Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rusofobia, Melanggengkan Ketakutan dan Kebencian Barat terhadap Rusia

22 Maret 2022   20:58 Diperbarui: 23 Maret 2022   08:56 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) tersenyum saat menjabat tangan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam pertemuan bilateral perdana di Villa la Grange, Jenewa, Swiss, pada 16 Juni 2021.  Dok. AFP PHOTO/SPUTNIK/MIKHAIL METZEL via Kompas.com

Kalau kita menyimak pernyataan para elit Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya yang disiarkan banyak media arus utama, terdapat keseragaman untuk mengutuk secara membabi-buta tindakan Putin dan pemerintah Rusia dalam perang di Ukraina. Mayoritas mereka menempatkan Rusia sebagai pihak yang harus disalahkan. 

Padahal, secara gamblang, Ukraina, AS dan NATO berperan menciptakan prakondisi untuk memancing kemarahan Rusia yang memicu dilaksanakannya operasi militer khusus. AS, misalnya, memberikan bantuan militer secara besar-besaran untuk Ukraina. Sementara, Ukraina berkeinginan untuk menjadi anggota NATO yang memungkinkan adanya pangkalan militer di perbatasan dengan Rusia.    

Kalau kita perhatikan lagi, pola tersebut serupa dengan provokasi dan tuduhan yang dilakukan Barat dalam menanggapi eksalasi politik yang melibatkan Rusia dan Ukraina pada tahun 2014. Rumus yang dipakai elit politik dan media Barat adalah bahwa semua yang terjadi di Ukraina adalah kesalahan Moskowa. 

'Aneksasi' Krimea, kecelakaan pesawat MH17, dan pemberontakan Donbass, semua diarahkan kepada nyala api yang dimainkan Rusia. Dengan sudut pandang ini, AS dan Uni Eropa tidak merasa bersalah dengan semua yang terjadi, demikian pula dengan para nasionalis Ukraina yang mencoba untuk memadamkan api.

Maka, menjadi bisa dipahami kalau sebagian besar elit AS dan sekutunya menempatkan Rusia sebagai pihak yang bersalah dalam perang di Ukraina. Demikian pula media yang bersepakat dengan rumus "Rusia salah" pasti akan memberikan berita yang mayoritas berpihak kepada Ukraina, meskipun terkadang harus dengan mengabarkan berita palsu dan melakukan propaganda. 

Mereka mendapatkan kesempatan emas untuk mengkonstruksi beragam wacana terkait Rusia yang menakutkan, mengancam, dan menghancurkan negara-negara tetangganya, meskipun Perang Dingin sudah berakhir. Dengan kata lain, kita bisa melihat rasa takut sekaligus kebencian dan ketidaksukaan terhadap sepak terjang pemerintah Rusia di bawah kepemimpinan Putin.

MEMAKNAI RUSOFOBIA DALAM KONTEKS POLITIK

Realitas ketakukan dan kebencian itulah yang dinamakan Rusofobia (Russophobia). Andrei Tsygankov, profesor di Jurusan Ilmu Politik dan Hubungan Internasional San Francisco State University dalam bukunya Russophobia: Anti-Russian Lobby and American Foreign Policy (2009) mendefinisikan Rusofobia sebagai "ketakutan berlebihan terhadap sistem politik Rusia yang dipandang tidak sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai Barat pada umumnya dan AS pada khususnya".  

Ketakutan tersebut mewujud dalam ragam bentuk kritik dan tuduhan terhadap Rusia yang tidak seimbang dan terdistorsi. Tidak hanya berhenti di situ, ketakutan dan kebencian juga berdampak kepada kebijakan luar negeri AS dan sekutunya terhadap Rusia. 

Setidaknya, terdapat tiga mitos yang dikembangkan oleh Barat terkait Rusofobia, yakni kebangsaan, sistem politik, dan kebijakan luar negeri. Masing-masing aspek tersebut mendapatkan penggambaran stereotip yang terus diproduksi dan direproduksi dalam banyak pernyataan publik dan kebijakan Barat.

Pertama, dalam hal kebangsaan, Rusia digambarkan sebagai kekaisaran atau kekuasaan besar yang selalu menindas banyak bangsa. Mereka digambarkan selalu melakukann ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaan. 

Kedua, dalam hal sistem politik, para penggaung Rusofobia selalu menampilkan Rusia sebagai kekuatan otokratik yang meremehkan hak-hak warga negara dan sebaliknya memusatkan sumberdaya ekonomi dan militer di tangan negara. 

Dalam pemahaman mereka, sistem politik tersebut tidak banyak berubah apakah itu di era Tsar, Soviet, atau pasca-Soviet. Ketiga, terkait kebijakan luar negeri, para pendukung Rusofobia, dalam semua keadaan, curiga terhadap kebijakan internasional Rusia, terutama setiap upaya untuk membangun kembali hubungan dengan negara-negara Barat.

Pendukung Rusofobia selalu memosisikan tindakan yang dilakukan oleh Rusia sebagai cerminan naluri ekspansionis secara kultural, bukan melindungi kepentingan nasional secara sah. Maka, secara politis, Rusia telah, sedang, dan akan tetap menjadi kekaisaran otokratik dan anti-Barat jika Barat tidak melakukan apa-apa. Dalam perspektif demikian, menghadapi Rusia adalah keharusan.   

Menjadi wajar kiranya, meskipun Perang Dingin sudah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, kecurigaan terhadap tindak-tanduk pemerintah Rusia selalu hadir dalam pikiran dan, bahkan, imajinasi elit Barat. Terlebih lagi ketika Vladimir Putin berkuasa dan menunjukkan tindakan yang berseberangan dengan kehendak AS dan NATO. 

Rusia, misalnya, menolak untuk mendukung invansi terang-terangan AS dan sekutunya ke Irak. Bagi Rusia, invansi tersebut tidak bisa dibenarkan karena Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal dan mereka memiliki pemerintahan berdaulat. Rusia juga membantu Syuriah memerangi gerombolan teroris yang dulunya dibentuk AS dan ingin menggulingkan Presiden Assad. 

Dalam kacamata politik luar negeri, apa yang dilakukan pemerintah Rusia jelas bukan kesalahan karena mereka menghormati pemerintahan yang sah di Irak dan Suriah. Lebih dari pada itu, tindakan militer AS dan sekutu yang beralasan menjaga kebebasan dari ancaman terorisme dan senjata pemusnah massal terlalu dibuat-buat. Namun, tindakan itu pula yang menjadikan pemerintah AS dan sekutunya semakin marah karena menganggap Rusia memiliki agenda politik yang bisa mengancam setiap saat.

Momentum ketika Krimea menyatakan merdeka dari Ukraina dan sesudahnya bergabung dengan Rusia pada Maret 2014, menjadikan negara-negara Barat semakin mencurigai Rusia memiliki agenda besar untuk melakukan ekspansi. Padahal secara historis Krimea memang merupakan bagian Kekaisaran Rusia yang pada masa Uni Soviet ditransfer sebagai wilayah Ukraina dengan status Republik Otonom. 

Kalaupun mereka bergabung kembali ke Federasi Rusia, sudah melalui proses referendum yang oleh AS, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang dinyatakan ilegal. Pernyataan politik tersebut juga tampak aneh, karena mereka menuduh ada tindakan yang tidak demokratis. 

Padahal, sistem demokrasi yang dipakai Barat dan negara-negara sekutunya di Eropa Barat dan wilayah lain juga belum bisa menjamin kesetaraan antarumat manusia. AS dan sekutunya, misalnya, melakukan operasi militer dengan prinsip negara-negara non-Barat yang berpotensi mengganggu mereka sangat berbahaya.

Operasi Militer Khusus yang dilancarkan oleh Rusia ke Ukraina menjadi energi besar bagi AS dan sekutunya untuk mengutuk Rusia dan Putin dengan mengabaikan bahwa permasalahan itu tidak bisa dilepaskan dari provokasi mereka di negara tersebut.

Revolusi masyarakat di wilayah Donbass yang ingin memisahkan diri dari Ukraina dan mendeklarasikan Republik Donetsk dan Luhansk menjadikan AS dan NATO semakin gerah dengan gelagat Rusia untuk memperluas wilayahnya. Apa yang tidak pernah diungkapkan secara glambang oleh media arus utama yang sepemikiran dengan elit politik mereka adalah bahwa rakyat di wilayah tersebut mengekspresikan pilihan politik mereka. 

Selain itu, pemboman penduduk sipil oleh tentara Ukraina yang melanggar konvensi Jenewa juga tidak diekspos secara jelas oleh elit politik dan media Barat. Alih-alih, mereka mendukung tindakan Ukraina sebagai upaya memadamkan pemberontakan. Inilah bukti betapa hipokritnya para elit AS dan sekutunya.

MELANGGENGKAN RUSOFOBIA DALAM BERAGAM WACANA

Kalau kita telusuri rujukan yang ditulis para pakar, kita akan menjumpai bahwa Rusofobia bukanlah realitas dan praktik yang baru berusia puluhan tahun. Alih-alih, Rusofobia secara genealogis sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. 

Guy Mettan, jurnalis senior Swiss,  dalam bukunya Russophobia: From the Great Religious Schism to Anti-Putin Hysteria (2017), secara jeli mengidentifikasi sejarah panjang Rusofobia yang melibatkan bermacam faktor, dari agama, budaya, masyarakat, bangsa, hingga politik kontemporer. Ia juga mengidentifikasi bagaimana masyarakat Perancis, Jerman, Inggris dan AS melestarikan Rusofobia dalam konteks nasional dan persekutuan mereka.

Menurut Mettan, Rusofobia sudah berlangsung lama, setidaknya sejak abad ke-15 dan ke-16 ketika banyak para pelancong gagal memahami masyarakat dan budaya Rusia yang seringkali dikaitkan dengan kebiadaban karena wilayahnya yang begitu luas, liar, dingin, dan tandus. Pandangan klise tersebut tanpa lelah diulangi oleh banyak elit politik, intelektual, dan jurnalis Barat hingga abad ke-21 ini.  

Salah satu yang sangat stereotip tentang bangsa Rusia adalah mereka pada dasarnya kejam dan brutal karena mereka membantai, mendeportasi atau menyiksa minoritas etnis dan pemeluk agama, seperti yang mereka lakukan selama dua perang Chechnya terakhir, meskipun negara tersebut akhirnya memutuskan menjadi bagian Federasi Rusia. Naluri ekspansionis nan brutal digambarkan sebagai karakteristik bangsa Rusia dari masa ke masa.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa Rusia, sepertihalnya semua negara lain, akan melakukan tindakan militer ketika merasa terancam. Ironisnya, banyak pemerintah di negara-negara Barat dan media arus utama mengabaikan tindakan kejam yang mereka lakukan di wilayah berdaulat seperti Somalia, Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan negara lain dalam seperempat abad terakhir. 

Belum lagi kalau kita bicara korban akibat perbudakan dan kolonialisme yang dilakukan bangsa-bangsa Barat seperti Inggris, Perancis, Belgia, Belanda di wilayah jajahannya, termasuk tindakan pembunnuhan warga Indian oleh pemerintah AS.

Bukankah semua kekejaman itu sungguh mengerikan karena menyebabkan tragedi kemanusiaan dan kebudayaan yang luar biasa? Bukankah semua tindakan AS dan negara-negara Barat di wilayah itu penuh dengan tindakan politik yang hanya berdasarkan pertimbangan dan kepentingan mereka? 

Itulah hipokrisi banyak negara dan media Barat ketika membicarakan Rusia: hening ketika harus membicarakan tragedi yang memekakkan telinga, tetapi melolong seperti sirine ketika membicarakan Rusia. Namun, itu semua memang harus dilakukan agar AS dan NATO tetap memiliki musuh bersama yang menjadi tumpahan dan pengalihan atas dosa besar mereka terhadap bangsa lain, apapun alasannya.

Contoh wacana ketakutan dan kebencian yang dikembangkan sebelum terjadinya perang Rusia-Ukraina, sebagaimana diungkapkan Tsygankov, adalah pernyataan seorang sejawaran AS kelahiran Polandia Richard Pipes secara gamblang menyatakan bahwa bagi Eropa, Rusia bisa lebih berbahaya dibandingkan ancaman Islam dan bin Laden. 

Baginya, meskipun sudah meninggalkan ideologi komunis pasca runtuhnya Uni Soviet, Rusia berusaha untuk menghidupkan kembali status kekuatan besarnya dengan cara-cara baru dan karena itu tetap sama berbahayanya. Pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan para elit dari negara-negara eks Uni Soviet. 

Mantan Duta Besar Estonia untuk Rusia, Mart Helme, menyebut Rusia "monster yang tengah tumbuh yang tidak pernah dilihat oleh masyarakat dunia sebelumnya". Ia menambahkan, setelah Piplres 2008, Rusia akan berubah menjadi rezim teroris di dunia dan eksportir terorisme setelah Hamas dan Al-Qaeda.

Ucapan Pipes memang didasarkan pada anggapan bagaimana kebijakan politik Rusia mengancam keamanan dan kedaulatan negara-negara Eropa. 

Pembandingan dengan ancaman Islam dan bin Laden menunjukkan bahwa Pipes masih menggunakan bingkai "benturan peradaban" yang memosisikan kelompok non-Barat tetap sebagai rujukan untuk membincang kengerian yang mengancam masyarakat Barat. Kita bisa membaca pesan Pipes bahwa aspek bahaya dan ancaman yang bisa ditimbulkan oleh Putin dan Rusia tetaplah harus diwaspadai secara serius.

Apa yang cukup keterlaluan adalah ucapan Helme bahwa Rusia adalah "monster", "rezim teroris", dan "eksportir terorisme". Sebagai elit Eropa Timur, jelas ia ingin mengingatkan negara-negara di kawasan, negara-negara Barat, dan negara-negara di belahan dunia lainnya tentang begitu menakutkannya Rusia, terutama di bawa kepemimpinan Putin. 

Ironisnya, baik Pipes dan Helme, sama-sama memperhitungkan bagaimana kontribusi negara-negara Barat terhadap operasi militer sepihak yang meneror kehidupan masyarakat Timur Tengah. Termasuk kontribusi AS dan Inggris terhadap tragedi politik negara-negara Asia dan Amerika Latin di era Perang Dingin.  

Barrack Obama, mantan Presiden AS dari Partai Demokrat, lebih kasar lagi dalam melabeli Putin dan Rusia. Dalam memoar presidensialnya, Promised Land, yang terbit pada November 2020, Obama mengatakan presiden Rusia haus kekuasaan dan memanggilnya pemimpin pemerintahan yang menyerupai "sindikat kriminal". 

Putin mengingatkannya pada versi modern dari bos politik korup yang menjalankan kota-kota AS pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (https://www.rferl.org/a/obama-takes-aim-at-putin-in-new-memoir/30957813.html). Lebih jauh, Obama mengatakan bahwa para pemimpin itu menempatkan patronase dan penyuapan sebagai sesuatu yang sah. Dan, Putin membangun negara "untuk ditakuti, mungkin, tetapi tidak ditiru."

Kasarnya pernyataan Obama bisa jadi berdasarkan realitas bahwa Putin cukup lama bercokol di tampuk kepemimpinan Rusia, baik sebagai perdana menteri maupun presiden. Bagi Obama yang terbiasa dengan dua kali masa kepemimpinan presiden AS, apa yang dijalani Putin jelas bukan sesuatu yang ideal. 

Namun, hal itu tidak sepantasnya menjadi alasan  bagi Obama untuk melabeli Putin demikian. Toh, Putin dipilih oleh sebuah proses politik yang sah di Rusia. AS juga tidak pernah mempermasalahkan model kepemimpinan di negara-negara lain yang tidak sesuai dengan standar demokrasi Barat selagi tidak mengganggu kepentingan ekonomi dan politik mereka. 

Denga kata lain, Obama membangun argumen Rusofobia karena ia sendiri pada dasarnya takut kalau pengaruh Putin dan Rusia semakin kuat, terutama bagi pemerintah negara yang mengetahui kejahatan politik luar negeri AS dan negara-negara sedang berkembang yang membutuhkan kekuatan penyeimbang.

Dengan melabeli pemerintah Rusia sebagai "sindikat kriminal" di mana terjadi bermacam tindak kejahatan, penyuapan, dan ancaman terhadap warga negara, Obama menempatkan Rusia sebagai oposisi biner yang selalu dimunculkan dan dikonstruksi sebagai kekuatan jahat. 

Sementara, AS ditempatkan sebagai poros demokrasi yang memberikan kebebasan dan mengatur kehidupan bernegara secara benar. Tentu saja, dengan mudah kita menyangga bahwa praktik politik dan militer AS adalah contoh tindakan barbarik dalam demokrasi karena mereka menyerang negara-negara yang berdaulat penuh. 

Selain itu, ketidakadilan ekonomi dan rasial juga terus berlangsung di AS. Artinya, ketika mengkonstruksi Rusia sebagai "sindikat kriminal" sejatinya Obama menemukan sasaran tembak atas bermacam masalah yang ada di dalam negeri. Dengan menyudutkan Rusia dalam wacana publik, Obama sejatinya menemukan sasaran tepat untuk menutupi semua kesalahan dan kekejaman AS terhadap negara-negara lain.

Joe Biden, presiden AS saat ini, tidak mau kalah dari kolega separtainya. Menyaksikan realitas perang Rusia-Ukraina, ia segera melabeli Putin sebagai "penjahat perang" (https://www.aljazeera.com/news/2022/3/17/explainer-who-is-a-war-criminal). Alasan Biden, tentu saja, berdasarkan tindakan Rusia yang dikatakan sepihak dan ingin menguasai Ukraina serta dampak perang terhadap warga sipil. 

Banyak media Barat arus utama yang dengan cepat memobilisasi ucapan Biden tersebut. Sejalan dengan Biden, Senat AS juga memberikan label serupa dan membuat resolusi untuk mengeinvestigasi serangan Rusia ke Ukraina. 

Selain itu, pemimpin politik dari Eropa Barat, seperti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membuat label yang sama. Dikabarkan pula bahwa Mahkama Internasional juga tengah berusaha menyelidiki kemungkinan Putin sebagai penjahat perang, meskipun itu bukan persoalan mudah (https://www.abc.net.au/news/2022-03-17/vladimir-putin-russia-war-crime-investigation-ukraine/100915748). 

Istilah penjahat perang juga pernah diberikan kepada pemimpin Serbia yang terlibat pembantaian warga Bosnia, demikian juga elit-elit politik lain. Kita tentu sepakat untuk mengutuk segala bentuk peperangan yang mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat sipil. 

Namun, tuduhan terhadap Putin tersebut mengabaikan akar permasalahan dan juga peran AS dalam menciptakan ketegangan antara Rusia-Ukraina. Lebih dari itu, para elit Barat, termasuk Mahkamah Internasional, tidak pernah melabeli para pemimpin AS dan sekutunya yang mengirimkan pasukan dan membunuh banyak manusia di kawasan Timur Tengah. 

Jadi, menjadi sangat kentara tuduhan Biden dan Johnson terhadap Putin merupakan wujud ketidakadilan yang sebenarnya karena mereka selalu saja mengabaikan fakta kejahatan perang Barat. Meskipun selalu dibungkus dengan alasan untuk mengamankan kebebasan dan memerangi terorisme yang dikaitkan dengan warga Muslim, tindakan AS dan sekutunya di Timur Tengah semestinya juga dilabeli sebagai kejahatan perang dan para pemimpin yang terlibat di dalamnya adalah penjahat perang. 

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Biden dan para penggaung tuduhan "penjahat perang" untuk Putin secara sengaja mempertebal derajat Rusofobia warga Barat dengan argumen perang di Ukraina.

Tidak mau ketinggalan, para kolumnis yang membela kedaulatan Ukraina juga menggunakan formasi Rusofobia.  Jonathan Freedland, kolumnis The Guardian, dengan cukup tajam mengatakan bahwa "serangan Rusia kepada Ukraina lebih berbahaya dari serangan bom 9/11 New York." 

Ia mengingatkan bahwa serangan di New York dan Washington memunculkan seruan keras kepada dunia demokrasi untuk mempertahankan prinsip dasar kebebasan. Menanggapi ancaman yang diberikan Putin, seruan yang lebih keras dibutuhkan dampak serangan Rusia lebih berbahaya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para pembajak 9/11 ((https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/mar/11/vladimir-putin-war-ukraine-9-11-al-qaida-russia).  

Menurutnya, dengan menginvasi Ukraina, Putin melanggar konsep dasar kedaulatan dan penentuan nasib sendiri di mana negara-negara hidup berdampingan.  Apalagi serangan ini melibatkan kekuasaan negara. Putinisme memerintahkan persenjataan nuklir dan militer yang luas. 

Apa yang menarik adalah Freedland begitu yakin menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan AS dan sekutunya merupakan "perang melawan teror", khususnya terhadap organisasi dan negara yang dianggap berpotensi melancarkan teror.  Sementara, Putin maju diposisikan "secara perlahan mencekik demokrasi bayi Rusia di dalam negeri dan mengasah metodenya di luar negeri." 

Untuk memperkuat argumennya, ia memberi contoh "perampasan tanah" di Georgia pada 2008, "penyitaan" Krimea pada 2014, kehancuran yang tidak disengaja yang ditimbulkan di Suriah, yang dilakukan dengan cara pemukulan tanpa belas kasihan yang sama yang dia lakukan di Chechnya. Invasi Putin ke Ukraina tidak muncul begitu saja.

Mari kita telaah ucapan Freedland terkait perang melawan teror. Memang pasca serangan 9/11 dengan alasan memerangi teror AS dan sekutunya melakukan serangan ofensif ke negara-negara Timur Tengah. Tragisnya, ia menenmpatkan perang tersebut sebagai sesuatu yang normal karena dilegitimasi kepentingan dan keamanan AS dan sekutunya, termasuk Inggris, yang terancam, tanpa menghiraukan berapa nyawa manusia yang dibunuh oleh tentara Barat. 

Dengan mengabaikan tragedi kemanusiaan berupa pembunuhan terhadap manusia di Timur Tengah dan semata-mata mengingatkan ancamana Putinisme, Freedland secara sengaja mengkonstruksi Rusia sebagai kekuatan superjahat yang bisa melakukan tindakan keji dan biadab untuk Eropa dan dunia.

Yang lebih kentara lagi adalah bagaimana pernyataanya permasalahan di Georgia, Krimea, Checnya, dan Suriah secara sepihak, mengikuti logika stereotip elit pemerintahan Barat sembari mengabaikan temuan-temuan lain berbasis data di lapangan. Sejarah keterlibatan Rusia di negara-negara tersebut dianggap menjadi bukti historis bahwa tindakan Rusia di Ukraina merupakan keberlanjutan ekspansi dan ancaman. 

Freedland sengaja menutup mata atas bermacam penjelasan yang sudah banyak beredar terkait kasus di ketiga wilayah tersebut. Krimea, misalnya, memilih kembali ke Rusia melalui mekanisme politik yang sah. Namun, bagi Freedland, fakta tersebut perlu diabaikan karena ia memang ingin membuat fondasi historis atas serangan Rusia ke Ukraina.

HILANGNYA KESEIMBANGAN DAN MELUASNYA RUSOFOBIA

Menanggapi banyaknya jurnalis Barat yang menggunakan cara berpikir "Rusia pasti salah", Mettan mengajukan pertanyaan: "apakah kita seimbang ketika membicarakan Rusia?"

Melalui pertanyaan itu, Mettan  mengajak elit politik, intelektual, dan jurnalis Barat untuk bertanya kekpada diri mereka sendiri tanpa henti. Itu bukan dimaksudkan untuk memaafkan tindakan keji yang dilakukan Rusia, tetapi untuk mengontekstualisasikan tindakan Rusia terhadap tindakan Barat, bahwa Rusia sama seperti Barat, tidak lebih baik atau lebih buruk. 

Memang, kejahatan tidak dapat dibenarkan oleh kejahatan lain, tetapi untuk memahami dan mengingat kesalahan sendiri sebelum mengkritik pihak lain, tentu tidak ada salahnya.

Barat selalu memproyeksikan kekejiannya sendiri ke Rusia tanpa pernah mengakui atau mungkin bahkan tanpa menyadari bahwa masalah sebenarnya adalah bahwa Barat tidak pernah mempertanyakan tuduhan klise dan pembacaan bias terhadap Rusia. Akibat kurangnya keinginan untuk memahami, Barat "mengukur" Rusia dengan ukurannya sendiri.

Rusofobia menjadi cara berpikir dan jaringan analitis sekaligus memberikan informasi yang bisa diterima akademisi dan jurnalis yang sudah enggan memperdalam kebenarannya. Sungguh kita menanti adanya jurnalis dan peneliti Barat yang bekerja secara profesional dengan berusaha meniadakan celaan klise serta menggambarkan Rusia yang lebih jujur.  

Kenyataannya memang sangat sulit untuk melihat perkembangan positif terkait berkurangnya Rusofobia. Mengapa demikian? Karena Rusofobia bukan hanya perwujudan perasaan, tetapi juga berkaitan erat dengan relasi kuasa. Rusofobia bukan hanya penilaian pasif, bukan hanya kumpulan klise dan prasangka. 

Lebih dari itu, dalam banyak pernyataan elit politik, intelektual, dan jurnalis Barat, kita bisa menemukan bias bias aktif, diadopsi dengan maksud untuk menyakiti atau menunjukkan rendahnya kapasitas orang lain dibandingkan dengan diri sendiri. Itulah mengapa Rusofobia juga bisa dikatakan rasisme dengan tujuan untuk mengurangi yang lain dengan maksud untuk mendominasi dunia denga lebih mudah. 

Dan inilah yang membuat Rusofobia menjadi fenomena khusus di Barat. Rusofobia berlanjut dengan kategori yang sama yang diidentifikasi Edward Said sebagai orientalisme: perbedaan yang dibesar-besarkan, penegasan superioritas Barat dan penggunaan kisi-kisi analitis yang stereotip. 

Strategi utama dari wacana Rusofobiaadalah menyediakan subjek yang lengkap dan dapat disesuaikan tanpa batas, tampak canggih dan njlimet bagi akademisi yang bertugas membuat teori tentang Rusia, tetapi begitu populer di kalangan jurnalis yang ingin menempatkannya dalam jangkauan semua orang.

Rangkaian kritik Mettan di atas merupakan seruan kepada semua pihak agar memahami Rusia tidak dengan kerangka kebencian dan ketakutan. Memang, banyak tindakan Rusia dan Putin yang mengganggu keamanan dan kehidupan warga Ukraina. Namun ketika para elit politik, intelektual, dan jurnalis selalu menggunakan ukuran Barat dalam menilai Rusia, maka yang terakhir selalu muncul sebagai keburukan. 

Cara berpikir seperti itu juga mengabaikan dinamika temuan dan analisis kritis yang memberikan alternatif berpikir dan bertindak terkait perang Rusia-Ukraina. Kesadaran akan konteks dan kesepadanan kasus yang pernah dilakukan Barat terhadap negara-negara lain yang dianggap "bermasalah" padahal tidak demikian adanya, akan memperkaya informasi kritis yang bisa diterima warga masyarakat. 

Selain itu, dengan tidak mengabaikan kejahatan Barat yang juga menelan korban jiwa jutaan manusia, para jurnalis, elit politik dan intelektual memiliki kemampuan untuk mengakui kejahatan sehingga tanpa harus menemukan identitas hebat mereka dengan cara menempatkan Rusia sebagai sosok jahat di balik cermin.

Apa yang patut disayangkan adalah meluasnya Rusofobia yang memunculkan kebencian dan ketakutan terhadap warga, masyarakat, dan budaya Rusia. Implikasinya bisa sangat parah. Warga Rusia menjadi objek untuk diawasi ketika mereka berada di negara-negara di negara-negara yang menganggap tindakan agresif pemerintah Rusia terhadap negara-negara tetangga semestinya tidak boleh terjadi. 

Kasus Roman Abramovich yang dipaksa hengkang dari klub Chelsea menegaskan betapa Rusofobia berlangung dalam tubuh olahraga yang paling populer di planet ini. Ketakutan berlebihan dan kebencian yang dipelihara pemerintah Inggris terhadap Rusia memang dipicu oleh perang di Ukraina. Namun, menggunakan Rusofobia untuk membatasi aktivitas olahraga jelas merugikan para pemain dan offisial team yang harus memikirkan pendapatan dan biaya operasional klub.

Yang lebih mengerikan adalah ancaman FIFA yang akan mengeluarkan Rusia dari kontestan Piala Dunia 2022 Qatar. Alasan kemanusiaan untuk menjatuhkan sanksi terhadap sepakbola merupakan bentuk hipokrisi olahraga yang secara benderang dipertontonkan FIFA, karena terhadap Israel mereka tidak berani bersikap tegas.

Dampak sebaliknya dari terus berkembangnya Rusofobia adalah semakin menguatnya pula kebencian di kalangan elit Rusia terhadap negara-negara Barat. Kita bisa perhatikan pernyataan Putin dan elit politik Rusia dalam menghadapi kecaman dan tuduhan elit Barat terkait perang Rusia-Ukraina. Berulangkali mereka mengancam untuk melakukan tindakan yang akan membuat menyesal pemerintahan AS dan sekutu-sekutunya. 

Tentu saja Rusia bisa membuat kebijakan ekonomi, politik, dan militer yang bisa berdampak luas terhadap masyarakat dunia. Logikanya, ketika Rusofobia diperkuat dengan puluhan sanksi untuk Rusia menjadi wajar ketika Putin juga membuat kebijakan yang bisa berdampak serius terhadap masyarakat Eropa, AS, dan dunia. 

Dengan kata lain, sifat saling menempatkan diri sebagai pihak yang terancam sekaligus mengancam bisa jadi menutup kemungkinan penyelesaian yang lebih konstruktif dari perang Rusia-Ukraina. Dan, itu berarti akan memperburuk dampak kemanusian terhadap manusia, masyarakat, dan budaya. Masyarakat sipil yang semestinya bisa hidup dengan damai harus menghadapi ancaman kematian, penyakit, dan hilangnya kasih sayang antarmanusia.

RUJUKAN

Mettan, Guy . 2017. Russophobia: From the Great Religious Schism to Anti-Putin Hysteria. Atlanta: Clarity Press. 

Tsygankov, Andrei. P. 2009. Russophobia: Anti-Russian Lobby and American Foreign Policy. New York: Palgrave Macmillan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun