Rasa-rasanya tidak ada, kecuali kekasih yang hanya bermain-main dengan perasaan cintanya. Dalam budaya patriarkal lelaki memang digambarkan berkuasa, gentle, tidak cengeng, berpikir dan bertindak secara rasional. Sementara, perempuan menempati posisi sebaliknya.
Apa yang harus diingat adalah bahwa semua stereotipisasi biner yang membedakan subjek lelaki dan perempuan dalam masyarakat semata-mata konstruksi kultural yang dikembang-biakkan secara terus-menerus. Kenyataannya, tidak sedikit lelaki yang harus bersedih, bahkan menangis, ketika kekasih yang ia cintai bersama atau menikah dengan lelaki lain.
Dengan kata lain, lagu ini sekaligus membalik logika gender yang selama ini berlangsung dalam masyarakat. Kejujuran akan perasaan sedih yang dialami subjek lelaki dalam lagu ini secara tidak langsung menjadikan lelaki sadar bahwa mereka tetaplah makhluk cengeng ketika berurusan dengan cinta.
Memang, lagu ini bisa saja dinyanyikan penyanyi perempuan, seperti juga lagu-lagu lain yang diciptakan pengarang laki-laki. Namun, kalau kita kembalikan pada lirik wis nggendong bayi, lagu ini memang menempatkan perempuan sebagai subjek yang dimaksud oleh aku-lirik.
Penggunaan ekspresi sedih menyayat, duwe ta using roso rumongso (punya atau tidak rasa merasa), menegaskan bahwa kesalahan yang menjadikan si aku-lirik menderita batin terletak pada subjek perempuan. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari asumsi stereotip yang ada dalam masyarakat Using bahwa perempuan seringkali mudah meninggalkan lelaki kekasihnya ketika ada lelaki lain yang menurut mereka lebih pantas.
Maka, lagu ini seolah bersepakat dengan stereotipisasi tersebut. Meskipun demikian, ungkapan sedih menyayat itu tetaplah menunjukkan bahwa si aku-lirik sendirilah yang tidak mampu menguasai dirinya sebagai lelaki. Tidak seperti dalam lagu Sing Ono Jodoh yang tidak harus larut mengikuti perasaan sedih, tetapi memilih bersikap bijak dalam suasana positif-optimis; bahwa perpisahan sepasang kekasih tetap bisa dirajut-kembali dalam terma “saudara”.
Lagu lain bertema kegagalan cinta yang cukup populer dengan rumus ke-melas-an adalah Kembang Kertas. Tidak seperti metafor yang “kembang” digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial dan karakter masyarakat pada era 1970-an, dalam lagu Kembang Kertas, frasa ini dilekatkan kepada perasaan sedih-menyayat akibat tidak bisa berjodoh dengan pujaan hati.
Lagu Ping Pindho (Dua Kali) juga menuturkan kegagalan cinta yang kedua kali yang dialami seseorang. Seperti Kembang Kertas, lirik-liriknya mengusung wacana kesedihan yang cukup menyayat. Dengan demikian, wacana welas yang semakin melas merupakan transfomrasi dari meloisme yang ditawarkan dalam lagu-lagu Banyuwangian era Orde Baru, dengan perbedaan penekanan pada aspek kemenyayatannya.
Melow-isme yang semakin melas yang dipopulerkan oleh para penyanyi era awal 2000-an seperti Adistya Mayasari dan Catur Arum, berlanjut hingga saat ini di mana beberapa pencipta lagu muda bermunculan mengisi ruang musikal Banyuwangi. Sebut saja Demy. Mantan pengamen di bus antarkota ini menciptakan lagu-lagu (baik sendiri maupun berkolaborasi dengan seniman lain) yang sangat digemari hingga saat ini. Beberapa lagu yang sangat populer adalah Kanggo Riko (Untuk Mu) dan Tutupe Wirang (Penutup Rasa Malu).
Pengalaman hidup dia sebagai pengamen dan subjek miskin ikut mempengaruhi lirik dan wacana dalam lagu-lagu yang ia ciptakan dan nyanyikan.
Sing ono hang bisa ngalangi niat iki
Masio ta samudra, sun arungi
Sing ono hang bisa mbatesi welas iki
Masio ilang nyawa, sun belani
Paran baen sun lakoni, kanggo riko
Reff:
Siji sijine mug riko nong ati iki selawase
Separuh raga iki, yo ro mung kanggo riko
Mungkin ada saja yang membaca terjemahan dari lagu di atas akan berkata “lebay banget”, karena terlalu hiperbolis dalam mengekspresikan cinta kepada seseorang. Apalagi yang menciptakan lagu ini seorang lelaki yang terbiasa hidup dalam kerasnya terminal bus.