Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Identitas dan Pedagogi Representasi: Menimbang Pemikiran Giroux

2 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   07:52 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjamurnya teknologi informasi dan berkembangnya masyarakat internet menjadi warna dominan masyarakat pascaindustri yang tidak lagi mengedepankan kekuatan mesin berat, tetapi bermacam software, aplikasi, dan media baru untuk melakukan aktivitas ekonomis. Artinya, terdapat peluang dari untuk memroduksi bermacam representasi terkait identitas, etnis, ras, atau budaya tertentu. 

Meskipun demikian, masyarakat yang demikian belumlah menjadi masyarakat pascakapitalis karena para pemodal besar masih berperan penting dalam transaksi ekonomi kekinian. Bisa jadi, perayaan makna dan wacana identitas dalam bermacam produk media baru masih belum bisa merdeka sepenuhnya, karena masih ada kode-kode tertentu yang digerakkan dan dimenangkan oleh kelompok dominan. 

Kecenderungan diskursif dan praksis seperti itu, tentu saja, memberikan tantangan bagi para pendidik dan pekerja budaya. Mereka ditantang mendefinisikan-kembali hubungan antara budaya dan politik untuk memperdalam dan memperluas dasar bagi praktik transformatif dan emansipatif. 

Sebagai bagian dari tantangan semacam itu, sisi politis dari budaya harus diberi keutamaan sebagai tindakan perlawanan dan transformasi dengan mengatasi masalah perbedaan, identitas, dan tekstualitas di dalam dan bukan di luar problematika kekuasaan, agensi, dan sejarah. 

Artinya, membincang konsep perlawanan dan transformasi melalui praktik representasi tidak bisa mengabaikan kondisi historis yang berkaitan dengan beroperasinya kekuasaan partikular dan kemungkinan agensi yang bisa dilakukan oleh para pendidik dan pekerja budaya. Dengan demikian, penting menghubungkan politik budaya dengan praktik demokrasi substantif. Dalam pemahaman tersebut setiap politik representasi dan perjuangan radikal sekalipun harus menjadi bagian "politik kewarganegaraan kontemporer".

Nilai dari politik kewarganegaraan tersebut adalah mengkaji-kembali wacana kewarganegaraan substantif dengan menimbang konflik yang berkaitan dengan relasi kekuasaan, identitas dan budaya sebagai pusat untuk memulai usaha lebih luas dalam mengutamakan keharusan masyarakat demokratis. 

Ketiga aspek tersebut semestinya bisa menjadi elemen yang memberikan kesetaraan bagi warga negara yang dipinggirkan. Dasar perjuangan seperti itu adalah memikirkan-kembali dan menulis-ulang perbedaan dalam kaitannya dengan pertanyaan yang lebih luas tentang keanggotaan, komunitas, dan tanggung jawab sosial. 

Politik kewarganegaraan kontemporer harus mempertimbangkan peran yang dimainkan oleh gerakan sosial dalam memperluas klaim atas hak dan hak atas wilayah baru. Pemahaman ini berarti membahas pula permasalahan keanggotaan yang ditimbulkan oleh feminisme, gerakan-gerakan kaum kulit hitam dan etnis, ekologi dan minoritas yang rentan seperti anak-anak. Meskipun demikian, usaha tersebut mesti disesuaikan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh "perbedaan" dalam arti yang lebih dalam. 

Misalnya, masalah terkait komunitas yang beraneka ragam di mana kita berasal, interaksi rumit terkait identitas dan identifikasi dalam masyarakat modern, dan cara-cara berbeda di mana orang sekarang berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Keragaman arena di mana kewarganegaraan sedang diklaim dan diperebutkan hari ini adalah penting untuk setiap konsepsi modern itu karena ditorehkan dalam logika masyarakat modern itu sendiri.  

Kalau kita bawa ke dalam ranah internasional, dalam perjalanan awalnya, politik identitas yang mulai berkembang pada era 1960-an memberikan harapan baru untuk penguatan dan keberdayaan komunitas-komunitas yang termarjinalkan dalam sistem, struktur, dan praktik di masyarakat kulit putih. 

Komunitas dengan pandangan politik, orientasi seksual, ras, etnis, dan budaya yang berbeda berjuang untuk mengkonstruksi narasi yang selama proses historis dan kultural di-liyan-kan dan di-senyap-kan, sehingga bisa menjadi kritik dan tandingan terhadap narasi besar dari komunitas dominan. Tentu saja, konstruksi tersebut tidak hanya dalam praktik sehari-hari, tetapi juga melalui produk-produk representasional seperti berita media (dalam segala bentuknya), program televisi, film, dan yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun