MUSIK BANYUWANGIAN PASCAREFORMASI
Para musisi muda Banyuwangi yang berproses-kreatif pada masa menjelang dan sesudah Reformasi 1998 (era 2000-an awal) hingga saat ini adalah generasi musisi yang tumbuh dalam zaman transformasi, di mana budaya global/modern semakin biasa dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah terbiasa dengan musik modern. Di sisi lain, mereka juga masih biasa mendengarkan lagu-lagu kendang kempul maupun lagu-lagu gandrung yang sudah dikasetkan dan sangat populer di Banyuwangi sejak era Orde Baru.
Meskipun demikian, mereka juga tidak menutup mata bahwa kaum remaja dan kaum muda Banyuwangi, umumnya, semakin familiar dengan g musik populer yang 'digerakkan' dari pusat, Jakarta. Sebagai subjek, kreativitas mereka tentu tidak akan bisa lepas dari pertimbangan-pertimbangan kontekstual tersebut.
Pengaruh diskursif dan estetik kesenian pop-industrial dari negara-negara asing dan Jakarta ke dalam kehidupan kultural masyarakat lokal tentu mempengaruhi warna dan perkembangan budaya lokal. Kemampuan meramu pengaruh budaya global dengan kekayaan budaya lokal merupakan strategi dan siasat yang dimainkan oleh para musisi muda Banyuwangi.
Kalaupun, kemudian dikatakan mereka terhegemoni, itu karena mekanisme industri musik yang memang mempunyai karakteristik untuk selalu mengambil dan menggunakan kekayaan tradisi dan modernitas demi memenuhi kepentingan kapital mereka. Yang menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi adalah bagaimana mereka mengkonstruksi lokalitas dalam bermusik menghadapai pengaruh berbacam wacana dan estetika pasca Reformasi yang semakin kompleks ini.
Para seniman musik Banyuwangian (pencipta lagu, penulis lirik, dan musisi) merupakan kelompok kreatif yang mampu memadukan pengaruh musik dari luar dengan tradisi musik lokal yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk-produk hibrid yang oleh masyarakat setempat tetap diyakini sebagai bagian sah dari kebudayaan Banyuwangian (Setiawan, 2007).
Formula dan konsensus kultural dalam masyarakat dalam memposisikan kesenian hibrid, seperti musik populer Banyuwangian yang sekarang sedang trend merupakan penanda bahwa masyarakat di ujung timur Jawa ini mudah mengadaptasi dan mengapropriasi kehadiran budaya luar. Kenyataannya, musik hibrid memang sangat digemari sehingga bisa menjadi kekuatan kultural baru untuk menegosiasikan ke-Usingan ke dalam gerak masyarakat yang sedang bertransformasi ke dalam medan wacana budaya global.
Sariono, Subaharianto, Saputra, dan Setiawan (2009) menjelaskan bahwa era 2000-an bisa dibaca sebagai babak baru dalam industri musik Banyuwangian yang tidak bisa dipisahkan dari semakin populernya teknologi VCD player di masyarakat. Kemampuan ekonomis masyarakat untuk membeli televisi dan VCD player buatan Cina yang relatif murah, mendorong beberapa pengusaha rekaman di tingkat lokal memulai aktivitas produksinya dalam bentuk VCD.
Pilihan jenis kesenian yang diproduksi secara massif dalam kepingan VCD adalah lagu atau tembang Banyuwangian. Pada awalnya, pilihan jatuh pada lagu-lagu kendang kempul, seperti Gelang Alit, Kembang Galengan, Bantalan Tangane, Sing Ono Jodoh, Surat Kawitan, Impen-impenan, Ugo-ugo, Rehana, Ulan Andung-andung, dan yang lain.
Dalam konteks industri kreatif, inkorporasi musik lokal ke dalam mekanisme industri melalui format VCD/DVD menegaskan bahwa produk-produk budaya lokal bisa 'bercumbu' dengan produk teknologi modern agar terus bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat. Teknologi modern bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dijauhi, tetapi sebisa mungkin dimanfaatkan untuk perluasan "medan pengaruh" dari keberadaan musik lokal.
Dalam industri musik Banyuwangian, para pemodal memang berusaha menjadikan produk-produk musik industrial yang mereka hasilkan menjadi praktik kultural konsensual di masyarakat, sehingga akan mendatangkan keuntungan finansial. Musik lokal dikomodifikasi dalam produk-produk baru yang sesuai dengan selera pasar karena memori kolektif masyarakat masih mengingat mereka.
Maka, hadirlah musik pop Banyuwangian bernuansa hibrid yang dikembangkan oleh para seniman muda. Dengan membangun jejaring inkorporasi ini, para pemodal sebenarnya terus-menerus menggairahkan kehidupan industri musik di tingkat lokal yang produk-produknya akan terus dikonsumsi oleh publik.
Dengan demikian, mereka akan terhindar dari tuduhan terkait kapitalisasi kultural, karena realitasnya para seniman lokal juga butuh dan senang ketika masuk ke dalam mekanisme industri yang menguntungkan, sekaligus tetap menjadikan karya-karya seni mereka beredar dalam lalu-lintas kultural masyarakat.
Ketika hegemoni industri budaya berlangsung, maka masyarakat dengan muda masuk ke dalam peradaban neoliberal. Untuk bisa menikmati musik Banyuwangian, mereka cukup mengeluarkan uang Rp. 10.000, 00 sampai Rp. 12.500, 00 dan bisa membawa VCD-VCD sesuai selera mereka.
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan mekanisme tersebut, maka dengan mudah pihak industri menciptakan subgenre baru yang disesuaikan dengan selera dan kecenderungan pasar lokal yang ikut terpengaruh oleh trend yang berasal dari pasar regional, nasional, maupun global. Tidak mengherankan kalau muncul dangdut koplo, disco, dan house music Banyuwangian. Pilihan-pilihan tematik lagu juga lebih terfokus pada tema-tema yang sedang populer di masyarakat seperti tema romantis.
Tema-tema kritis yang dulu pernah jaya pada masa Sukarno, sangat jarang ditemukan, meskipun masih ada beberapa seniman yang menciptakan tema serupa. Alasan yang umum dimunculkan adalah "pasar lebih suka yang kayak gitu", "gimana lagi, zamannya sudah seperti itu", "masyarakat kita memang sudah berubah", dan lain-lain.
Konsekuensi itulah yang harus ditanggung ketika peradaban pasar mulai berkuasa dan berjalan beriringan dengan mekanisme dan praktik industri musik di tingkat lokal. Meskipun demikian, inkorporasi industri budaya terhadap potensi musik lokal tidak harus melulu dilihat dari perspektif yang menyalahkan para seniman-seniman yang terlibat di dalamnya.
Bagaimanapun, mereka adalah bagian integral dari masyarakat lokal-regional-nasional yang sedang mengalami transformasi dalam bidang ekonomi politik. Selain itu, bagaimana mereka menemukan formula komersil melalui transformasi lokalitas di era pascareformasi merupakan konstruksi yang menarik untuk dicermati.
Dalam konteks sosio-kultural dan ekonomi di ataslah, para musisi Banyuwangi berada. Di satu sisi, mereka membutuhkan uang untuk bertahan dalam budaya pasar. Di sisi lain, mereka ingin ikut menyemarakkan kehidupan kultural yang tersentral dalam tradisi pasar agar musik Banyuwangi tetap digemari masyarakat di tengah-tengah semakin beragamnya pilihan produk pasar yang digerakkan dari Jakarta.
Dengan kata lain, proses masuknya mereka ke sistem mekanisme industri merupakan siasat untuk bisa diterima pasar, sekaligus strategi untuk menegosiasikan eksistensi budaya lokal. Kalau memang pada akhirnya, musik pop-etnis hibridl yang lebih populer, hal itu memang bisa dibaca sebagai bentuk hegemoni industri budaya terhadap kreativitas para seniman muda.
Namun, paling tidak, mereka juga berhak mengatakan tengah melakukan perjuangan kultural di tengah-tengah ambivalensi orientasi kultural masyarakat. Pembacaan secara kritis terhadap kompleksitas proses kreatif dan perjuangan para seniman musik dalam ranah industri budaya tetap harus diperhatikan, sebelum mengatakan mereka terhegemoni atau tidak terhadap kecenderungan budaya modern yang bersifat global dan mekanisme industri budaya di tingkat lokal.
Perkembangan-perkembangan budaya di era 2000-an yang semakin dinamis, beragam, dan lentur juga mempengaruhi pola pikir serta karya kreatif para seniman musik di tanah air, tidak terkecuali para seniman musik Banyuwangi. Cinta memang masih menjadi rumus mujarab dalam industri musik di tanah air. Namun, beberapa isu yang dulu tabu untuk dimunculkan dalam lirik lagu, seperti perselingkuhan, mulai diusung oleh para musisi.
Dalam konteks industri musik Banyuwangian, para pencipta lagu juga masih berkutat dalam wacana cinta, tetapi mereka mencoba untuk memberikan cara pikir dan pemahaman transformatif terkait cinta. Ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan lebih terbuka dan minim metafor alam, meskipun masih ada sebagian kecil yang menggunakannya.
Beberapa wacana 'nakal' dan menggelitik juga diusung, tentu saja tetap tidak kehilangan nuansa lokalnya. Meskipun demikian, ada sebagian kecil seniman yang mencoba untuk menafsir-ulang permasalahan sosial dan politik di tingkat lokal. Maka, pada era 2000-an, kita bisa menyaksikan bagaimana para musisi Banyuwangi mentransformasi lokalitas untuk kepentingan komersial mereka dengan argumen ikut memeriahkan dan mengembangkan budaya lokal.
Pada era 2000-an, para musisi muda yang terpengaruh oleh musik Barat, seperti bosas, blues, reggae, dan rock, mulai mengembangkan genre musik yang berbeda, di mana mereka tidak lagi menekankan kepada peran kendang dan kempul sebagai pengendali musikal. Mereka juga mulai menggunakan instrumen modern seperti kibor dan gitar untuk menciptakan nada-nada lagu.
Hal itu tentu berbeda dengan musisi pada era kolonial sampai era 1980-an yang masih menggunakan instrumen tradisional seperti angklung bambu untuk menciptakan lagu. Selain itu, mulai terjadi pergeseran lokalitas sebagai tema dalam lirik-lirik lagu berbahasa Using. Tema cinta sebagaimana yang ada dalam lagu-lagu pop produksi major label di Jakarta mulai menjadi warna dominan dalam industri musik Banyuwangian, meskipun masih ada beberapa lagu yang mengusung persoalan sosial.
Cinta sepertinya sudah ditakdirkan untuk menjadi rumus penting dalam industri budaya pop. Dengan resep cinta, sebuah lagu baru lebih mudah diterima oleh khalayak. Hal itu, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari hakekat cinta yang memang selalu mengalir dalam darah setiap manusia.
Bagi pencipta lagu Banyuwangi, persoalan cinta atau dalam bahasa Using disebut welas bukan sekedar kegembiraan ketika bertemu dengan orang yang dicintai, tetapi ungkapan mendalam tentang perasaan batin yang menginginkan keabadian, meskipun seringkali terganjal oleh perpisahan.
Pada masa pascareformasi, realitas tematik tersebut masih bisa dijumpai. Kecuali diksi yang mulai berubah atau disesuaikan dengan kondisi kekinian yang lebih terbuka, wacana welas masih tetap diusung oleh para seniman lagu. Menariknya, sebagian besar wacana cinta yang mereka usung melalui diksi bahasa Using semakin menegaskan rasa melas, menyayat hati dan memunculkan rasa iba akibat perpisahan atau kegagalan dalam membina hubungan cinta.
Ini tentu menjadi permasalahan yang harus dicermati karena mereka sebagai generasi muda yang sangat paham apa yang menjadi semangat dan perjuangan gerakan Reformasi 1998 mestinya mereka bisa memunculkan karya-karya kreatif yang tetap mengusung dimensi lokalitas dengan beragam permasalahannya.
Namun, sebelum kami mengkritisi persoalan tersebut, ada baiknya saya membahas dulu wacana lokalitas yang ada dalam lagu Banyuwangian era 2000-an. Hal ini perlu dilakukan agar bisa memetakan kecenderungan diskursif yang ada dalam model transformasi lokalitas dalam lirik lagu untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks industri dan konteks dinamika masyarakat sebagai medan kreatif para pencipta lagu.
HIBRIDISASI MUSIKAL, KRITERIA TEMATIK & KEBAHASAAN
POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) merupakan kelompok musik hibrid yang memadukan banyak instrumen musik Barat seperti gitar, bass, cello, keyboard, conga dengan instrumen musik Banyuwangian seperti angklung, kentongan, gamelan, dan kluncing. Pada tahun 2001, melalui perjuangan luar biasa beberapa musisi muda seperti Yon's DD, Catur Arum, Adistya Mayasari, dan yang lain, lahirlah album POB dengan dua lagu andalannya Layangan dan Semebyar.
Meskipun pada awalnya banyak banyak dituduh mengusung musik 'ala gembreng' (kaleng) dan tidak kentara unsur musik Banyuwangi-nya, lagu-lagu POB yang diiringi musik hibrid pada akhirnya bisa diterima masyarakat secara luas enam bulan setelah peluncuran album tersebut secara resmi oleh Aneka Safari Genteng.
Dengan irama kombinasi bosas dan blues yang dimainkan dengan nada khas Using tetapi dinyanyikan dengan gaya yang berbeda dengan penyanyi kendang kempul, musik dan lalgu POB mampu menyedot perhatian kaum remaja dan kaum muda serta menjadikan mereka mulai menggemari kembali lagu berlirik bahasa Using yang pertengahan hingga akhir era 90-an mulai surut. Pilihan hibridisasi musikal, gaya bermusik yang berbeda, serta keragaman tematik merupakan "formula komersil" yang mengantarkan kelompok ini menuju tangga populeritas.
Prinsip untuk memberikan "musik yang berbeda" di tengah-tengah popularitas kendang kempul, merupakan strategi yang lazim dalam industri kreatif. Ketika pasar sudah jenuh dengan kendang kempul, kehadiran POB dengan genre musik gembreng-nya ternyata mampu menjadikan penikmat musik Banyuwangian 'terhenyak' untuk meluangkan waktu sekedar menikmati lagu-lagu mereka.
Beberapa tema andalan dalam lagu mereka, antara lain: (1) cinta dan kisah romantisnya, (2) kritik sosio-kultural, (3) kehidupan rakyat kebanyakan dan pesona alam bumi Blambangan, dan (4) eloknya budaya Banyuwangi. Semebyar, Tetese Eluh, Telung Segoro, Mawar, dan Layangan adalah beberapa lagu yang sangat digemari oleh masyarakat penikmat hingg saat ini.
Yang pasti populertias lagu-lagu POB menjadi inspirasi baru bagi para pencipta lagu Banyuwangi untuk membuat karya-karya musikal semenarik mungkin, khususnya dalam hal tema dan wacana yang mereka sampaikan melalui lagu. Inilah yang saya sebut sebagai "warisan POB dalam budaya musik Banyuwangian". Warisan inilah yang kemudian memperanguhi kreativitas musikal di Banyuwangi, di mana banyak pencipta lagu dan musisi-musisi baru yang memproduksi karya dan didistribusikan secara luas.
Pemodal perusahan rekaman yang ada di Banyuwangi merupakan faktor penting yang menjadikan warna dan dinamika musik lokal di daerah ini berkembang. Tanpa mereka, bisa dipastikan busik Banyuwangi tidak akan seramai sekarang, ketika daerah-daerah lain mengalami kelesuhan.
Tentu saja mereka memiliki prinsip inkorporasi dan komodifikasi untuk menentukan mana-mana genre musik dan wacana tematik lagu yang bisa direkam dan didistribusikan secara luas. Dalam prinsip inkorporasi dan komodifikasi tersebut, produser perusahaan rekaman memiliki kriteria-kriteria terkait lagu yang akan diproduksi.
Pertama, mengusung tema-tema cinta bernuansa lokal. Resep ini jelas merupakan kelanjutan dari masa Orde Baru. Bedanya, kalau di masa Orde Baru para seniman pencipta masih banyak yang menciptakan lagu dengan bantuan viol atau angklung, pada masa pascareformasi sebagian besar seniman menciptakan lagu dengan bantuan gitar, piano, atau kibor.
Ini yang menjadikan nada-nada lagu Using mulai berubah. Terlepas dari itu, tema yang diusung tidak jauh dari urusan cinta yang kandas atau kehilangan kekasih. Miswan, pencipta lagu dan produser Samudra Record Banyuwangi, menjelaskan:
"Kalau ngomong tema cinta, itu kan yang memang laku di pasaran. Orang-orang suka dengan tema-tema itu. Ya, kita sebagai produser pasti akan memerhatikan kesukaan konsumen. Nah, selagi persoalan cinta dengan segala perniknya masih disukai, ya, kita akan produksi lagu-lagu bertema itu.
Tapi, kalau kami di Samudra Record, tetap akan selektif. Bagaimana nadanya, ngena apa nggak ke telinga awam? Bagaimana persajakannya? Juga, bagaimana makna filosofinya? Bagaimana pilihan katanya? Lungset, misalnya, itu kan biasa digunakan untuk pakaian. Tapi, etika dipakai untuk persoalan hati yang tidak bergairah karena kesedihan di tinggal kekasih, orang akan tertarik." (Wawancara, 25 Juni 2016)
Tuturan Miswan di atas menegaskan bahwa cinta tetap menjadi wacana hegemonik dalam industri musik Banyuwangi. Pertimbangan komersial tentu tidak bisa ditinggalkan seorang pemodal. Tentu ini juga menjadi pertimbangan para pemodal industri rekaman lain. Tidak mengherankan kalau sampai hari ini, wacana tentang "putus cinta", "ditinggal atau dikhianati kekasih", dan "harapan akan cinta yang indah" masih menjadi orientasi diskursif ideal bagi para pencipta lagu.
Preferensi produser ikut berperan menciptakan kecenderungan tersebut. Memang, masih ada pertimbangan akan makna filosofis, diksi, ataupun persajakan lirik sebuah lagu, akan tetapi semua itu digunakan untuk memastikan bahwa sebuah lagu menarik dan akan disukai oleh para penikmatnya. Tentu saja, trend mengikuti "selera pasar" atau konsumen merupakan cara mudah untuk melariskan sebuah album di pasaran.
Namun, cara ini menjadikan lagu-lagu Banyuwangian tampak 'miskin tema' dan cenderung monoton. Selain itu, lirik lagu yang digunakan juga kurang variatif, sehingga Miswan tetap berusaha mencari diksi yang "tidak umum", tetapi masyarakat sebenarnya familiar. Tema-tema sosial seperti kemiskinan, pendidikan, ataupun ketimpangan antara si kaya dan si miskin menjadi 'hilang' dari lagu-lagu Banyuwangian pasca POB.
Kriteria kedua adalah menggunakan lirik berbahasa Using untuk pasar Banyuwangi dan kabupaten-kabupaten di Jawa Timur. Ini bisa dipahami karena sumber dan target awal dari lagu-lagu Banyuwangi adalah masyarakat Using. Meskipun pada akhirnya penikmatnya meluas hingga masyarakat Jawa, Madura, China, Mandar, Arab, dan lain-lain, lirik berbahasa Using sudah dianggap sebagai 'resep baku' yang cukup eksotis untuk menarik perhatian calon konsumen ataupun penggemar.
Meskipun Miswan menciptakan juga lagu-lagu berbahasa Indonesia seperti Masa Lalu 1, Masa Lalu 2, dan Masa Lalu 3, dia tetap mengakui bahwa bahasa Using tetap menjadi resep yang tidak boleh ditinggalkan.
"Berulangkali beberapa produser dari Jakarta meminta saya untuk merekam dan mengedarkan lagu-lagu berbahasa Indonesia yang akan dinyanyikan Danang [runner up Dangdut Academy 2015), tapi saya menolak. Lakunya pasti tidak akan banyak. Masyarakat sudah jatuh cinta dengan bahasa Using sebagai lirik lagunya. Orang tahunya lagu Banyuwangian itu ya lagu Using." (Wawancara, 25 Juni 2016).
Bahasa Using memiliki kekuatan kultural sekaligus komersial yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, masyarakat Using memiliki ikatan kultural dengan bahasa ibu, sehingga mereka akan lebih memilih lirik berbahasa ini untuk lagu-lagu Banyuwangian. Sementara, bagi mereka yang berasal dari non-Using, lagu dengan bahasa ini memiliki keunikan dan ciri khas yang membuatnya berbeda. Apalagi didukung dengan tema-tema percintaan yang mendayu-dayu.
Meskipun demikian, beberapa pencipta lagu Banyuwangian juga menciptakan lagu berbahasa Jawa dan, bahkan, bahasa Indonesia untuk memperluas segmen penggemar. Miswan misalnya, menciptakan lagu berbahasa Jawa yang sangat laris, bahkan digemari penikmat campursari di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yakni lagu Layang Sworo.
Bahkan, penyanyi muda yang sedang naik daun seperti Wandra juga menembangkan lagu berbahasa Jawa dengan judul Sawangen. Mereka sangat sadar bahwa lagu campursari berbahasa Jawa juga memiliki penggemar yang bisa 'digarap', apalagi beberapa tahun terakhir campursari lagi lesu. Artinya mereka berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari kelesuhan itu.
Ketiga, diorientasikan kepada generasi muda sebagai pasar utama. Diakui atau tidak, generasi penikmat industri musik, baik yang berasal dari ranah internasioal maupun nasional, adalah yang berasal dari generasi muda. Para produser di Banyuwangi sangat sadar akan hal itu. Pasca booming POB, musik Banyuwangian bergenre pop-etnis mampu bersaing dengan musik nasional dan mulai digemari kaum muda.
Ketika ponsel pintar semakin populer, semakin banyak anak muda yang terbiasa mendengarkan lagu-lagu Banyuwangian. Tentu lagu-lagu yang dipilih sudah diseleksi secara ketat, baik dalam hal nada, lirik, maupun tema yang disampaikan kepada publik. Pada era peradaban new media, di mana musik garapan studio lebih banyak menggunakan media Youtube dan aplikasi musikal lainnya, formula komersial di atas masih berlaku.
Prinsip like and subscribe menjadi tantangan bagi para produser dan pencipta lagu untuk menghasilkan karya terbaik. Para penyanyi pun berusaha tampil semaksimal mungkin dengan gaya semenarik mungkin. Tampilan mereka ikut menentukan ditonton atau tidaknya sebuah karya musikal.
Produser musik Banyuwangi, seperti Miswan, sedari awal sadar terhadap trend new media. Bisa dikatakan Samudra Record yang ia pimpinlah yang mengawali kerja serius untuk menggarap new media sebagai basis monetisasi untuk menghasilkan uang. Ketika perusahaan rekaman lain di Banyuwangi, bahkan di Jakarta, masih menggunakan VCD/DVD, Miswan secara khusus membentuk tim IT untuk memaksimalkan penghasilan melalui Youtube dan aplikasi lain.
Keberhasilan Samudra Record itulah yang kemudian diikuti oleh perusahaan rekaman lain seperti Sandi Record, Aneka Ria Safari Record, Khatulistiwa Record, One Nana Record, dan perusahaan lain di Banyuwangi. Meskipun demikian, para produser tetap memilih tema-tema tertentu yang laku di pasaran.
MELOW-ISME CINTA: "WELAS" YANG SEMAKIN "MELAS"
Semebyar (Cipt. Yon's DD) begitu fenomenal ketika dinyanyikan Adistya Mayasari dan diiringi POB. Secara umum, lagu tersebut menceritakan kesedihan hati seorang (perempuan) yang menunggu kedatangan tunangannya yang pergi tanpa sebab yang jelas. Dua bait pertama lagu ini menceritakan secara gamblang perasaan batin si penanti sejak ditinggal kekasihnya.
Kondisi itu tentu saja disebabkan karena perasaan sedih akibat perginya kekasih. Apalagi, kabar perjodohan mereka sudah menyebar dan diketauhi oleh banyak orang. Wajar kiranya kalau dia merasakan rasa sedih dan rasa malu yang bercampur menjadi satu. Perginya salah satu pihak dari dua insan yang sudah bertunangan/hendak menikah, tentu bukan hal baru dalam masyarakat.
Banyaknya kasus tersebut di masyarakat menjadi inspirasi yang ditransformasi secara cerdas dan kreatif oleh pencipta lagu ini sekaligus sebagai formula komersil yang menjadikan lagu ini meledak di pasaran dan mampu menyamai level keterkenalan seperti yang diperoleh Gelang Alit dan tembang-tembang legendaris lainnya.
(I) Sing tau-tau o, ati nisun bingung gedigi
Sakat riko tinggal, urip isun rasane kaya nggantung
Pikiran sering ngelamun
Sampek awak dadi kaya wong linglung
(II) Kabar wis semebyar
Riko lan isun arep jejodohan
Embuh keneng setan paran,
Riko ninggal isun tanpa jalaran
Reff:
Mulo titip salam
nong angin lan derese udan
Warahen isun ngenteni, tekan riko eman
Embuh sampe kapan
Isun emong nanggung wirang
Sun anteni nang cracabane lawang
Kalau kita simak lagi, Yon's dan Catur banyak menggunakan kata dan frasa yang sangat lokal, dalam artian istilah tersebut sangat khas dalam bahasa sehari-hari dan mewakili perasaan atau kondisi tertentu, tetapi tidak banyak pencipta lagu yang menggunakan. "Urip isun rasane kaya nggantung" (hidupku rasanya seperti menggantung) misalnya, menegaskan sebuah kondisi yang tidak menentu yang dialami seseorang karena ketidakjelasan nasib sebuah hubungan perjodohan atau cinta.
Dengan menggunakan kata "nggantung", lagu ini berusaha mengajak penikmat untuk membandingkan dengan kisah yang mereka alami atau orang lain alami. Sementara, "kabar wis semebyar" (kabar sudah menyebar luas) adalah penegasan bahwa berita tentang perjodohan mereka sudah menyebar kemana-mana. Artinya, secara sosial, hubungan mereka sudah diketahui. Kata "semebyar" ini sangat khas dan belum pernah digunakan oleh pencipta lagu lain untuk mendeskripsikan permasalahan cinta.
"Embuh keneng setan paran" (entah kena setan apa), merupakan ekspresi ketidaktahuan yang mendalam, karena tanpa tahu penyebab dan alasan yang jelas. Setan adalah makhluk yang tidak pernah jelas, sehingga untuk mengungkapkan ketidaktahuan akan penyebab terjadinya sesuatu masyarakat seringkali bilang "kena setan apa".
"Mulo titip salam nong angin lan derese udan" (maka titip salam kepada angin dan derasnya hujan) merupakan ungkapan perasaan yang tetap setia meskipun tidak tahu lagi harus dengan jalan apa aku-lirik bisa bersua kembali dengan tunangannya. Karena di manapun ia berada, masihlah mengalami peristiwa hujan dan datangnya angin.
Hanya kepada angin dan hujanlah ia bisa menitip salam karena sudah tidak tahu lagi kepada siapa ia mesti menitipkan harapan untuk bisa segera bertemu kekasihnya. Adapun "nong cracabane lawang" adalah di depan pintu. Frasa ini juga belum pernah digunakan oleh pencipta lagu Banyuwangian, baik pada era 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan 2000-an.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya sangat biasa, seorang perempuan menyandarkan kepalanya di kerangka kayu sembari menunggu suami atau anak-anaknya. Maka, ketika Yon's dan Catur menggunakannya dalam lagu untuk menggambarkan kesetiaan menunggu seorang perempuan terhadap tunangannya, pendengar seperti merasakan diri mereka menjadi pelaku dari peristiwa yang sedang berlangsung dalam lagu.
Penggunaan diksi yang sangat me-lokal, menjadi kekuatan lagu Semebyar karena bisa mengajak pendengar ke sebuah dunia yang sebenarnya biasa mereka jalani, alami, dan rasakan, tetapi mungkin sudah sangat jarang mereka perhatikan. Kehidupan modern menjadikan banyak orang mulai melupakan pesona dunia, termasuk konsep dan istilah lokal, khususnya mereka yang berada di wilayah metropolitan.
Bukan berarti masyarakat yang tinggal di kota kabupaten, kecamatan, ataupun desa masih menjalankan sepenuhnya nilai budaya ataupun menguasai istilah-istilah lokal. Maka, dengan memunculkan istilah-istilah khas Using, Yon's mencoba untuk terus menegosiasikan kekayaan linguistik dan makna kepada para penggemarnya.
Mengusung tema-tema cinta yang semakin melow dan melas adalah kekuatan diskursif yang dimainkan oleh para pencipta lagu Banyuwangi di era 2000-an. Cinta dalam warna lokal dengan diksi Using yang sangat spesifik mampu meresap ke dalam batin para penggemar musik.
Dalam makna gaul, melow merupakan kondisi hati yang dialami seseorang, biasanya ditandai dengan rasa sedih, sedih, sendu, sayu, dan tidak berbahagia. Mereka yang berada dalam kondisi melow biasanya akan mudah terbawa perasaan (baper) dan sangat sensitif (https://sumsel.tribunnews.com/2021/02/27/apa-itu-melow-istilah-populer-yang-membuat-perasaan-seseorang-jadi-lebih-sensitif).
Tidak mengherankan, populeritas Semebyar segera menjadi acuan bagi pencipta-pencipta lagu lain untuk membuat karya yang memiliki kemiripan tema maupun atmosfer yang dibangun di dalam lagu-lagu mereka. Dalam sistem industri budaya, trend booming menjadi kekuatan sekaligus kelemahan.
Bisa menjadi kekuatan karena para pencipta lagu tidak perlu susah-susah menciptakan formula tematik dalam lirik-lirik mereka. Sudah ada struktur lirik dan formula tematik baku seperti Semebyar yang terbukti mampu mendongkrak pemasaran sebuah lagu. Hal ini terjadi sudah berlangsung lama dalam industri budaya di tingkat pusat.
Banyak lagu pop Indonesia yang memiliki kesamaan tematik dan atmosfer. Banyak film bertema cinta yang dalam struktur naratif memiliki kesamaan atau kemiripan. Ketika film Ada Apa Dengan Cinta menjadi box office, misalnya, puluhan film bertema serupa diproduksi.
Namun, praktik tersebut bisa menjadi kelemahaman karena akan muncul kecenderungan bosan dari para penggemar. Kenyataan ini bisa dilihat dari banyaknya lagu Banyuwangi yang tidak bisa booming di pasaran karena bersifat mengekor ketenaran Semebyar.
Artinya, tema cinta yang semakin melas dan melo belum tentu menjadi formula yang selalu bisa mendulang sukses. Dalam kondisi demikian, seorang pencipta lagu dituntut untuk semakin kreatif dalam memainkan isu-isu cinta di ranah lokal agar lagunya bisa meledak di pasaran.
Salah satu lagu yang memperoleh populeritas pasca booming Semebyar adalah Duwe Tah Using, karya Yon’s DD. Lagu ini menceritakan perasaan melas seorang lelaki karena harus menyaksikan orang yang dicintainya menikah dengan lelaki lain dan sudah menggendong anak.
Dalam lagu Banyuwangi, lagu-lagu kesaksian seperti ini sudah populer sejak era 1970-an, seperti dalam lagu Sing Ono Jodoh (Armaya). Namun, dalam lagu Armaya perasaan sedih akibat ditinggal kekasih menikah tidak harus menjadi perasaan melas yang terus dipendam, tetapi diselesaikan dengan sikap bijak; menjadi ‘saudara’.
Sekali lagi, tema cinta yang gagal atau ditinggal menikah kekasih terus direproduksi dalam lagu-lagu Banyuwangi pada era 2000-an dengan latar cerita yang berbeda satu sama lain. Keragaman latar cerita menjadi pembeda sekaligus formula laris sebuah lagu. Apabila tidak ada yang menjadi pembeda, semisal dari diksi yang dipilih serta kekhasan nada, sebuah lagu, meskipun mengusung tema cinta yang mendayu-dayu tidak akan laku oleh publik. Di sinilah tantangan nyata bagi para pencipta lagu Banyuwangian.
(I) Nong alas, nggolet kayu nongko
Nong Kelir, liwat Kalipuro
Kari lawas, riko sing ana teka
Rasa kuwatir, nong ati mesti ana
(II) Sing luput, krentege batin iki
Rungu kabar, kok riko wis rabi
Semendal, semendal rasane ati
Hang sun welasi, tego nggowo wohe ati
Reff:
Masiyo saiki, riko wis laki
Welas isun, angel diilangi
Saktemene tatu batin iki,
Nyawang riko, wis nyanding wong liya
Tambah maning, perih batin iki
Nolih riko, wis nggendong bayi
He iye … kari lara
Duwe tah using, rasa rumangsa
He iye … kari lara
Duwe tah using, rasa rumangsa
Salah satu keunikan lagu ini adalah penggunaan bangsalan (pantun Using) dalam bait pertama serta penggunaan rima yang sama dalam bait-baitnya. Bangsalan merupakan pantun yang biasa digunakan oleh masyarakat Using ketika berbincang dalam suasana santai, baik itu bertamu maupun santai bersama. Dalam lagu-lagu era 70-an, penggunaan bangsalan sangat kental.
Demikian pula dengan rima yang relatif sama, baik dalam bait maupun dalam baris. Hal itu memudahkan penikmat lagu untuk meresapi dan merasakan suasana melo dan melas yang dihadirkan lagu ini. Apalagi dengan cerita sedih seorang lelaki yang mendapati kenyataan kekasihnya sudah menikah dan beranak dengan lelaki lain. Tema semacam ini banyak terjadi di masyarakat.
Bait pertama lagu ini menggunakan bangsalan untuk menegaskan awal cerita. Nong alas golet kayu nangka/Nong Kelir liwat Kalipuro (Di hutan, mencari kayu nangka/Di hutan Kelir, lewat Kalipuro). Diksi hutan Kelir yang bisa ditempuh lewat Kalipuro tidak dimaksudkan sebagai petanda dari suatu kejadian, tetapi sekedar sampiran yang disesuaikan dengan isi yang disampaikan.
Adapun sampiran itu adalah Kari lawas, riko sing ana teka/Rasa kuwatir, nong ati mesti ana (Sudah lama kau tak jua datang/Rasa khawatir di hati pastilah ada). Bahwa kekasih hati si aku-lirik sudah terlalu lama pergi sehingga membuatnya merasa khawatir. Ekspresi tersebut merupaka penegasan eksistensial akan kemampuan batin untuk merasakan sesuatu yang ditakutkan.
Perginya kekasih tidak dijelaskan kemana, ini menimbulkan multi-tafsir dan membuka kesempatan bagi penikmat lagu untuk membuat rasionalisasi sendiri. Bisa jadi si kekasih pergi bekerja ke kota/ke luar negeri karena desakan ekonomi. Bisa pula ia menempuh pendidikan tinggi. Dan, yang membuat si aku-lirik khawatir karena tiada kabar tentang kekasihnya itu.
Kenyataan itu menjadikan si aku-lirik diliputi perasaan tidak menentu; berdebar, sedih, gelisah, yang semuanya dicakup dalam diksi semendal dalam baris berikutnya. Penggunaan kata semendal juga menjadi kekhasan dari lagu ini karena mampu menggambarkan perasaan kebanyakan orang Using ketika mereka diliputi perasaan tidak menentu dalam menghadapi urusan cinta, khususnya ketika terkait dengan hal-hal yang sedih.
Selain itu, penciptaan idiom baru, wohe ati, "buah hati", patut pula dinilai sebagai kekuatan diksional lagu ini. Frasa ini merupakan terjemahan dari “buah hati” yang sudah sangat lazim dalam bahasa Indonesia. Namun, penggunaan dalam bahasa Using, “wohe ati”, tidaklah lazim. Artinya, Yon’s mampu memberikan sesuatu yang baru dalam kasanah sastra lagu dan bahasa Using. Di sinilah kecerdasaran seorang pencipta lagu bisa dilihat.
Sementara, bait ketiga dan keempat (reff), merupakan representasi kesedihan mendalam (melas). Adakah kesedihan bagi seorang kekasih yang menanti selain kenyataan bahwa si pujaan hatinya wis laki (sudah menikah) dan wis nggendong bayi (sudah menggedong bayi), bukan dengan dirinya?
Rasa-rasanya tidak ada, kecuali kekasih yang hanya bermain-main dengan perasaan cintanya. Dalam budaya patriarkal lelaki memang digambarkan berkuasa, gentle, tidak cengeng, berpikir dan bertindak secara rasional. Sementara, perempuan menempati posisi sebaliknya.
Apa yang harus diingat adalah bahwa semua stereotipisasi biner yang membedakan subjek lelaki dan perempuan dalam masyarakat semata-mata konstruksi kultural yang dikembang-biakkan secara terus-menerus. Kenyataannya, tidak sedikit lelaki yang harus bersedih, bahkan menangis, ketika kekasih yang ia cintai bersama atau menikah dengan lelaki lain.
Dengan kata lain, lagu ini sekaligus membalik logika gender yang selama ini berlangsung dalam masyarakat. Kejujuran akan perasaan sedih yang dialami subjek lelaki dalam lagu ini secara tidak langsung menjadikan lelaki sadar bahwa mereka tetaplah makhluk cengeng ketika berurusan dengan cinta.
Memang, lagu ini bisa saja dinyanyikan penyanyi perempuan, seperti juga lagu-lagu lain yang diciptakan pengarang laki-laki. Namun, kalau kita kembalikan pada lirik wis nggendong bayi, lagu ini memang menempatkan perempuan sebagai subjek yang dimaksud oleh aku-lirik.
Penggunaan ekspresi sedih menyayat, duwe ta using roso rumongso (punya atau tidak rasa merasa), menegaskan bahwa kesalahan yang menjadikan si aku-lirik menderita batin terletak pada subjek perempuan. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari asumsi stereotip yang ada dalam masyarakat Using bahwa perempuan seringkali mudah meninggalkan lelaki kekasihnya ketika ada lelaki lain yang menurut mereka lebih pantas.
Maka, lagu ini seolah bersepakat dengan stereotipisasi tersebut. Meskipun demikian, ungkapan sedih menyayat itu tetaplah menunjukkan bahwa si aku-lirik sendirilah yang tidak mampu menguasai dirinya sebagai lelaki. Tidak seperti dalam lagu Sing Ono Jodoh yang tidak harus larut mengikuti perasaan sedih, tetapi memilih bersikap bijak dalam suasana positif-optimis; bahwa perpisahan sepasang kekasih tetap bisa dirajut-kembali dalam terma “saudara”.
Lagu lain bertema kegagalan cinta yang cukup populer dengan rumus ke-melas-an adalah Kembang Kertas. Tidak seperti metafor yang “kembang” digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial dan karakter masyarakat pada era 1970-an, dalam lagu Kembang Kertas, frasa ini dilekatkan kepada perasaan sedih-menyayat akibat tidak bisa berjodoh dengan pujaan hati.
Lagu Ping Pindho (Dua Kali) juga menuturkan kegagalan cinta yang kedua kali yang dialami seseorang. Seperti Kembang Kertas, lirik-liriknya mengusung wacana kesedihan yang cukup menyayat. Dengan demikian, wacana welas yang semakin melas merupakan transfomrasi dari meloisme yang ditawarkan dalam lagu-lagu Banyuwangian era Orde Baru, dengan perbedaan penekanan pada aspek kemenyayatannya.
Melow-isme yang semakin melas yang dipopulerkan oleh para penyanyi era awal 2000-an seperti Adistya Mayasari dan Catur Arum, berlanjut hingga saat ini di mana beberapa pencipta lagu muda bermunculan mengisi ruang musikal Banyuwangi. Sebut saja Demy. Mantan pengamen di bus antarkota ini menciptakan lagu-lagu (baik sendiri maupun berkolaborasi dengan seniman lain) yang sangat digemari hingga saat ini. Beberapa lagu yang sangat populer adalah Kanggo Riko (Untuk Mu) dan Tutupe Wirang (Penutup Rasa Malu).
Pengalaman hidup dia sebagai pengamen dan subjek miskin ikut mempengaruhi lirik dan wacana dalam lagu-lagu yang ia ciptakan dan nyanyikan.
Sing ono hang bisa ngalangi niat iki
Masio ta samudra, sun arungi
Sing ono hang bisa mbatesi welas iki
Masio ilang nyawa, sun belani
Paran baen sun lakoni, kanggo riko
Reff:
Siji sijine mug riko nong ati iki selawase
Separuh raga iki, yo ro mung kanggo riko
Mungkin ada saja yang membaca terjemahan dari lagu di atas akan berkata “lebay banget”, karena terlalu hiperbolis dalam mengekspresikan cinta kepada seseorang. Apalagi yang menciptakan lagu ini seorang lelaki yang terbiasa hidup dalam kerasnya terminal bus.
Namun, kalau kita memahami struktur perasaan orang miskin yang biasa menjalani kerasnya hidup, mereka tidak akan takut untuk mengejar cita-citanya atau rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawa. Termasuk untuk orang yang ia cintai, ia akan berjuang membahagiakan dan memberikan yang terbaik kepadanya, meskipun hal itu sangat sulit. Namun, “riko” (kau) di sini bisa juga ditafsir lain, yakni sesuatu yang dicita-citakan sejak dulu dan diperjuangkan secara ajeg oleh aku-lirik.
Demi memperjuangkan dan mendapatkan “riko” yang sangat ia harapkan, tidak ada sesuatu apapun, sebahaya apapun, yang bisa menghalangi. Masio samudra sun arungi (meskipun samudra aku arungi), masio ilang nyawa (meskipun hilang nyawa, aku jalani). Artinya, paragraf pertama dan kedua mengkonstruksi wacana kekuatan hati atau kebulatan tekad dari subjek untuk mewujudkan “niat”, mewujudkan impian, untuk mencintai “riko”, seseorang atau sesuatu yang sangat ia cintai.
Bahkan, samudra sebagai metafor halangan berupa perjalanan yang sangat sulit akan ia “arungi”. Pun demikian kematian tidak mampu menakuti aku-lirik untuk memperjuangkan welas-anya. Dengan kata lain, konstruksi konsep kekuatan batin dan kesiapan fisik untuk mendapatkan apa-apa atau mewujudkan cinta yang ia rasakan tidak bisa lagi dibatasi dan dihalangi untuk menuju kenyataan.
Argumen eksistensial yang mendasari semua perjuangannya adalah bahwa karena hanya “riko” (kamu) yang ada di batinnya untuk selamanya. Bahkan, keyakinan itu diperkuat dengan ungkapan “separuh raga ini, hanya untuk dikau”. Sekali lagi, ekspresi ini memang sangat lebay dan sudah sangat klasik.
Namun, bukankah banyak orang jatuh cinta yang masih melakukan hal serupa; menyampaikan ungkapan yang indah kepada orang yang ia cintai. Meskipun demikian, kita harus membaca konteks lagu ini sebagai perjuangan seorang miskin yang tidak memiliki uang, tetapi hanya raga dan kemauan tinggi untuk memperjuangkan cinta dan impiannya.
Menariknya, video klip lagu ini sama sekali tidak memunculkan sosok perempuan. Yang muncul adalah Demy sebagai pengamen di sebuah terminal di sebuah kota kecamatan Banyuwangi. Dia ‘dipalak’ oleh sekelompok preman terminal di mana mereka mengambil semua uang hasil mengamennya. Dalam keadaan hampir sekarat dia ditolong seorang lelaki bermobil yang ternyata seorang produser musik.
Mendengar lagu-lagu Demy, si lelaki mengajaknya rekaman. Akhirnya dia bisa menjadi penyanyi. Artinya, “kanggo riko” (Teruntukmu) di sini bisa kita tafsir sebagai perjuangan untuk mendapatkan kesuksesan sebagai penyanyi, meskipun banyak halangan dan rintangan. Namun dari lirik, sebagian besar penikmat menafsirnya sebagai ungkapan dan perjuangan seorang lelaki untuk orang yang dicintainya.
Terlepas dari bermacam tafsir tersebut, Demy berhasil membawa perjuangan seorang lelaki dalam memperjuangan apa-apa yang ia cintai dan impikan. Perjuangan di zaman yang kompetitif seperti sekarang ini di mana menuntut modal dan kemampuan, subjek miskin tidak boleh hanya pasrah oleh keadaan. Namun, mereka harus terus berjuang dan berkarya, seperti mengamen dan menciptakan lagu.
Modernitas dan zaman pasar tidak menerima orang-orang yang pasrah terhadap kondisi. Kompetisi di zaman pasar menuntut perjuangan yang tidak takut apapun; perjuangan yang disertai kemampuan dan keahlian tertentu. Dengan kemampuan itulah mereka bisa mewujudkan impian, termasuk cinta yang diperjuangkan ataupun cita-cita yang didambakan.
Selain Kanggo Riko, lagu karya Demy yang lain adalah Tutupe Wirang (Penutup Rasa Malu). Lagu ini menceritakan hubungan seorang lelaki dan perempuan yang sekedar menjadi penutup rasa malu karena perempuan yang ia cintai bukanlah perempuan yang sekarang bersama dia.
Salah satu kekuatan lagu ini adalah pada frase terakhir yang sekaligus menjadi judul lagu Tutupe Wirang. Bisa saya pastikan, frase ini sangat genuine, belum ada seorang pencipta lagu pun yang menggunakannya. Sebenarnya, kisah dalam lagu ini sangat biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana orang berumah tangga tidak bersama orang yang ia cintai.
Namun, penekanan kepada “tutupe wirang” memberikan kesan yang sangat berbeda. “Wirang” bukan sekedar malu, tetapi malu secara sosial karena ketidakberhasilan mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini adalah orang yang ia cintai. Alih-alih tidak memiliki pasangan, maka orang yang tidak ia cintaipun bisa hidup bersama. Bagi orang yang tidak mendapatkan pasangan tentu akan merasakan malu, apalagi ia hidup di desa di mana kedekatan antarwarga masih kuat.
Lagi-lagi yang menjadi objek dari permasalahan ini adalah perempuan. Perempuan pertama, figur yang menjadi tumpuhan cinta sebenarnya dari aku-lirik, menjadi representasi dari ketidakjelasan karena di mana ia sekarang berada tidak diketahui. Perempuan kedua, figur yang mendampingi aku-lirik meskipun tidak dicintai, merupakan representasi dari korban ketidakadilan jender karena ia hanya menjadi pelengkap penderita dari keadaan yang sekarang dialami si aku-lirik.
Entah disadari atau tidak, para pencipta lagu Banyuwangian ikut mengkonstruksi stereotipisasi perempuan Banyuwangi yang ‘bermasalah’. Dalam artian, mereka memunculkan masalah dalam sebuah hubungan cinta atau mereka dijadikan objek penderita dari permasalahan yang sebenarnya disebabkan oleh lelaki. Kedua posisi tersebut sama-sama tidak menguntungkan dan hanya memperburuk citra perempuan Banyuwangi yang secara genealogis sudah berlangsung sejak era kolonial.
Dalam perkembangan selanjutnya, penyanyi dan pencipta lagu yang masih sangat muda dari Banyuwangi, Wandra, mendapatkan respons publik yang sangat baik dengan lagunya Kelangan (Kehilangan). Sama seperti banyak lagu lainnya, lagu ini bertutur tentang seorang pujaan hati yang diambil orang lain sehingga si aku-lirik merasa kehilangan (kelangan).
Artinya, transformasi cinta dalam nuansa dan bahasa lokal memang masih mendominasi industri musik Banyuwangian dari era Orde Baru hingga pasca Reformasi saat ini. Hal itu sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari trend industri musik nasional yang masih mengusung tema-tema cinta sebagai wacana dominan. Para pencipta lagu Banyuwangian kontemporer adalah mereka yang terbiasa mendengarkan musik dan lagu dari band-band ternama ibu kota maupun mancanegara.
Namun, mereka juga sangat sadar bahwa nuansa dan bahasa Using masih sangat penting sebagai rumus pemikat calon konsumen karya-karya mereka. Di sinilah terjadi transformasi, di mana para pencipta lagu berusaha mentransformasi warna cinta dengan ungkapan-ungkapan yang sanga melokal di tengah-tengah musik dari ibu kota dan gaya hidup masyarakat yang mulai berubah.
Terlalu dominannya tema dan wacana melow-isme yang semakin mendayu-dayu dalam industri musik Banyuwangi memunculkan kritik terkait kemampuan kritis-kreatif para musisi era 2000-an yang nota-bene adalah generasi muda. Dwi Pranoto, salah satu pemerhati budaya Banyuwangian, memaparkan:
Tema-tema sosial dalam syair lagu-lagu Banyuwangian yang digubah pada masa kini, atau yang digubah oleh angkatan terkini, sekarang nyaris tidak ditemukan. Produksi lagu-lagu Banyuwangian yang saat ini telah menjadi bisnis menguntungkan dan sangat dipengaruhi oleh industri rekaman rupanya telah mengubah kecederungan pemilihan tema dalam syair lagu...
... yang lebih dekat dengan tema-tema yang ada dalam syair-syair lagu berbahasa Indonesia populer seperti yang dinyanyikan Peterpan dan Ungu. Industri rekaman dengan sistem pemasarannya yang agresif rupanya tak hanya mampu membentuk kecenderungan selera konsumen, namun sekaligus berpengaruh kuat dalam proses kreatif penggubahan lagu-lagu Banyuwangian. (Pranoto, 2011: 45)
Memang benar, industri memiliki rumus baku dalam memproduksi dan memasarkan lagu ke masyarakat. Mereka lebih menyukai tema-tema yang sedang trend, yakni cinta. Namun, sebenarnya tidak semua produser rekaman membatasi para pencipta lagu hanya pada tembang-tembang beraroma cinta.
Dalam satu album, misalnya, mereka juga memberi kesempatan kepada pencipta lagu dan penyanyi untuk mempersembahkan lagu bertema sosial, budaya. Kalaupun kemudian tema cinta yang menguasai wacana lagu-lagu Banyuwangian, itu semua karena para pencipta lagu lebih suka mengikuti trend dan kehendak produser yang tidak mau ruwet.
Sekali lagi, tema-tema lain sangat mungkin diangkat, asalkan disampaikan dengan diksi yang menarik dan nada lagu yang enak didengar serta memiliki karakteristik. Dengan kreativitas mumpuni dan kesadaran produser, para pencipta lagu dan musisinya bisa membentuk pasar, seperti yang dilakukan oleh Yon’S DD, Catur Arum, dan Adistya di POB.
SIMPULAN
Dari pembacaan teks dan wacana lagu Banyuwangian di era pascareformasi, kita terdapat model melow-isme yang semakin melas, mengusung kisah-kisah cinta di masyarakat Banyuwangi yang mengutamakan kepada penggunaan diksi atau metafor yang menegaskan luka hati karena cinta yang kandas; dikhianati, ditinggal pergi, dan lain-lain.
Perkembangan meloisme yang terlalu ini memang patut dipertanyakan karena para pencipta lagu pasca Reformasi sebenarnya memiliki sumber bacaan, informasi, dan medan kreativitas yang semakin beragam dan kompleks, dari urusan personal, permasalahan ekonomi dan politik, hingga permasalahan budaya.
Rumus ringkas untuk menjadikan karya mereka populer di masyarakat menjadikan pilihan terhadap meloisme masih menguat hingga saat ini. Lebih jauh, meloisme yang terlalu tidak mampu menegosiasikan lokalitas dalam konteks dinamika globalisasi. Alih-alih, mengkonstruksi wacana yang semakin stereotip tentang kisah cinta di bumi Banyuwangi yang seringkali berakhir dengan luka mendalam, baik yang dialami pihak perempuan ataupun laki-laki.
Memang, sebagai rumus industrial, meloisme mampu menjadi kekuatan kreatif yang bisa menjadikan industri musik Banyuwangian terus bergerak karena sangat digemari masyarakat luas. Hal ini juga bukan sebuah kebetulan karena sejak lama masyarakat lokal sudah terbiasa dengan tema-tema cinta yang mendayu-dayu, baik yang mereka dengar dari kendang kempul ataupun musik-musik produksi major label Jakarta.
Namun apa yang dilupakan dari ketenaran meloisme ini adalah kenyataan historis bahwa para seniman musik Banyuwangian di masa lalu pernah menelorkan karya-karya yang terikat dengan lingkungan dan permasalahan sosio-kultural yang dihadapi masyarakat. Baik lagu-lagu gandrung maupun angklung mengusung wacana-wacana kritik sosial terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Melow-isme dalam gerak industrial telah menjadikan musik Banyuwangian kehilangan wacana kritik.
Lebih dari itu, kondisi ini menjadikan masyarakat penikmat minim alternatif tema lagu sehingga mereka semakin larut dalam konstruksi eskapis-romantis yang mengharu-biru dan mendayu-dayu yang seolah-olah mewakili sebagian permasalahan cinta mereka.
BACAAN
Pranoto, Dwi. 2011. “Dari M. Arief sampai Catur Arum”. Dalam Lembar Kebudayaan, No. 19, 37-46.
Sariono, Agus, Andang Subaharianto, Heru SP. Saputra, & Ikwan Setiawan. 2009. Rancak Tradisi dalam Gerak Industri: Pemberdayaan Kesenian Tradisi-Lokal dalam Perspektif Industri Kreatif (Belajar dari Banyuwangi). Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional (belum dipublikasikan). Jember: Fakutas Sastra Universitas Jember.
Setiawan, Ikwan. 2007. “Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyian Masa Kini: Hibridasi dan Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using”. Dalam dalam Jurnal Kultur, Vol. 1, No. 2.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI