Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rusofobia, Melanggengkan Ketakutan dan Kebencian Barat terhadap Rusia

22 Maret 2022   20:58 Diperbarui: 23 Maret 2022   08:56 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, dalam hal sistem politik, para penggaung Rusofobia selalu menampilkan Rusia sebagai kekuatan otokratik yang meremehkan hak-hak warga negara dan sebaliknya memusatkan sumberdaya ekonomi dan militer di tangan negara. 

Dalam pemahaman mereka, sistem politik tersebut tidak banyak berubah apakah itu di era Tsar, Soviet, atau pasca-Soviet. Ketiga, terkait kebijakan luar negeri, para pendukung Rusofobia, dalam semua keadaan, curiga terhadap kebijakan internasional Rusia, terutama setiap upaya untuk membangun kembali hubungan dengan negara-negara Barat.

Pendukung Rusofobia selalu memosisikan tindakan yang dilakukan oleh Rusia sebagai cerminan naluri ekspansionis secara kultural, bukan melindungi kepentingan nasional secara sah. Maka, secara politis, Rusia telah, sedang, dan akan tetap menjadi kekaisaran otokratik dan anti-Barat jika Barat tidak melakukan apa-apa. Dalam perspektif demikian, menghadapi Rusia adalah keharusan.   

Menjadi wajar kiranya, meskipun Perang Dingin sudah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, kecurigaan terhadap tindak-tanduk pemerintah Rusia selalu hadir dalam pikiran dan, bahkan, imajinasi elit Barat. Terlebih lagi ketika Vladimir Putin berkuasa dan menunjukkan tindakan yang berseberangan dengan kehendak AS dan NATO. 

Rusia, misalnya, menolak untuk mendukung invansi terang-terangan AS dan sekutunya ke Irak. Bagi Rusia, invansi tersebut tidak bisa dibenarkan karena Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal dan mereka memiliki pemerintahan berdaulat. Rusia juga membantu Syuriah memerangi gerombolan teroris yang dulunya dibentuk AS dan ingin menggulingkan Presiden Assad. 

Dalam kacamata politik luar negeri, apa yang dilakukan pemerintah Rusia jelas bukan kesalahan karena mereka menghormati pemerintahan yang sah di Irak dan Suriah. Lebih dari pada itu, tindakan militer AS dan sekutu yang beralasan menjaga kebebasan dari ancaman terorisme dan senjata pemusnah massal terlalu dibuat-buat. Namun, tindakan itu pula yang menjadikan pemerintah AS dan sekutunya semakin marah karena menganggap Rusia memiliki agenda politik yang bisa mengancam setiap saat.

Momentum ketika Krimea menyatakan merdeka dari Ukraina dan sesudahnya bergabung dengan Rusia pada Maret 2014, menjadikan negara-negara Barat semakin mencurigai Rusia memiliki agenda besar untuk melakukan ekspansi. Padahal secara historis Krimea memang merupakan bagian Kekaisaran Rusia yang pada masa Uni Soviet ditransfer sebagai wilayah Ukraina dengan status Republik Otonom. 

Kalaupun mereka bergabung kembali ke Federasi Rusia, sudah melalui proses referendum yang oleh AS, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang dinyatakan ilegal. Pernyataan politik tersebut juga tampak aneh, karena mereka menuduh ada tindakan yang tidak demokratis. 

Padahal, sistem demokrasi yang dipakai Barat dan negara-negara sekutunya di Eropa Barat dan wilayah lain juga belum bisa menjamin kesetaraan antarumat manusia. AS dan sekutunya, misalnya, melakukan operasi militer dengan prinsip negara-negara non-Barat yang berpotensi mengganggu mereka sangat berbahaya.

Operasi Militer Khusus yang dilancarkan oleh Rusia ke Ukraina menjadi energi besar bagi AS dan sekutunya untuk mengutuk Rusia dan Putin dengan mengabaikan bahwa permasalahan itu tidak bisa dilepaskan dari provokasi mereka di negara tersebut.

Revolusi masyarakat di wilayah Donbass yang ingin memisahkan diri dari Ukraina dan mendeklarasikan Republik Donetsk dan Luhansk menjadikan AS dan NATO semakin gerah dengan gelagat Rusia untuk memperluas wilayahnya. Apa yang tidak pernah diungkapkan secara glambang oleh media arus utama yang sepemikiran dengan elit politik mereka adalah bahwa rakyat di wilayah tersebut mengekspresikan pilihan politik mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun