SIMPULAN
Dari pembacaan teks dan wacana lagu Banyuwangian di era pascareformasi, kita terdapat model melow-isme yang semakin melas, mengusung kisah-kisah cinta di masyarakat Banyuwangi yang mengutamakan kepada penggunaan diksi atau metafor yang menegaskan luka hati karena cinta yang kandas; dikhianati, ditinggal pergi, dan lain-lain.
Perkembangan meloisme yang terlalu ini memang patut dipertanyakan karena para pencipta lagu pasca Reformasi sebenarnya memiliki sumber bacaan, informasi, dan medan kreativitas yang semakin beragam dan kompleks, dari urusan personal, permasalahan ekonomi dan politik, hingga permasalahan budaya.
Rumus ringkas untuk menjadikan karya mereka populer di masyarakat menjadikan pilihan terhadap meloisme masih menguat hingga saat ini. Lebih jauh, meloisme yang terlalu tidak mampu menegosiasikan lokalitas dalam konteks dinamika globalisasi. Alih-alih, mengkonstruksi wacana yang semakin stereotip tentang kisah cinta di bumi Banyuwangi yang seringkali berakhir dengan luka mendalam, baik yang dialami pihak perempuan ataupun laki-laki.
Memang, sebagai rumus industrial, meloisme mampu menjadi kekuatan kreatif yang bisa menjadikan industri musik Banyuwangian terus bergerak karena sangat digemari masyarakat luas. Hal ini juga bukan sebuah kebetulan karena sejak lama masyarakat lokal sudah terbiasa dengan tema-tema cinta yang mendayu-dayu, baik yang mereka dengar dari kendang kempul ataupun musik-musik produksi major label Jakarta.
Namun apa yang dilupakan dari ketenaran meloisme ini adalah kenyataan historis bahwa para seniman musik Banyuwangian di masa lalu pernah menelorkan karya-karya yang terikat dengan lingkungan dan permasalahan sosio-kultural yang dihadapi masyarakat. Baik lagu-lagu gandrung maupun angklung mengusung wacana-wacana kritik sosial terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Melow-isme dalam gerak industrial telah menjadikan musik Banyuwangian kehilangan wacana kritik.
Lebih dari itu, kondisi ini menjadikan masyarakat penikmat minim alternatif tema lagu sehingga mereka semakin larut dalam konstruksi eskapis-romantis yang mengharu-biru dan mendayu-dayu yang seolah-olah mewakili sebagian permasalahan cinta mereka.
BACAAN
Pranoto, Dwi. 2011. “Dari M. Arief sampai Catur Arum”. Dalam Lembar Kebudayaan, No. 19, 37-46.
Sariono, Agus, Andang Subaharianto, Heru SP. Saputra, & Ikwan Setiawan. 2009. Rancak Tradisi dalam Gerak Industri: Pemberdayaan Kesenian Tradisi-Lokal dalam Perspektif Industri Kreatif (Belajar dari Banyuwangi). Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional (belum dipublikasikan). Jember: Fakutas Sastra Universitas Jember.
Setiawan, Ikwan. 2007. “Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyian Masa Kini: Hibridasi dan Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using”. Dalam dalam Jurnal Kultur, Vol. 1, No. 2.