara-negara maju menuju negara-negara berkembang dan miskin, melalui perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) dan lembaga-lembaga keuangan internasional.
Praktik ini memunculkan homogenisasi sistem dan praktik ekonomi neoliberal serta menciptakan keterhubungan di antara negara-negara di dunia (Steger, 2006: 38-40). Kehadiran TNCs dan ‘tangan-tangan dermawan’ lembaga keuangan diargumenkan bisa mempercepata pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan miskin serta mengurangi kemiskinan (Edwards, 2007: 262-263; Stallings, 2007: 214).
Sistem politik neoliberal menjadi hegemonik karena globalisasi yang ditandai oleh banyaknya negara yang mereoperasikan praktik pemerintahan, khususnya dalam bidang ekonomi-politik, dengan sistem demokrasi dan model ekonomi neoliberal yang mengutamakan kemajuan dan stabilitas ekonomi sekaligus sebagai kolaborator utama dari TNCs dan lembaga keuangan, serta menjadikan mereka sebagai aktor penggerak globalisasi (Kien, 2004: 473-477).
Karakteristik lainnya adalah munculnya “tatanan dunia baru” malalui kerjasama internasional dengan bumbu demokrasi pemerintahan sebagai akibat “globalisasi demokratisasi” dan “demokratisasi globalisasi” untuk menyelesaikan masalah di masing-masing negara (Gills, 2002: 164-171). Selain itu, tumbuhnya kekaisaran ekonomi politik dunia yang sekaligus menegaskan pengaruh hegemonik AS dan negara-negara maju lainnya (Pieterse, 2004).
Di samping itu, tekanan internasional, utamanya dari negara-negara maju, untuk membatasi kuasa negara dengan alasan perbaikan kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara pascakolonial, telah menjadi penyemai baru bagi neoliberalisme yang memproyeksikan pencerahan bagi warga negara yang bisa memainkan peran dan kemampuannya, baik modal maupun pengetahuan, sesuai dengan selera dan tuntutan pasar (Hindess, 2005; 2004).
Pernyataan itu tentu tidak dimaksudkan sebagai serangan balik terhadap penguatan hak asasi manusia dan demokrasi, tetapi lebih sebagai semacam peringatan bahwa neoliberalisme bisa dengan mudah memasukkan agenda ideologis-politiknya untuk melakukan hegemoni melalui kedua proyek tersebut.
Superioritas proyek pemberadaban dan peradaban neoliberal ala Barat yang diadopsi dan diterapkan di negara-negara pascakolonial bisa menghadirkan imperialisme modern di mana “sang pusat” tidak lagi membutuhkan institusi kultural di wilayah periperal karena keseluruhan sektor dari elit dan intelektual lokal yang mewarisi tradisi kolonial mengidentifikasi hasrat kosmopolitan mereka dengan pusat imperial, sang Barat (Brennan, 2008: 48).
Dalam pandangan Foucault (dikutip dalam Danaher, Schirato, & Webb, 2000: 91-94), penghargaan tinggi terhadap prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan yang dihubungkan dengan hukum pasar (bentuk-bentuk usaha bebas lebih produktif) menjadikan (neo)liberalisme telah menjadi formasi diskursif yang lebih disukai karena bisa menghentikan campurtangan dan kekerasan oleh negara dan praktik kepemerintahannya, serta lebih bisa menjamin otonomi relatif masyarakat sipil.
Konsepsi itulah yang menghadirkan tesis standardisasi peradaban dan pemberadaban neoliberal ala Barat, yang menurut Fidler (dikutip dalam Bowden, 2006: 29-30) meliputi beberapa aspek. Pertama, penghormatan pada hak asasi sipil dan politik manusia. Kedua, penghormatan terhadap masyarakat sipil dalam politik domestik maupun internasional.
Ketiga, komitmen pada peran hukum, baik dalam ranah domestik maupun internasional. Keempat, komitmen pada ekonomi pasar bebas secara domestik maupun perdagangan dan investasi bebas secara internasional. Kelima, komitmen untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ranah hukum, politik, ekonomi, dan tantangan-tantangan sosial lainnya.
Untuk menjadikan dunia bergerak sesuai keinginannya, negara-negara Barat tidak perlu hadir, tetapi ketika negara-negara pascakolonial berada dalam posisi ketergantungan terhadap formasi diskursif dan praktik neoliberal-global, maka hegemoni mereka sebenarnya tetap berjalan (Hoogvelt, 2001). Kondisi inilah yang melahirkan konsep dan praktik “Kekaisaran Baru”.
Hardt dan Negri (dikutip dalam Venn, 2006: 136) menjelaskan karakteristik “Kekaisaran Baru.” Pertama, bentuk baru kedaulatan, berbeda dari imperialisme sebelumnya. Kedua, terdensentralisasi dan menggunakan mesin sebagai moda operasinya. Ketiga, dijalankan oleh beragam saling-lintas dan memperlemah negara-bangsa. Keempat, mampu mengatur identitas-identitas hibrid dan hirarki yang fleksibel. Kelima, memapankan model baru produksi instrumen yuridis dan normatif guna memapankan ‘kedamaian’ dan tatanan universal. Keenam, kekuasaanya berasal dari klaim tentang kapasitasnya untuk membawa tatanan yang adil.
Penterjemahan ekonomi-politik neoliberal ke dalam praktik kehidupan negara pascakolonial telah menghadirkan kecenderungan baru munculnya elit-elit pemodal dalam industri budaya yang berideologi neoliberal dalam proses produksi dan distribusinya, sehingga budaya saat ini lebih banyak terkonsentrasi pada media hiburan yang mengandalkan teknologi seperti film, majalah, iklan ataupun program televisi (Hall, 2000).
Kerja-kerja media yang mengandalkan kapitalisme teknologi telah mempercepat perluasan pasar dan mampu membentuk masyarakat penonton dalam jejaring pemuasan hasrat (Kellner, 2003). Kondisi ini memunculkan tesis tentang imperialisme kultural di mana hegemoni budaya massa Barat telah menyebabkan homogenisasi kultural di negara-negara berkembang, utamanya komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi (Banerjee, 2002: 519-520; Sparks, 2007: 145-147; Wise, 2008: 34-35).
Akibatnya, sebagian besar representasi kultural yang muncul dalam produk-produk tersebut adalah pesan-pesan yang sesuai dengan agenda pasar untuk membentuk budaya konsumen neoliberal bersumber dari Barat secara terus-menerus di masyarakat poskolonial. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Hardt & Negri (dikutip dalam Venn, 2006: 137) negara-negara pascakolonial tetap saja tersubordinasi, masuk dalam kuasa modal: “yang luar terinternalisasi ke yang dalam.”
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan penerapan ekonomi-politik neoliberal, meskipun seringkali tidak diakui oleh pemerintah, telah menghasilkan booming industri budaya yang menjadi trend baru kapitalisme industri. Kondisi tersebut didukung oleh semakin longgarnya kontrol negara. Akibatnya, masyarakat semakin terbiasa dengan produk-produk industri budaya, dari program televisi, film, fashion, dan lain-lain, yang memasukkan mereka ke dalam jejaring dan praktik modernitas budaya, meskipun masih ada sebagian nilai tradisi-lokal yang dijalankan.
Namun, kecenderungan secara umum, praktik dan orientasi budaya yang berlangsung semakin digerakkan semakin menuju semangat pembebasan dan kebebasan yang sangat Barat. Celakanya, orientasi dan praktik yang diambil lebih mengarah pada ketercerabutan dari kearifan-kearifan lokal yang pernah menjadi konsensus sosio-kultural dan lebih mengedepankan budaya konsumen, budaya metropolitan, dan proyek-proyek pembebasan hasrat individual lainnya.
Meskipun Barat-neoliberal menjadi orientasi hegemonik dalam masyarakat Indonesia, masih ada saja usaha-usaha dari sebagian masyarakat untuk menjalankan praktik kultural yang berorientasi pada tradisionalisme. Akibatnya, terjadi hibridisasi kultural yang berusaha memadukan kekuatan tradisi-lokal dengan kekuatan modernitas sehingga memunculkan bentuk budaya campuran.
Mengikuti pemikiran Bhabha (1994: 86-115), hibridisasi kultural merupakan proses kultural yang berlangsung “di ruang antara” atau “ruang ketiga” yang melibatkan peniruan terhadap sebagian budaya superior (eks-penjajah) oleh subjek-subjek poskolonial sembari melakukan pengejekan karena mereka tetap memainkan budaya mereka di balik ambivalensi yang terjadi, sehingga secara politis tidak sepenuhnya bisa dikuasai oleh budaya superior tersebut.
Hibridisasi dalam konteks tersebut, bisa menjadi alat perjuangan untuk memperkuat budaya sebuah bangsa poskolonial dengan terus menegosiasikan kekayaan kultural atau, sebaliknya, memperlemahnya, ketika mereka semata-mata melakukan percampuran tanpa terus meyakini kekuatan kultural yang ada. Dengan hibriditas budaya, bangsa kolonial maupun poskolonial bisa mengekspresikan hak untuk menarasikan budaya mereka, meskipun harus masuk dan bermain dalam lingkaran budaya kuasa yang lebih dominan (Huddart, 2007).
Kegandaan fungsi politis hibridisasi kultural terjadi karena, mengikuti pemikiran Young (1995: 23-25), ia bisa menjadi usaha untuk mengkontestasi budaya dominan melalui “operasi ganda yang ganjil”, yakni percampuran elemen-elemen kultural dari budaya dominan (budaya global-neoliberal) dan budaya nasional/lokal yang semula saling berkonflik menjadi struktur-struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi secara terus-menerus; sebuah repetisi struktural.
Hibriditas kultural yang terjadi bisa menjadi kekuatan ideologis-kultural untuk terus menegosiasikan budaya lokal di tengah-tengah hegemoni budaya modern-neoliberal sehingga karakteristik lokal akan terus bertransformasi ke dalam praktik kehidupan terkini, sekaligus menciptakan kreativitas-kreativitas kultural yang selalu baru (Clothier, 2006).
Hibridisasi kultural dalam konteks nasional dan lokal memang sangat dipengaruhi oleh percepatan teknologi dan industri budaya yang diimpor dari negara-negara maju sehingga mempengaruhi struktur, bentuk, praktik, dan orientasi budaya di negara-negara berkembang (Pieterse, 2001: 222).
Massifikasi industri budaya dalam level nasional yang banyak menyerap, mengadopsi, dan memodifikasi produk Barat beserta wacana dan praktik kultural yang ditawarkan (Glynn & Tyson, 2007; Shim, 2006; McMillin, 2001), serta perluasan pasar produk-produk hibridnya pada level lokal, menjadikan pemahaman terhadap budaya pascakolonial, tidak bisa semata-mata dikonstruksi dalam esensialisme kultural yang mengandalkan otentisitas budaya, karena realitasnya telah mengalami hibridisasi, baik dalam hal praktik, bentuk, maupun orientasi nilai kultural.
Dinamisasi budaya hibrid pada masyarakat pascakolonial menjadi mungkin ketika mereka secara sadar dan kritis melakukan penyerapan terhadap budaya global dan mensintesakannya dengan kekayaan budaya lokal sehingga menghasilkan budaya glokal (Giulianotti & Robertson, 2007). Di samping itu, penyesuaian dan transformasi budaya modern-global ke dalam praktik kultural masyarakat lokal bisa menghadirkan “lokalisme baru” (Schuerkens, 2003; Hannerz, 2000).
Namun demikian, hibridisasi kultural bisa semakin memperlemah keragaman budaya lokal yang ada pada masyarakat poskolonial serta memperkuat hegemoni budaya global-modern berorientasi Barat, ketika para subjek hanya bisa melakukan proses penterjemahan, peniruan, dan pencampuran bentuk kultural dan gaya hidup global, tanpa bisa melakukan artikulasi dan negosiasi secara ajeg bentuk, praktik, dan nilai kultural yang ada dalam masyarakat.
Alih-alih memberdayakan lokalitas atau semangat baru kebangsaan, hibriditas yang terjadi pada tataran permukaan, cenderung memberi peluang bagi para pemodal industri budaya untuk menginkorporasi realitas keberagaman dan campuraduk selera kultural yang menjadi produk-produk layak jual (Kalra, Kaur, & Hutnyk, 2005: 91-93).
Salah satu contoh dari proses tersebut adalah hibridisasi kultural yang muncul dalam teks naratif maupun format film dan tayangan televisi, baik yang diproduksi di Hollywood, Amerika Latin, Asia, maupun Afrika, sebagai akibat logis dari globalisasi (Kraidy, 2005: 1-12).
Hibriditas kultural, dengan demikian, bisa menjadi bentuk hegemoni baru yang menjadikan masyarakat poskolonial enggan untuk menunjukkan identitas kultural, selain hibriditas mereka (Hogan, 2004: 14). Dalam kondisi tersebut, neoliberalisme akan mudah menyusupkan nilai ideologisnya melalui produk dan narasi hibrid industri budaya di negara-negara poskolonial, tanpa harus menunjukkan identitasnya secara jelas, tetapi meng-eksnominasi-kannya melalui percampuran dengan budaya lokal yang masih berkembang dalam masyarakat.
Merujuk pada paparan di atas, budaya pascakolonial dalam konteks globalisasi bisa dikonseptualisasikan sebagai bentuk, praktik, dan orientasi nilai serta makna kultural yang berlangsung dalam masyarakat sebagai respons terhadap masuknya pengaruh formasi diskursif neoliberalisme melalui sistem ekonomi, politik, dan media yang cenderung berkiblat pada negara-negara maju.
Mengikuti kecenderungan pascakolonialisme, paling tidak, terdapat tiga konsep tentang budaya pascakolonial. Pertama, dalam budaya pascakolonial bisa saja berlangsung hegemoni kultural yang berasal dari negara-negara maju, dalam hal ini Barat, yang masuk ke kehidupan masyarakat melalui formasi diskursif yang disebarluaskan oleh globalisasi industri budaya dan penerapan sistem ekonomi politik neoliberal, seperti maraknya budaya konsumen, gaya hidup ala Barat, marketisasi budaya, maupun semakin kendornya relasi dan nilai tradisional-lokal.
Kedua, sebagai akibat dari keberantaraan, budaya pascakolonial bisa mewujud sebagai budaya-budaya hibrid yang menjadi situs pertarungan untuk (1) menegosiasikan dan mengartikulasikan lokalitas dalam kehidupan kultural yang makin beragam dan (2) memperlemah lokalitas sebagai perekat nilai kebangsaan karena bentuk-bentuk kultural yang dinegosiasikan dan diartikulasikan hanya bersifat permukaan tanpa menekankan kedalaman ideologis.
Namun demikian, industri budaya pascakolonial yang dipengaruhi industri budaya global dengan kepentingan pasar dan komersilnya, selalu siap dan sigap membaca semua potensi politis tersebut. Karena hasrat kapital dan pasar yang begitu kuat dalam neoliberalisme, maka para pemodal industri budaya, baik dalam level global maupun nasional/lokal, bisa saja mentransformasikan kepentingan komersil mereka ke dalam potensi politik, hegemoni dan hibriditas, yang terjadi dalam tegangan-tegangan budaya pascakolonial dengan cara menginkorporasi dan mengartikulasikannya dalam mekanisme industri.
Salah satu konsepsi ideologis yang menggerakkan mekanisme inkorporasi ini adalah bahwa sangat penting bagi kapitalisme neoliberal untuk memperluas akumulasi modal, meskipun harus mengkomodifikasi nilai dan praktik kultural yang makna diskursifnya mempunyai potensi untuk melawan perluasan kepentingan ideologisnya di tengah-tengah masyarakat.
Kemajuan teknologi mendukung inkorporasi tersebut. Implikasinya, apapun bentuk budaya, baik yang ada di wilayah negara maju maupun negara pascakolonial, bisa dimainkan dan dikomodifikasikan dengan teknologi, sehingga teknologi dan produk-produk yang dihasilkannya akan menentukan arah kebudayaan sebuah masyarakat (Youngs, 1997). Kemajuan teknologi industri, transportasi, dan informasi menghadirkan “budaya kecepatan” dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi.
Budaya kecepatan sebagai akibat dari kemajuan kapitalisme industri berhasil mempercepat proses produksi, memperluas pasar, mempercepat waktu tempuh distribusi, mempercepat proses konsumsi, serta memperbesar keuntungan pemodal, sehingga menghadirkan pengetahuan ideologis tentang kemajuan, peningkatan, dinamisasi, ketakberjarakan, kesegeraan, mobilitas fisik-sosial, telemediasi, dan solusi-solusi siap pakai atas permasalahan yang ikut mempengaruhi praktik kehidupan sosio-kultural di masyarakat, baik di negara maju atau berkembang (Tomlison, 2007).
Kapitalisme, dengan demikian, bukan hanya menjadi entitas ekonomi modal, tetapi ia mampu bertransformasi secara ajeg dalam praktik kehidupan dan reproduksi sosial, masyarakat kota dan budaya konsumen misalnya, sekaligus memodifikasi praktik yang ada sehingga bisa memberikan keuntungan terus-menerus bagi para pemodal (Everling, 1997).
Praktik sosio-kultural ditarik ke dalam jejaring technopoly, di mana teknologi dan informasi menjadi acuan baru bagi kebudayaan dan diasumsikan sebagai capaian tertinggi manusia yang menghargai kreativitas, kemerdekaan, dan perdamaian karena keterpisahan dari keyakinan-keyakinan tradisional yang cenderung mengekang (Postman, 1993).
Namun, kehadiran teknologi, juga memperkaya partikularitas selera kultural dan gaya hidup yang semakin beragam di kalangan kelas menengah kota, semisal, mereka ingin menemukan dan merasakan kembali etnisitas, keprimitivan, maupun religiusitas di tengah-tengah keseragaman kultural sebagai bentuk hibriditas kultural mereka.
Partikularitas tersebut sejalan dengan perayaan deskonstruktif pascamodern terhadap kekakuan subjek terpusat/modern (centered subject) dan formasi diskursifnya, termasuk formulasi tipikal dalam genre sastra dan film, beragam teks, praktik, dan proses sosio-kultural yang sebelumnya menjadi liyan serta tidak masuk dalam narasi besar budaya modern memperoleh signifikansinya.
Perayaan terhadap subjek yang tidak terpusat, marjinalitas, lokalitas, mistisisme, pluralisme, eksotisme, fragmentasi, anti-narasi, keberbedaan, atomisasi individual, dan wacana-wacana yang membedakan dengan modernisme menjadi penegas eksistensi pascamodernisme, baik dalam teks teoretis, sastra, media, maupun praktik-praktik dalam kehidupan nyata (Lyotard, 1984; Hutcheon, 1989; Harper, 1994; Ashley, 1994; Malpas, 2005).
Bagi para pemikir pasckolonial dan pascamodern, kecenderungan ini bisa memunculkan representasi-representasi kultural partikular yang mempunyai potensi perlawanan terhadap ketunggalan makna dan pengetahuan akibat seragamisasi, seiring dengan perlawanan terhadap konstruksi subjektivitas tunggal dan logosentrisme ala Barat yang dihasilkan praktik modernitas dan kolonialitas; sebuah titik temu antara pascakolonialisme dan pascamodernisme (Quayson, 2005; Ahluwalia, 2001: 3-4).
Namun, kecairan ideologi neoliberal terkait pasar dan budaya komersil, mampu memunculkan cara pandang akomodatif sehingga hasrat partikularitas konsumsi hibrid (yang etnis/yang primitif atau yang religius di tengah-tengah yang modern) ditransformasi, dikomodifikasi, dan diinkorporasi ke dalam narasi kesukaan-diri yang seolah-olah memberi kebebasan bagi penyemaian selera individual, tetapi sebenarnya menciptakan “masyarakat-yang-digerakkan-pasar” (Venn, 2006: 143-144; Jackson, 2002; Huggan, 2001: 6, 31-33; Dirlik, 2002: 110; Comaroff & Comaroff, 2006; Einstein, 2008; Bryman, 1995: 100-112; Byrne & McQuillan, 1999).
Alih-alih sebagai gerakan resistensi terhadap kuasa budaya hegemonik, hibriditas cenderung mempermudah hadirnya formasi diskursif neoliberalisme melalui bentuk dan narasi ideologis produk hibrid yang mempertemukan sang global dan sang nasional/lokal atau hadirnya sang nasional/lokal dalam sang global, dengan rayuan diskursif berupa “kreativitas kultural”, “hilangnya batasan-batasan”, maupun “budaya alternatif” yang memberikan toleransi dan identitas kolektif baru di alam global (Wang & Yeh, 2007; Kwok-bun, 2007).
Akibatnya, sang Barat tetap menjadi imajinasi dan orientasi ideal masyarakat pascakolonial di tengah-tengah keragaman kultural yang mereka rayakan. Dengan demikian, perbincangan hibriditas dan segala potensi politis yang diwacanakan hanya, meminjam ungkapan Spivak (dikutip dalam Kalra, Kaur, & Hutnyk, 2005: 102), sekedar menjadi “bisnis seperti biasanya”, karena perusahaan-perusahaan industri budaya memang selalu siap mengkooptasi praktik tersebut dan menjadikan progresivitas-resistensinya mengalami kehancuran (Kapoor, 2008: 144).
Ketika industri budaya berhasil menginkorporasi bermacam selera, bentuk, dan praktik kultural yang berkembang dalam masyarakat, maka konsepsi tentang identitas nasional pada masyarakat pascakolonial menjadi problematik.
Bermacam “kebijakan budaya” yang dikonsepsikan oleh negara untuk membentuk budaya nasional berbasis keadiluhungan etnis semakin kabur dan bisa dikatakan gagal karena ketidakmampuan menciptakan program-program yang tepat (McGuigan, 1996: 50), sehingga mereka lebih memilih regulai pasar neoliberal untuk mengatur kebijakan budaya sekaligus memperoleh keuntungan kapital dan berharap kepentingan nasionalnya tetap terjaga.
Akibat dari pilihan tersebut adalah maraknya industri budaya yang sekaligus menghasilkan popularitas budaya pop dan menjadi situs baru bagi para pemodal dan individu-individu kreatif sebagai perantara budaya baru untuk menyemaikan identitas kultural nasional yang semakin cair dan tidak semata-mata dikonstruksi dengan konsepsi budaya adiluhung.
Featherstone (2007: 44), merefleksikan pemikiran Bordieu, menjelaskan perantara budaya baru sebagai kelas menengah kota baru yang mempunyai kemampuan intelektual dan estetik untuk terlibat dalam proses dan mekanisme industri budaya (film, majalah, musik, televisi, periklanan, dan lain-lain) sehingga mereka mempopulerkan gaya hidup, produk estetik populer, dan tanda-tanda kultural baru yang punya potensi menghancurkan perbedaan dikotomis budaya adiluhung dan budaya pop: sebuah kondisi budaya pascamodern.
Dengan demikian, konsepsi identitas nasional menjadi dinamis dan dialogis, memunculkan makna yang beragam, berubah, dan berkontestasi melalui konstalasi hamparan kultural berupa citra, ide, ruang, benda, wacana, dan praktik, yang di satu sisi mempopulerkan ide de-diferensiasi kultural dan, di sisi lain, menjadikan bentuk kekuasan budaya nasional semakin sulit untuk diidentifikasi (Edensor, 2002: 17).
Apa yang harus dicatat adalah bahwa beragam negosiasi, artikulasi, dan kontestasi yang terjadi dalam representasi industri budaya, tetaplah berada dalam garis edar neoliberal, meskipun mungkin akan muncul representasi yang melawan. Maka, pembacaan beragam representasi tentang pascakolonialitas tidak bisa menegasikan popularitas neoliberalisme sebagai praktik ekonomi-politik yang banyak diadopsi dan diterapkan di negara-negara pascakolonial.
MEMBACA GENRE FILM DALAM KERANGKA EKONOMI-POLITIK
Karena film merupakan salah satu bentuk industri budaya, maka formula komersialisasi yang diterapkan oleh production house, tentu tidak akan berbeda dengan paparan di atas, yakni menginkorporasi dan merepresentasikan persoalan dan kecenderungan budaya pascakolonial-neoliberal di tengah-tengah masyarakat di dalam narasinya.
Dalam konteks ekonomi-politik, formula tersebut bisa mempermudah penerimaan penonton serta memperluas proses hegemoni neoliberal di tengah-tengah masyarakat, karena para pemodal dan kompleksitas industrinya juga menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik neoliberalisme industri budaya.
Tentu dibutuhkan strategi untuk bisa melangsungkan kepentingan ekonomis-ideologis-politis tersebut, yang salah satunya adalah memilih genre populer, seperti drama remaja, keluarga, komedi, maupun horor. Model pemilihan genre populer sebenarnya lebih banyak mengikuti pola yang digunakan oleh industri film Hollywood yang terbukti mampu menjadi sang dominan dalam budaya film di seluruh dunia.
Ketenaran film-film Hollywood yang disebabkan keberhasilan menciptakan genre popular dan narasi yang mudah dipahami serta kapasitas manajemen dan pemasaran (Cooke, 2007: 3-4; Chapman, 2003: 95-194; Aitken, 2001; Telotte, 2006; Bondanella, 2006; Neupert, 2006; Palmer, 2006) menjadikan para produser dan sutradara di negara-negara pascakolonial berusaha untuk meniru film-film tersebut, baik genre maupun tema naratif, meskipun sudah disesuaikan dengan konteks negara dan sosio-kultural zamannya masing-masing.
Kepentingan untuk distribusi dan pemasaran memang menjadi pertimbangan pertama mengapa produksi film di negara-negara pascakolonial banyak meniru genre populer dari Hollywood, seperti drama/melodramatik, aksi, maupun horor. Harbord (2002: 77) menjelaskan keterkaitan genre film dan pemasaran dalam beberapa alasan.
Pertama, genre berguna untuk memahami konteks budaya yang lebih luas dalam hubungannya dengan mutasi dan komplikasi tekstual dalam film. Kedua, genre terletak pada tempat antara wacana produksi dan institusi, estetik dan klasifikasi, serta penonton dan nilai kultural.
Ketiga, menimbang ranah-ranah yang saling bertentangan tersebut dan juga ruang pengetahuan yang hendak di sampaikan, genre diharapkan memberikan titik hubung bagi keterputusan antara pemasaran dan penonton karena wacana pemasaran memang cenderung membayangkan penonton yang sangat kompleks sehingga fragmentasi dan segmentasi teks berupa genre sangat dibutuhkan.
Dengan demikian, spesifikasi struktur semantik/sintaktik sebuah genre bisa mempertemukan kepentingan produksi industrial dan konsumsi penonton. Altman (2003) menjelaskan bahwa dalam perspektif semantik, genre sebuah film ditentukan oleh rangkaian ciri, sifat, tokoh, pengambilan gambar, lokasi, maupun latar.
Sementara, dalam perspektif sintaktik, genre ditekankan pada relasi konstitutif/pembentuk antara aspek-aspek yang berbeda dari teks untuk menggambarkan makna dan struktur globalnya. Penggabungan kedua perspektif tersebut akan memberikan pemahaman lebih menyeluruh terhadap struktur dan makna yang ada dalam genre film tertentu.
Bagi sineas, genre bisa mempermudah kerja-kerja perfilman dalam konteks industrial karena bisa menjadi acuan untuk menyusun narasi film serta menjadi strategi pemasaran sesuai dengan selera dan popularitas genre di dalam masyarakat (Moine, 2008: 64-68). Sementara, bagi penonton, genre film bisa menjadi acuan konseptual dalam memperkirakan jalannya narasi cerita yang akan mereka tonton/hipotesis (Hayward, 2000: 166-171).
Relasi produksi-konsumsi genre dalam film seolah-olah menempatkan pemodal/kreator dan penonton dalam posisi yang seimbang. Artinya, kreator bisa menciptakan genre-genre yang sesuai dengan trend selera penonton, meskipun harus diikuti dengan transformasi narasi audio-visual yang disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural, politik, maupun ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Dengan transformasi pula, film bisa merepresentasikan kecenderungan dinamika sosio-kultural yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang semakin ‘terpasarkan’, sehingga mereka sebenarnya ikut pula memproduksi pesan-pesan ideologis yang memperkuat berkuasanya pasar.
Sementara, penonton, disatu sisi, diberikan kebebasan untuk memilih genre-genre yang sesuai dengan selera mereka, tetapi, di sisi lain, tetap disuguhi dengan keterbatasan pilihan berupa genre-genre populer. Keterikatan pada genre-genre populer, lebih jauh lagi, menjadikan mereka semakin mudah terikat dengan pengetahuan kultural-ideologis yang menjadi bagian formasi dan praktik diskursif neoliberlisme.
Fungsi genre untuk memasukkan pengetahuan kultural-ideologis dan relasi kuasa-hegemonik, pada dasarnya, melekat pada spesifikasi dan tipikalisasi narasi audio-visual yang menjadi mitos. Film melakukannya melalui narasi-narasi stereotip dalam genre populer yang merepresentasikan permasalahan-permasalahan seperti yang terjadi dalam kehidupan nyata untuk kemudian memberikan resolusi yang mengembalikan permasalahan tersebut ke dalam norma dan nilai yang disesuaikan dengan wacana kultural-ideologis partikular (Moine, 2008: 72-79).
Contoh menarik dari fungsi ideologis ini, misalnya, bisa dilihat dalam konflik-konflik genre film western, fiksi ilmiah, gangster, dan horor yang secara tipikal menangkap kegelisahan publik terhadap permasalahan yang mereka hadapi seperti ketidakadilan ekonomi, konflik politik, konflik sosio-kultural, dan lain-lain, untuk kemudian menenangkan mereka dengan resolusi-resolusi yang sekedar memberikan kepuasan, tetapi tidak mengarah pada tindakan praksis, sehingga tetap menguntungkan kelas-kelas penguasa (Wright, 2003: 42-50).
Menurut Fulton (2005: 5-7), narasi formulaik dalam media pada abad kapitalisme akhir berperan besar untuk menaturalisasi kepentingan ideologis kelas pemodal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren dengan kepentingan ekonomi kapitalis melalui tawaran akan pembebasan dan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam jejaring pasar kapitalisme global.
Film bergenre drama remaja/kaum muda Indonesia pada era 2000-an, misalnya, banyak mengkomodifikasi tema naratif tentang perayaan subkultur kaum muda yang mengekspresikan problematika cinta yang juga merepresentasikan metropolitanisme sebagai salah satu penanda dari kehadiran budaya pascakolonial-neoliberal.
Dalam film Ada Apa Dengan Cinta (2001) dan Eiffel I’m in Love (2003), misalnya, metropolitanisme yang disuguhkan mewujud sebagai mall, plasa, restoran, rumah mewah/apartemen, mobil, dan fasilitas-fasilitas mewah lainnya, sebagai setting berlangsungnya adegan-adegan naratif.
Bermacam problematika dan konflik yang dihadapi para tokoh di dalam kedua film tersebut, bisa mereka selesaikan sendiri dalam ruang-ruang negosiasi yang disediakan kota dan budaya metropolitannya, sembari menggusur peran keluarga sebagai institusi integrasi sosial terkecil.
Meskipun orang tua tetap dihadirkan dalam kedua film tersebut, tetapi kehadiran mereka sekedar pelengkap dari yang mengesankan adanya keluarga. Dengan kata lain, keluarga diartikulasikan dalam film hanya sebagai tempelan untuk menandakan bahwa institusi ini masih ada dalam jagat metropolitan.
Pembatasan fungsi keluarga sebagai ruang penyelesaian permasalahan yang dihadapi kaum muda, paling tidak, menandakan usaha untuk mulai menggusur ikatan konsensual yang menjadi kekuatan lokal bangsa, meskipun pada masa Orde Baru pernah digunakan sebagai alat legitimasi rezim.
Memang, dalam realitas kehidupan, keluarga masih sangat dominan sebagai institusi integrasi. Namun, hasrat untuk membebaskan diri kaum muda di metropolitan sebenarnya sangat kuat. Perilaku seks bebas, tawuran antarpelajar/mahasiswa, dan penggunaan narkoba menjadi permasalahan sosial yang memprihatikan akibat semakin longgarnya peran institusi keluarga dan digantikan oleh institusi yang terlahir dari modernitas budaya kota.
Mall, plasa, maupun restoran mewah memberikan mampu memberikan mereka kenyamanan, tanpa harus diganggu oleh kekangan-kekangan orang tua. Dengan model narasi tersebut, neoliberalisme yang memberikan rayuan pembebasan dan kebebasan berdasarkan hukum pasar hadir tidak secara kaku, tetapi melalui narasi yang menyentuh langsung persoalan dan hasrat kaum muda di perkotaan.
Contoh sederhana tersebut menunjukkan bahwa di samping sebagai alat untuk mendatangkan keuntungan finasial bagi pemodal, genre drama remaja telah menjadi situs untuk terus menyemaikan kepentingan ideologis neoliberalisme melalui proses kultural bernama narasi film guna melakukan proses hegemoni.
Meskipun terdapat usaha untuk menciptakan kuasa-hegemonik budaya poskolonial-neoliberal melalui film, pada era 2000-an juga muncul para pemodal dan sineas yang berusaha menggunakan hibriditas kultural sebagai inspirasi untuk mengkritisi atau meresistensi kuasa tersebut. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai paradigma kritis sebagai akibat persinggungan mereka dengan pengetahuan-pengetahuan lokal, misalnya, yang sebenarnya bisa dimaksimalkan untuk menjaga karakteristik bangsa.
Dengan kata lain, mereka telah menjadi "subjek etik" (Danaher, Scrito, & Webb, 2000: 128-130; Barker & Galasiñski, 2001: 45) yang sadar tidak mungkin menolak film-film bergenre populer dan menggunakannya sebagai situs untuk mendapatkan keuntungan finansial sekaligus menyampaikan cara pandang alternatif dalam memaknai kecenderungan neoliberal dalam kehidupan masyarakat.
Film dalam model ini biasa disebut Sinema Ketiga (Third Cinema), sebuah konsep sinema alternatif yang bisa saja meminjam sebagian teknik produksi dan narasi dari “Sinema Pertama” (First Cinema) yang semata-mata berorientasi komersil dan “Sinema Kedua” (Second Cinema) yang semata-mata berorientasi pada capaian seni untuk kemudian menggunakannya sebagai alat penggerak semangat revolusioner guna melawan kontradiksi dan permasalahan sosial yang dihasilkan dari praktik kapitalisme ataupun hegemoni dari kekuatan dominan (Wayne, 2001).
Film Nagabonar Jadi Dua (2007), misalnya, secara cerdas dan jenaka menggambarkan bagaimana konflik antara generasi muda (anak laki-laki) dan generasi tua (bapak) dalam memandang persoalan neoliberalisme. Si anak ingin membangun resort di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit yang dimiliki si bapak.
Dengan berargumen bahwa di dekat kebun itu terdapat makam istri/ibu si anak dan kerabat dekatnya, proyek yang didanai investor dari Jepang tidak jadi dijalankan, karena si anak melihat kesedihan hati bapaknya ketika kuburan tersebut mau dibongkar dan dipindah. Kepentingan ekonomi-politik neoliberal, dengan demikian, dikalahkan oleh kearifan lokal tentang makam yang masih sangat kuat di tengah-tengah masyarakat kita.
Narasi film ini memang mengambil setting di ibukota dan bermacam kompleks permasalahannya dengan gaya Hollywoodianisme. Namun, film ini tidak kehilangan nalar lokalnya untuk menghadapi perubahan zaman dengan memberikan cara pandang terhadap persoalan neoliberalisasi yang terjadi di Indonesia saat ini. Dengan demikian, hibriditas kultural yang ditawarkan bisa menjadi kekuatan ideologis-kultural untuk terus menegosiasikan budaya lokal di tengah-tengah kecenderungan neoliberalisme saat ini.
Yearwood (1987) memandang bahwa sinema Dunia Ketiga atau sinema pascakolonial sebenarnya memiliki beberapa kapasitas signifikan. Pertama, mempermasalahkan basis ideologi sistem politik (negara mereka), legitimasi status quo, dan tanggung jawab sebagai daya respons sistem politik kepada rakyat.
Kedua, mampu membangkitkan kesadaran rakyat ke dalam kemajuan, dan bukannya ‘menidurkan mereka’ dengan tontonan yang semata-mata menghibur untuk melarikan diri dari realitas. Ketiga, secara aktif mengkoreksi basis estetik dan naratif film kolonial yang sangat stereotip.
Keempat, mengkritisi kemapanan masyarakat dan relasi sosialnya serta membantu masyarakat untuk memahami permasalahan sosio-kultural dan kesulitan hidup yang terjadi setelah kemerdekaan. Kelima, mengangkat kembali romansa tradisi atau membantu masyarakat dalam memahami dan menghadapi perubahan kultural, sehingga mengarahkan mereka untuk melihat jagat dengan cara pandang baru. Paling tidak, film-film pascakolonial, di tengah-tengah motivasi komersilnya, diharapkan masih bisa mengangkat idealisme dalam mengkritisi problematika kehidupan sosio-kultural, ekonomi, dan politik masyarakat.
SIMPULAN
Untuk bisa menghubungkan secara detil dan kritis teks naratif film beserta representasi kuasa-hegemonik yang dipengaruhi oleh perubahan budaya pascakolonial Indonesia, pendekatan ekonomi-politik membutuhkan ‘bantuan’ dengan pendekatan-pendekatan lain, yakni cultural studies dan pascakolonialisme
Modifikasi teoretis yang memadukan ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan sebuah bacaan ulang-alik antara teks dan konteks sehingga bisa ‘membuka’ bersemayamnya kepentingan ideologis-kultural-neoliberal di balik representasi budaya pascakolonial dalam film.
Alur berpikirnya adalah bahwa semua persoalan budaya poskolonial yang ada dalam film tidak bisa dilepaskan dari ekonomi-politik yang berlangsung dalam konteks masyarakat/negara dan juga industri film. Dalam kondisi tersebut, para produser dan sineas bisa saja terus-menerus melakukan proses hegemoni melalui representasi budaya poskolonial-neoliberal dalam narasi. Untuk bisa menganalisis representasi dalam narasi secara detil, maka cara baca cultural studies yang memposisikan relasi kuasa dibangun melalui praktik penandaan dalam media, termasuk film, akan sangat membantu.
Sementara, pendekatan pascakolonial akan berguna untuk membicarakan realitas sosio-kultural masyarakat Indonesia di era global yang sudah mulai mengalami dan menjalankan neoliberalisme dalam kehidupan mereka yang direpresentasikan dalam film. Maka, pertimbangan analitik antara teks naratif dan konteks realitas menjadi sangat penting.
Dengan demikian, proyek politik kajian pascakolonial dan cultural studies bisa bersanding dengan proyek kajian ekonomi-politik dalam kajian film sebagai bentuk keterlibatan untuk terus membaca, menganalisis, dan mengkritisi formasi diskursif modernitas ala Barat yang bertransformasi ke dalam kuasa-hegemonik kapitalisme neoliberal yang eksnominasinya pada ranah tekstual dan praksis sosio-kultural berhasil menjadi bayangan, impian, dan pengetahuan ideal dalam masyarakat pascakolonial.
Membicarakan ekonomi-politik melalui pembacaan representasi naratif film akan membantu untuk membuka salah satu situs produksi yang menjadi penyebaran formasi diskursifnya, sehingga para pemikir cultural studies dan pascakolonialisme bisa memahaminya sebagai basis untuk mengkonseptualisasikan, mengikuti pemikiran Scott (1999: 10-15) dan Chen (1998: 25), dekolonisasi representasi berupa usaha untuk mendekonstruksi, mendesentralisasi, mendeformasi, menghancurkan kepalsuan, dan mendisartikulasi belenggu kultural kolonial yang dihasilkan dari proses historis.
Untuk selanjutnya pengkaji merekonstruksi, mereartikulasi, dan menghubungkan kembali bentuk yang lebih demokratis serta mencerahkan bagi masyarakat di tengah-tengah pengaruh hegemonik neoliberal dewasa ini.
Dengan demikian, para intelektual dan kerja-kerja akademis mereka tidak hanya akan berkutat pada ruang tekstual deskriptif, tetapi sekaligus bisa terus melibatkan diri secara diskursif dan politis untuk ‘membuka’ dan ‘membongkar’ situs-situs kultural yang menjadikan bangsa ini terjerembab dalam ketidakberdayaan akut, karena semakin kehilangan kekuatan kreativitas nasional/lokalnya.
Paling tidak, hasil kajian kritis terhadap representasi budaya pascakolonial dengan tiga pendekatan tersebut bisa menjelaskan secara konseptual bahwa kebudayaan Indonesia hari ini telah masuk ke dalam hegemoni neoliberalisme, sehingga berbasis temuan-temuan tersebut, aktivitas-aktivitas akademis-kritis lanjutan bisa terus dilakukan, utamanya untuk mereformulasi representasi-representasi baru dalam situs dan praktik kultural yang lebih memperkuat beragam budaya lokal di tengah-tengah praktik keberantaraan masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Adorno, Theodor W.1997. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Paul Marris & Sue Tornhman (eds). Media Studies: A Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.
__________________.1991. The Culture Industry: selected essays on mass culture. London: Routledge.
Aitken, Ian.2001. European Film Theory and Cinema: A Critical Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Ashley, David.1994. “Postmodernism and Antifoundationalism”, dalam David R.Dickens & Andrea Fontana (eds). Postmodernism and Social Inquiry. London: University College London Press.
Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.
Altman, Rick.2003. “A Semantic/Syntactic Approach to Film Genre”, dalam Barry Keith Grant (ed). Film Genre Reader III. Austin: University of Texas Press.
Babe, Robert. A.2009. Cultural Studies and Political Economy: Toward New Integration. Lanham (UK): Lexington Books.
Backer, Howard. S.1982. Art World. Barkeley: University of California Press.
Banerjee, Indrajit, “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in the New Asian Television Landscape”, dalam Gazette: The International Journal for Communication Studies, Vol. 64, No. 6, 2002.
Barker, Chris & Dariuzs Galasiñski.2001. Cultural Studies and Discourse Analysis: A Dialogue on Language and Identity. London: Sage Publication.
Barthes, Roland.1983. Mythologies. New York: Hill and Wang.
Besley, Catherine.1990. Critical Practice. London: Routledge.
Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Bishop, Alan J.1995. “Western Mathematics: The Secret Weapon of Cultural Imperialism”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Boggs, Carl.1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.
Bondanella, Peter.2006. “Italian Neorealism”, dalam Linda Badley, R. Barton Palmer & Steven Jay Schneider (eds). Traditions in World Cinema. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Bowden, Brett.2006. “Civilization, standards, and markets”, dalam Brett Bowden & Leonard Seabrook (eds). Global Standard of Market Civilization. London: Routledge.
Brantlinger, Patrick.2009. Victorian Literature and Postcolonial Studies. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Brennan, Timothy.2008. “Postcolonial Studies and Globalization Theory”, dalam Revathi Krishnaswamy & John C. Hawley (eds). The Postcolonial and The Global. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Bryman, Alan.1995. Disney and His World. London: Routledge.
Byrne, Eleanor & Martin McQuillan.1999. Deconstructing Disney. London: Pluto Press.
Canclini, Néstor Garcia.1995. Hybrid Culture: Strategy for Entering and Leaving Modernity (terj. Inggris Christoper L. Chiappari & Silvia L. Lopez). Minneapolis: University og Minnesota Press.
Célestin, Roger.1996. From Cannibals to Radicals: Figures and Limits of Exoticism. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Chapman, James.2003. Cinemas of the World: Film and Society from 1895 to the Present. London: Reaktion Books.
Clarke, Simon.2005. “The Neoliberal Theory of Society”, dalam Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds). Neoliberalism: Critical Reader. London: Pluto Press.
Clothier, Ian M. “Hybridity and Creativity”, dalam Aotearoa Ethnic Network Journal, Vol. 1, Issue 2, November, 2006.
Comaroff, John L. & Jean Comaroff.2006. Ethnicity Inc. Chicago: The University of Chicago Press.
Cooke, Paul.2007. “Introduction: World Cinema’s ‘Dialogues’ with Hollywood”, dalam Paul Cooke (ed). World Cinema’s ‘Dialogues’ with Hollywood. London: Palgrave Macmillan.
Danaher, Geoff, Tony Schirato, & Jen Webb.2000. Understanding Foucault. New South Wales: Allen & Unwin.
Dirlik, Arif.2002. “Bringing History Back In: Of Diasporas, Hybridities, Places, and Histories”, dalam Elisabeth Mudimbe-Boyi (ed). Beyond Dichotomies: Histories, Identities, Cultures, and the Challenge of Globalization. New York: State University of New York Press.
Edensor, Tim.2002. National Identity, Popular Culture and, Everyday Life. Oxford: Bergh Publisher.
Edwards, Sebastian, “Capital Mobility, Capital Controls, and Globalization in the Twenty-first Century”, dalam The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, January 2002.
Einstein, Mara.2008. Brands of Faith: Marketing religion in a commercial age. London: Routledge.
Everling, Clark.1997. Social Economy: The logic of capitalist development. London: Routledge.
Fanon, Franz.2008. Black Skin White Mask (Englis trans. Charles Lam Markmann). London: Pluto Press.
__________.1995. “National Culture”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, & Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Featherstone.2007. Consumer Culture and Postmodernism, 2nd Edition. London: Sage Publications.
Fiske, John.2002. Television Culture. London: Routledge.
Fulton, Helen.2005. “Introduction: the power of narrative”, dalam Helen Fulton, Rosemary Huisman, Julian Murphet, & Anne Dunn (eds). Narratives and Media. Cambridge: Cambridge University Press.
Gandhi, Leela.1998. Postcolonial Theory: A Critical Introduction. New South Wales: Allen & Unwin Publishing.
Garnham, Nicholas.2006. “Contribution to a Political Economy of Mass-Communication”, dalam Meenakshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner (eds). Media and Cultural Studies Keyworks. Victoria: Blackwell Publishing.
_________________.1997. “On the Cultural Industries”, dalam Paul Marris & Sue Torham (eds). Media Studies: A Reader. Edinburg: Edinburg University Press.
Gills, Barry K. “Democratizing Globalization and Globalizing Democracy”, dalam ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, Maret 2002.
Giulianotti, Richard & Roland Robertson, “Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America”, dalam Jurnal Sociology, Vol. 41, No. 1, 2007.
Glynn, Kevin & A.F. Tyson, “Indigeneity, media and cultural globalization: The Case of Mataku, or the Maori X-Files”, dalam Jurnal International Journal of Cultural Studies Vol. 10 (2), 2007.
Gramsci, Antonio.1981. “Class, Culture, and Hegemony”, dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Hall, Stuart.1997a. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall. Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.
__________.1997b. “The problem of ideology, Marxism without guarantees”, dalam David Morley and Kuan-Hsing Chen. Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.
___________.1997c. “Gramsci’s relevance for the study of race and ethnicity”, dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen (eds). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.
__________.2000. “The Local and the Global: Globalization and Ethnicity”, dalam Anthony D. King (ed). Culture, Globalization, and the World-System: Contemporary Condition for the Representation of Identity. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Hannerz, Ulf.2000. “Scenarios for Peripheral Cultures”, dalam Anthony D. King. Culture, Globalization, and The World-System: Contemporary Conditions for the Representation of Identity. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Harbord, Jane.2002. Film Cultures. London: Sage Publications.
Harper, Phillip Brian.1994. Framing the Margins: The Social Logic of Postmodern Cultuere. New York: Oxford University Press.
Harvey, David.2007. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press.
Hayward, Susan.2000. “Genre/Subgenre”, dalam Cinema Studies: Key Concepts. London: Routledge.
Heck, Marina Camargo.1980/2005. “The ideological dimension of media messages”, dalam Hall, Stuart, Hobson, D., Andrew, L. & Paul Willis (eds). Culture, Media, and Language: Selected Working Papers in Cultural Studies, 1972-79. London: Routledge in sssociation with Center for Contemporary Cultural Studies Birmingham.
Hesmondhalgh, David.2007. The Cultural Industries, 2nd Edition. London: Sage Publications.
Hindess, Barry.2005. “Citizenship and Empire”, dalam Thomas Blom Hansen & Finn Stepputat (eds). Sovereign Bodies: Citizens, Migrants, and States in the Postcolonial World. Princeton: Princeton University Press.
___________.2004. “Liberalism – what’s in a name?”, dalam Wendy Larner & William Walters (eds). Global governmentality: Governing international spaces. London: Routledge.
Hogan, Patrick Colam.2004. Empire and Poetic Voice: Cognitive and Cultural Studies of Literary Tradition and Colonialism. New York: State University of New York Press.
Hoogvelt, Ankie.2001. Globalization and the Postcolonial World: The New Political Economy of Development 2nd Edition. Hampshire: Palgrave.
Huddart, David.2007. “Hybridity and Cultural Rights: Inventing Global Citizenship”, dalam Joel Kuortti and Jopi Nyman (eds). Reconstructing Hybridity: Post-Colonial Studies in Transition. Amsterdam: Rodopi.
Huggan, Graham.2001. The Postcolonial Exotic. London: Routledge.
Hutcheon, Linda.1989. The Politics of Postmodernism. London: Routledge.
Jackson, Peter. “Commercial cultures: Transcending the cultural and the economic”, dalam Jurnal Progress in Human Geography Vol. 26, No. 1, 2002.
Kachru, Braj B.1995. “The Alchemy of English”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, & Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Kalra, Virinder S., Raminder Kaur, & John Hutnyk.2005. Diaspora & Hybridity. London: Sage Publications.
Kapoor, Ilan.2008. The Postcolonial Politics of Development. London: Routledge.
Kellner, Douglas M. 2003. Media Spectacle. London: Routledge.
_______________.1995. Media Culture: Cultural studies, identity and politics between the modern and the posmodern. London: Routledge.
Kien, Grant, “Culture, State, Globalization: The Articulation of Global Capitalism”, dalam Journal Cultural Studies <-> Critical Methodologies, Vol. 4, No. 4, 2004.
Kwok-bun, Chan.2007. “Introduction: Globalization, Localization and Hybridization: Their Impact on Our Lives”, dalam Chan Kwok-bun, Jan W. Walls & David Hayward. (eds). East-West Identities: Globalization, Localization, and Hybridization. Leiden: Koninklijke Brill NV.
Kraidy, Marwan M.2005. Hybridity, or the Cultural Logic of Globalization. Philadelphia: Temple University Press.
Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Lapavitsas, Costas.2005. “Mainstream Economics in the Neoliberal Era”, dalam Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds). Neoliberalism: Critical Reader. London: Pluto Press.
Lebowitz, Michael.2002. “Karl Marx: The Needs of Capital vs. The Needs of Human Beings”, dalam Douglas Dowd (ed). Understanding Capitalism: from Karl Marx to Amartya Sen. London: Pluto Press.
Leslie, Esther.2005. “Adorno, Benjamin, Brecht and Film”, dalam Mike Wayne (ed). Understanding Film: Marxist Perspective. London: Pluto Press.
Lidchi, Henrietta.1997. “The Poetics and The Politics of Exhibiting Other Culture”, dalam Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.
Lombard, Denys.2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (alih bahasa Winarsih P.A., dkk.). Jakarta: Penerbit Gramedia.
Loomba, Ani.2000. Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge.
Louw, Eric.2001. Media and Cultural Production. London: Sage Publications.
Lyotard, Jean-François.1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Malpas, Simon.2005. The Postmodern. London: Routledge.
Marx, Karl.1992. The Capital: A Critique of Political Econnomy Volume 2 (English trans. David Fernbach). London: Penguin Books in association with New Left Review.
________.1991. The Capital: A Critique of Political Econnomy Volume 3 ((English trans. David Fernbach). London: Penguin Books in association with New Left Review.
Maxwell, Richard.2001. “Why Culture Works”, dalam Richard Maxwell (ed). Culture Works: The Political Economy of Culture. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Mazumdar, Ranjani.2007. Bombay Cinema: An Archive of the City. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Mbembe, Achille.2001. On Postcolony. Berkeley: University of California Press.
McGuigan, Jim.1996. Culture and Public Sphere.London: Routledge.
McMillin, Divya. “Localizing the global: Television and hybrid programming in India”, dalam International Journal of Cultural Studies, Vol. 4 (1), 2001.
Mennel, Barbara.2008. City and Cinema. London: Routldege.
Mrazek, Rudolf.2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Neupert, Richard.2006. “The French New Wave”, dalam Linda Badley, R. Barton Palmer & Steven Jay Schneider (eds). Traditions in World Cinema. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Palmer, R. Barton.2006. “The British New Wave”, dalam Linda Badley, R. Barton Palmer & Steven Jay Schneider (eds). Traditions in World Cinema. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Pennycook, Alastair.1998. English and The Discourses of Colonialism. London: Routledge.
Pieterse, Jan Neverdeen.2004. Globalization or Empire? New York: Routledge.
Pieterse, Jan Neverdeen. “Hybridity, So What? The Anti-hybridity Backlash and The Riddles of Recognition”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol 18 (2-3), 2001.
Postman, Neil.1993. Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. New York: Vintage Books.
Quayson, Ato.2005. “Postcolonialism and Postmodernism”, dalam Henry Schwarz & Sangeeta Ray (eds). A Companion to Postcolonial Studies. Malden (USA): Blackwell Publising.
___________.2000. Postcolonialism: Theory, Practice or Process?. London: Polity Press.
Said, Edward W.1978/2003. Orientalism: Western Conceptions of the Orient. London: Penguin Books.
_____________.1994. Culture and Imperialism. New York: Vintage Books.
Schuerkens, Ulrike, “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and Localization”, dalam Jurnal Current Sociology, Vol. 5, No. 3/4, 2003.
Sears, Lauire J.2005. “Intellectuals, Theosophy, an Failed Narratives of the Nation in Late Colonial Java”, dalam Henry Schwarz & Sangeeta Ray (eds). A Companion to Postcolonial Studies. Malden (USA): Blackwell Publising.
Sen, Khrisna & David T. Hill.2000. Media, Culture, and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
Shim, Doobo, “Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia”, dalam Jurnal Media, Culture, & Society, Vol. 28 (1), 2006.
Slack, Jennifer Daryl.1997. “The theory and method of articulation in cultural studies”, dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen (eds). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.
Slemon, Stephen.1995. “The Scramble for Postcolonialism”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, & Helen Tiffin (eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Sparks, Collin, “What’s wrong with globalization?”, dalam Jurnal Global, Media, and Communication, Vol. 3, No. 2, 2007.
Stallings, Barbara, “The Globalization of Capital Flows: Who Benefits?”, dalam Jurnal The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, Maret 2007.
Steger, Manfred B.2006. Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar (trans. Heru Prasetya). Yogyakarta: Iafadl.
Strinati, Dominic.2004. “Chapter II, The Frankfurt School and culture industry”, dalam An Introduction to Theories of Popular Culture, 2nd Edition. London: Routledge.
Telotte, J.P.2006. “German Expressionism”, dalam Linda Badley, R. Barton Palmer & Steven Jay Schneider (eds). Traditions in World Cinema. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Tomlinson, John.2007. The Culture of Speed, The Coming of Immediacy. London: Sage Publications.
van Loon, Joost.2008. Media Technology: Critical Perspective. Bekshire: McGraw-Hill & Open University Press.
Venn, Couze.2006. The Postcolonial Challenge: Toward Alternatif Worlds. London: Sage Publications.
Wang, Georgette & Emilie Yueh-yu Yeh.2007. “Globalization and Hybridization in Cultural Production: A Tale of Two Films”, dalam Chan Kwok-bun, Jan W. Walls & David Hayward. (eds). East-West Identities: Globalization, Localization, and Hybridization. Leiden: Koninklijke Brill NV.
Wayne, Mike.2001. “Third Cinema as Critical Practice: A Case Study of The Battle of Algiers”, dalam Political Film: The Dialectics of Third Cinema. London: Pluto Press.
Weaver-Hightower, Rebecca.2007. Empire Islands: Castaways, Cannibals, and Fantasies of Conquest. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Williams, Raymond.2006. “Base/Superstructure in Marxist Cultural Theory”, dalam Meenakshi Gigi & Douglas M. Kellner (eds). Media and Cultural Studies KeyWorks. Victoria: Blackwell Publishing.
Wise, J. Macgregor.2008. Cultural Globalization: A User’s Guide. Victoria: Blackwell Publishing.
Witkin, Robert W.2003. Adorno and Popular Culture. London: Routledge.
Wood, Ellen Meiksins.2002. The Origin of Capitalism: A Longer View. London: Verso.
Wright, Hess Judith.2003. “Genre Films and the Status Quo”, dalam Barry Keith Grant (ed). Film Genre Reader III. Austin: University of Texas Press.
Young, Robert, J.1995. Colonial Desire: Hybridity, culture, and race. London: Routledge.
Yearwood, Gladstone L., “Cultural Development and Third World Cinema”, dalam Jurnal International Communication Gazette, Vol. 39, 1987.
Youngs, Gillian.1997. “Culture and the technological imperative: missing dimensions”, dalam Michael Talalay, Chris Farrands & Roger Tooze (eds). Technology, Culture and Competitiveness: Change and the World Political Economy. London: Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H