Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Musik Banyuwangian di Era Pasar: Melow-isme di Ruang Lokal

13 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 8 Maret 2022   21:14 4051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lagu Banyuwangi, lagu-lagu kesaksian seperti ini sudah populer sejak era 1970-an, seperti dalam lagu Sing Ono Jodoh (Armaya). Namun, dalam lagu Armaya perasaan sedih akibat ditinggal kekasih menikah tidak harus menjadi perasaan melas yang terus dipendam, tetapi diselesaikan dengan sikap bijak; menjadi ‘saudara’. 

Sekali lagi, tema cinta yang gagal atau ditinggal menikah kekasih terus direproduksi dalam lagu-lagu Banyuwangi pada era 2000-an dengan latar cerita yang berbeda satu sama lain.  Keragaman latar cerita menjadi pembeda sekaligus formula laris sebuah lagu. Apabila tidak ada yang menjadi pembeda, semisal dari diksi yang dipilih serta kekhasan nada, sebuah lagu, meskipun mengusung tema cinta yang mendayu-dayu tidak akan laku oleh publik. Di sinilah tantangan nyata bagi para pencipta lagu Banyuwangian.  

(I) Nong alas, nggolet kayu nongko
Nong Kelir, liwat Kalipuro
Kari lawas, riko sing ana teka
Rasa kuwatir, nong ati mesti ana  

(II) Sing luput, krentege batin iki
Rungu kabar, kok riko wis rabi
Semendal, semendal rasane ati
Hang sun welasi, tego nggowo wohe ati

Reff:

Masiyo saiki, riko wis laki
Welas isun, angel diilangi
Saktemene tatu batin iki,
Nyawang riko, wis nyanding wong liya 

Tambah maning, perih batin iki
Nolih riko, wis nggendong bayi
He iye … kari lara
Duwe tah using, rasa rumangsa
He iye … kari lara
Duwe tah using, rasa rumangsa 

Salah satu keunikan lagu ini adalah penggunaan bangsalan (pantun Using) dalam bait pertama serta penggunaan rima yang sama dalam bait-baitnya. Bangsalan merupakan pantun yang biasa digunakan oleh masyarakat Using ketika berbincang dalam suasana santai, baik itu bertamu maupun santai bersama. Dalam lagu-lagu era 70-an, penggunaan bangsalan sangat kental. 

Demikian pula dengan rima yang relatif sama, baik dalam bait maupun dalam baris. Hal itu memudahkan penikmat lagu untuk meresapi dan merasakan suasana melo dan melas yang dihadirkan lagu ini. Apalagi dengan cerita sedih seorang lelaki yang mendapati kenyataan kekasihnya sudah menikah dan beranak dengan lelaki lain. Tema semacam ini banyak terjadi di masyarakat.

Bait pertama lagu ini menggunakan bangsalan untuk menegaskan awal cerita. Nong alas golet kayu nangka/Nong Kelir liwat Kalipuro (Di hutan, mencari kayu nangka/Di hutan Kelir, lewat Kalipuro). Diksi hutan Kelir yang bisa ditempuh lewat Kalipuro tidak dimaksudkan sebagai petanda dari suatu kejadian, tetapi sekedar sampiran yang disesuaikan dengan isi yang disampaikan. 

Adapun sampiran itu adalah Kari lawas, riko sing ana teka/Rasa kuwatir, nong ati mesti ana  (Sudah lama kau tak jua datang/Rasa khawatir di hati pastilah ada). Bahwa kekasih hati si aku-lirik sudah terlalu lama pergi sehingga membuatnya merasa khawatir. Ekspresi tersebut merupaka penegasan eksistensial akan kemampuan batin untuk merasakan sesuatu yang ditakutkan. 

Perginya kekasih tidak dijelaskan kemana, ini menimbulkan multi-tafsir dan membuka kesempatan bagi penikmat lagu untuk membuat rasionalisasi sendiri. Bisa jadi si kekasih pergi bekerja ke kota/ke luar negeri karena desakan ekonomi. Bisa pula ia menempuh pendidikan tinggi. Dan, yang membuat si aku-lirik khawatir karena tiada kabar tentang kekasihnya itu.

Cover VCD Album Duwe Tah Using. Dok. argamisun.blogspot.com
Cover VCD Album Duwe Tah Using. Dok. argamisun.blogspot.com
Bait kedua merupakan penegasan akan kebenaran rasa khawatir yang selama ini ia rasakan: Sing luput krentege batin iki/Krungu kabar kok riko wis laki (Tak salah rasa dalam batin ini/Mendengar kabar kau sudah menikah). Ia mendengar kabar bahwa si kekasih hati sudah menikah. 

Kenyataan itu menjadikan si aku-lirik diliputi perasaan tidak menentu; berdebar, sedih, gelisah, yang semuanya dicakup dalam diksi semendal dalam baris berikutnya. Penggunaan kata semendal juga menjadi kekhasan dari lagu ini karena mampu menggambarkan perasaan kebanyakan orang Using ketika mereka diliputi perasaan tidak menentu dalam menghadapi urusan cinta, khususnya ketika terkait dengan hal-hal yang sedih. 

Selain itu, penciptaan idiom baru, wohe ati, "buah hati", patut pula dinilai sebagai kekuatan diksional lagu ini. Frasa ini merupakan terjemahan dari “buah hati” yang sudah sangat lazim dalam bahasa Indonesia. Namun, penggunaan dalam bahasa Using, “wohe ati”, tidaklah lazim. Artinya, Yon’s mampu memberikan sesuatu yang baru dalam kasanah sastra lagu dan bahasa Using. Di sinilah kecerdasaran seorang pencipta lagu bisa dilihat.

Sementara, bait ketiga dan keempat (reff), merupakan representasi kesedihan mendalam (melas). Adakah kesedihan bagi seorang kekasih yang menanti selain kenyataan bahwa si pujaan hatinya wis laki (sudah menikah) dan wis nggendong bayi (sudah menggedong bayi)bukan dengan dirinya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun