Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pengetahuan Ekologis Tradisional: Konsep Strategis, Masalah, dan Tantangan

8 Februari 2022   14:52 Diperbarui: 19 Februari 2022   13:54 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akar gantung. Dok. penulis

Pada era 1980-an, saya sering ikut bapak dan pakde ke sawah untuk menjaga kedelai, kacang tanah, atau jagung yang paginya hendak dipanen. Warga Lamongan menyebutnya "kemit". Tradisi ini dilakukan agar tanaman yang hendak dipanen tidak dicuri oleh orang lain dan tidak diganggu binatang seperti tikus. 

Biasanya, bapak dan pakde membawa tikar pandan untuk alas tidur. Tidak jarang pula mereka membakar singkong atau ketela rambat. Sambil menghangatkan tubuh di dekat perapian, mereka berdua bergantian bercerita tentang kebaikan Dewi Sri yang meskipun harus meninggal, tetapi memberikan bekal berupa tanaman pangan kepada para petani. 

Selain itu, mereka juga bertutur tentang rasi bintang yang menunjukkan musim kemarau dan penghujan. Yang tak ketinggalan adalah tanda-tanda alam ketika akan datang musim penghujan (rendeng) dan saat yang tepat untuk menanam padi serta ketika akan musim kemarau (ketigo). 

Dalam konteks masyarakat Dayak ataupun Badui Dalam, mereka memiliki keyakinan atau ritual tertentu sebelum menebang pohon besar untuk keperluan rumah tangga seperti membuat rumah.

Para ketua adat atau tetua dipercayai bisa memimpin ritual agar penebangan pohon bermanfaat dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Selain itu, di masyarakat tertentu masih ada yang meyakini adanya hari baik dan hari terlarang untuk memotong bambu, meskipun mereka sudah mengenyam pendidikan. 

Pemahaman Awal

Dalam ranah akademis internasional keyakinan dan tata cara manusia dan masyarakat pribumi/adat memperlakukan alam disebut "pengetahuan ekologis tradisional" (traditional ecological knowledge, selanjutnya disingkat PET). PET diposisikan sebagai alternatif untuk membincang persoalan-persoalan ekologis yang dikaitkan dengan ragam kearifan yang sudah dimiliki masyarakat lokal yang dalam banyak hal bertentangan dengan nalar modern. 

Perspektif ini awalnya menjadi bagian dari ethnoecology (memfokuskan kepada relasi ekologis yang berkembang di masyarakat atau budaya) dan enthnoscience (ilmu tentang orang-orang biasa). 

Dalam perkembangannya, PET menjadi ranah kajian tersendiri yang lebih kompleks dan mengedepankan cara pandang lintas-disiplin. Meskipun demikian, terdapat pihak yang memperdebatkan penggunaan istilah "tradisional" karena dianggap mengingkari fakta perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. 

Berkes (1993: 3) menjelaskan bahwa mereka yang tidak sependapat beranggapan bahwa masyarakat sudah berubah, dengan mengadopsi dan mempraktikkan teknologi baru, sehingga sangat meragukan kalau masih ada yang bisa dilabeli dengan istilah "tradisional". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun