Salah satu kekuatan lagu ini adalah pada frase terakhir yang sekaligus menjadi judul lagu Tutupe Wirang. Bisa saya pastikan, frase ini sangat genuine, belum ada seorang pencipta lagu pun yang menggunakannya. Sebenarnya, kisah dalam lagu ini sangat biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana orang berumah tangga tidak bersama orang yang ia cintai.
Namun, penekanan kepada “tutupe wirang” memberikan kesan yang sangat berbeda. “Wirang” bukan sekedar malu, tetapi malu secara sosial karena ketidakberhasilan mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini adalah orang yang ia cintai. Alih-alih tidak memiliki pasangan, maka orang yang tidak ia cintaipun bisa hidup bersama. Bagi orang yang tidak mendapatkan pasangan tentu akan merasakan malu, apalagi ia hidup di desa di mana kedekatan antarwarga masih kuat.
Lagi-lagi yang menjadi objek dari permasalahan ini adalah perempuan. Perempuan pertama, figur yang menjadi tumpuhan cinta sebenarnya dari aku-lirik, menjadi representasi dari ketidakjelasan karena di mana ia sekarang berada tidak diketahui. Perempuan kedua, figur yang mendampingi aku-lirik meskipun tidak dicintai, merupakan representasi dari korban ketidakadilan jender karena ia hanya menjadi pelengkap penderita dari keadaan yang sekarang dialami si aku-lirik.
Entah disadari atau tidak, para pencipta lagu Banyuwangian ikut mengkonstruksi stereotipisasi perempuan Banyuwangi yang ‘bermasalah’. Dalam artian, mereka memunculkan masalah dalam sebuah hubungan cinta atau mereka dijadikan objek penderita dari permasalahan yang sebenarnya disebabkan oleh lelaki. Kedua posisi tersebut sama-sama tidak menguntungkan dan hanya memperburuk citra perempuan Banyuwangi yang secara genealogis sudah berlangsung sejak era kolonial.
Dalam perkembangan selanjutnya, penyanyi dan pencipta lagu yang masih sangat muda dari Banyuwangi, Wandra, mendapatkan respons publik yang sangat baik dengan lagunya Kelangan (Kehilangan). Sama seperti banyak lagu lainnya, lagu ini bertutur tentang seorang pujaan hati yang diambil orang lain sehingga si aku-lirik merasa kehilangan (kelangan).
Artinya, transformasi cinta dalam nuansa dan bahasa lokal memang masih mendominasi industri musik Banyuwangian dari era Orde Baru hingga pasca Reformasi saat ini. Hal itu sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari trend industri musik nasional yang masih mengusung tema-tema cinta sebagai wacana dominan. Para pencipta lagu Banyuwangian kontemporer adalah mereka yang terbiasa mendengarkan musik dan lagu dari band-band ternama ibu kota maupun mancanegara.
Namun, mereka juga sangat sadar bahwa nuansa dan bahasa Using masih sangat penting sebagai rumus pemikat calon konsumen karya-karya mereka. Di sinilah terjadi transformasi, di mana para pencipta lagu berusaha mentransformasi warna cinta dengan ungkapan-ungkapan yang sanga melokal di tengah-tengah musik dari ibu kota dan gaya hidup masyarakat yang mulai berubah.
Terlalu dominannya tema dan wacana melow-isme yang semakin mendayu-dayu dalam industri musik Banyuwangi memunculkan kritik terkait kemampuan kritis-kreatif para musisi era 2000-an yang nota-bene adalah generasi muda. Dwi Pranoto, salah satu pemerhati budaya Banyuwangian, memaparkan:
Tema-tema sosial dalam syair lagu-lagu Banyuwangian yang digubah pada masa kini, atau yang digubah oleh angkatan terkini, sekarang nyaris tidak ditemukan. Produksi lagu-lagu Banyuwangian yang saat ini telah menjadi bisnis menguntungkan dan sangat dipengaruhi oleh industri rekaman rupanya telah mengubah kecederungan pemilihan tema dalam syair lagu...
... yang lebih dekat dengan tema-tema yang ada dalam syair-syair lagu berbahasa Indonesia populer seperti yang dinyanyikan Peterpan dan Ungu. Industri rekaman dengan sistem pemasarannya yang agresif rupanya tak hanya mampu membentuk kecenderungan selera konsumen, namun sekaligus berpengaruh kuat dalam proses kreatif penggubahan lagu-lagu Banyuwangian. (Pranoto, 2011: 45)
Memang benar, industri memiliki rumus baku dalam memproduksi dan memasarkan lagu ke masyarakat. Mereka lebih menyukai tema-tema yang sedang trend, yakni cinta. Namun, sebenarnya tidak semua produser rekaman membatasi para pencipta lagu hanya pada tembang-tembang beraroma cinta.
Dalam satu album, misalnya, mereka juga memberi kesempatan kepada pencipta lagu dan penyanyi untuk mempersembahkan lagu bertema sosial, budaya. Kalaupun kemudian tema cinta yang menguasai wacana lagu-lagu Banyuwangian, itu semua karena para pencipta lagu lebih suka mengikuti trend dan kehendak produser yang tidak mau ruwet.
Sekali lagi, tema-tema lain sangat mungkin diangkat, asalkan disampaikan dengan diksi yang menarik dan nada lagu yang enak didengar serta memiliki karakteristik. Dengan kreativitas mumpuni dan kesadaran produser, para pencipta lagu dan musisinya bisa membentuk pasar, seperti yang dilakukan oleh Yon’S DD, Catur Arum, dan Adistya di POB.