Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film bergenre drama remaja/kaum muda Indonesia pada era 2000-an, misalnya, banyak mengkomodifikasi tema naratif tentang perayaan subkultur kaum muda yang mengekspresikan problematika cinta yang juga merepresentasikan metropolitanisme sebagai salah satu penanda dari kehadiran budaya pascakolonial-neoliberal. 

Dalam film Ada Apa Dengan Cinta (2001) dan Eiffel I’m in Love (2003), misalnya, metropolitanisme yang disuguhkan mewujud sebagai mall, plasa, restoran, rumah mewah/apartemen, mobil, dan fasilitas-fasilitas mewah lainnya, sebagai setting berlangsungnya adegan-adegan naratif. 

Bermacam problematika dan konflik yang dihadapi para tokoh di dalam kedua film tersebut, bisa mereka selesaikan sendiri dalam ruang-ruang negosiasi yang disediakan kota dan budaya metropolitannya, sembari menggusur peran keluarga sebagai institusi integrasi sosial terkecil. 

Meskipun orang tua tetap dihadirkan dalam kedua film tersebut, tetapi kehadiran mereka sekedar pelengkap dari yang mengesankan adanya keluarga. Dengan kata lain, keluarga diartikulasikan dalam film hanya sebagai tempelan untuk menandakan bahwa institusi ini masih ada dalam jagat metropolitan. 

Pembatasan fungsi keluarga sebagai ruang penyelesaian permasalahan yang dihadapi kaum muda, paling tidak, menandakan usaha untuk mulai menggusur ikatan konsensual yang menjadi kekuatan lokal bangsa, meskipun pada masa Orde Baru pernah digunakan sebagai alat legitimasi rezim. 

Memang, dalam realitas kehidupan, keluarga masih sangat dominan sebagai institusi integrasi. Namun, hasrat untuk membebaskan diri kaum muda di metropolitan sebenarnya sangat kuat. Perilaku seks bebas, tawuran antarpelajar/mahasiswa, dan penggunaan narkoba menjadi permasalahan sosial yang memprihatikan akibat semakin longgarnya peran institusi keluarga dan digantikan oleh institusi yang terlahir dari modernitas budaya kota. 

Mall, plasa, maupun restoran mewah memberikan mampu memberikan mereka kenyamanan, tanpa harus diganggu oleh kekangan-kekangan orang tua. Dengan model narasi tersebut, neoliberalisme yang memberikan rayuan pembebasan dan kebebasan berdasarkan hukum pasar hadir tidak secara kaku, tetapi melalui narasi yang menyentuh langsung persoalan dan hasrat kaum muda di perkotaan. 

Contoh sederhana tersebut menunjukkan bahwa di samping sebagai alat untuk mendatangkan keuntungan finasial bagi pemodal, genre drama remaja telah menjadi situs untuk terus menyemaikan kepentingan ideologis neoliberalisme melalui proses kultural bernama narasi film guna melakukan proses hegemoni.

Meskipun terdapat usaha untuk menciptakan kuasa-hegemonik budaya poskolonial-neoliberal melalui film, pada era 2000-an juga muncul para pemodal dan sineas yang berusaha menggunakan hibriditas kultural sebagai inspirasi untuk mengkritisi atau meresistensi kuasa tersebut. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai paradigma kritis sebagai akibat persinggungan mereka dengan pengetahuan-pengetahuan lokal, misalnya, yang sebenarnya bisa dimaksimalkan untuk menjaga karakteristik bangsa. 

Dengan kata lain, mereka telah menjadi "subjek etik" (Danaher, Scrito, & Webb, 2000: 128-130; Barker & Galasiñski, 2001: 45) yang sadar tidak mungkin menolak film-film bergenre populer dan menggunakannya sebagai situs untuk mendapatkan keuntungan finansial sekaligus menyampaikan cara pandang alternatif dalam memaknai kecenderungan neoliberal dalam kehidupan masyarakat.

Film dalam model ini biasa disebut Sinema Ketiga (Third Cinema), sebuah konsep sinema alternatif yang bisa saja meminjam sebagian teknik produksi dan narasi dari “Sinema Pertama” (First Cinema) yang semata-mata berorientasi komersil dan “Sinema Kedua” (Second Cinema) yang semata-mata berorientasi pada capaian seni untuk kemudian menggunakannya sebagai alat penggerak semangat revolusioner guna melawan kontradiksi dan permasalahan sosial yang dihasilkan dari praktik kapitalisme ataupun hegemoni dari kekuatan dominan (Wayne, 2001).

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun