Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Musik Banyuwangian di Era Pasar: Melow-isme di Ruang Lokal

13 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 8 Maret 2022   21:14 4051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover VCD Patrol Orkestra Banyuwangi (POB). Dok. argamisu.blogspot.com

Produser musik Banyuwangi, seperti Miswan, sedari awal sadar terhadap trend new media. Bisa dikatakan Samudra Record yang ia pimpinlah yang mengawali kerja serius untuk menggarap new media sebagai basis monetisasi untuk menghasilkan uang. Ketika perusahaan rekaman lain di Banyuwangi, bahkan di Jakarta, masih menggunakan VCD/DVD, Miswan secara khusus membentuk tim IT untuk memaksimalkan penghasilan melalui Youtube dan aplikasi lain. 

Keberhasilan Samudra Record itulah yang kemudian diikuti oleh perusahaan rekaman lain seperti Sandi Record, Aneka Ria Safari Record, Khatulistiwa Record, One Nana Record, dan perusahaan lain di Banyuwangi. Meskipun demikian, para produser tetap memilih tema-tema tertentu yang laku di pasaran. 

MELOW-ISME CINTA: "WELAS" YANG SEMAKIN "MELAS"

Semebyar (Cipt. Yon's DD) begitu fenomenal ketika dinyanyikan Adistya Mayasari dan diiringi POB. Secara umum, lagu tersebut menceritakan kesedihan hati seorang (perempuan) yang menunggu kedatangan tunangannya yang pergi tanpa sebab yang jelas. Dua bait pertama lagu ini menceritakan secara gamblang perasaan batin si penanti sejak ditinggal kekasihnya.

Kondisi itu tentu saja disebabkan karena perasaan sedih akibat perginya kekasih. Apalagi, kabar perjodohan mereka sudah menyebar dan diketauhi oleh banyak orang. Wajar kiranya kalau dia merasakan rasa sedih dan rasa malu yang bercampur menjadi satu. Perginya salah satu pihak dari dua insan yang sudah bertunangan/hendak menikah, tentu bukan hal baru dalam masyarakat. 

Banyaknya kasus tersebut di masyarakat menjadi inspirasi yang ditransformasi secara cerdas dan kreatif oleh pencipta lagu ini sekaligus sebagai formula komersil yang menjadikan lagu ini meledak di pasaran dan mampu menyamai level keterkenalan seperti yang diperoleh Gelang Alit dan tembang-tembang legendaris lainnya.

(I) Sing tau-tau o, ati nisun bingung gedigi
Sakat riko tinggal, urip isun rasane kaya nggantung
Pikiran sering ngelamun
Sampek awak dadi kaya wong linglung 

(II) Kabar wis semebyar
Riko lan isun arep jejodohan
Embuh keneng setan paran,
Riko ninggal isun tanpa jalaran

Reff:

Mulo titip salam 
nong angin lan derese udan
Warahen isun ngenteni, tekan riko eman
Embuh sampe kapan 

Isun emong nanggung wirang 
Sun anteni nang cracabane lawang

Kalau kita simak lagi, Yon's dan Catur banyak menggunakan kata dan frasa yang sangat lokal, dalam artian istilah tersebut sangat khas dalam bahasa sehari-hari dan mewakili perasaan atau kondisi tertentu, tetapi tidak banyak pencipta lagu yang menggunakan. "Urip isun rasane kaya nggantung" (hidupku rasanya seperti menggantung) misalnya, menegaskan sebuah kondisi yang tidak menentu yang dialami seseorang karena ketidakjelasan nasib sebuah hubungan perjodohan atau cinta. 

Dengan menggunakan kata "nggantung", lagu ini berusaha mengajak penikmat untuk membandingkan dengan kisah yang mereka alami atau orang lain alami. Sementara, "kabar wis semebyar" (kabar sudah menyebar luas) adalah penegasan bahwa berita tentang perjodohan mereka sudah menyebar kemana-mana. Artinya, secara sosial, hubungan mereka sudah diketahui. Kata "semebyar" ini sangat khas dan belum pernah digunakan oleh pencipta lagu lain untuk mendeskripsikan permasalahan cinta. 

"Embuh keneng setan paran" (entah kena setan apa), merupakan ekspresi ketidaktahuan yang mendalam, karena tanpa tahu penyebab dan alasan yang jelas. Setan adalah makhluk yang tidak pernah jelas, sehingga untuk mengungkapkan ketidaktahuan akan penyebab terjadinya sesuatu masyarakat seringkali bilang "kena setan apa". 

"Mulo titip salam nong angin lan derese udan" (maka titip salam kepada angin dan derasnya hujan) merupakan ungkapan perasaan yang tetap setia meskipun tidak tahu lagi harus dengan jalan apa aku-lirik bisa bersua kembali dengan tunangannya. Karena di manapun ia berada, masihlah mengalami peristiwa hujan dan datangnya angin. 

Hanya kepada angin dan hujanlah ia bisa menitip salam karena sudah tidak tahu lagi kepada siapa ia mesti menitipkan harapan untuk bisa segera bertemu kekasihnya. Adapun "nong cracabane lawang" adalah di depan pintu. Frasa ini juga belum pernah digunakan oleh pencipta lagu Banyuwangian, baik pada era 1970-an, 1980-an, 1990-an, dan 2000-an. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun