Dalam konteks industri kreatif, inkorporasi musik lokal  ke dalam mekanisme industri melalui format VCD/DVD menegaskan bahwa produk-produk budaya lokal bisa 'bercumbu' dengan produk teknologi modern agar terus bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat. Teknologi modern bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dijauhi, tetapi sebisa mungkin dimanfaatkan untuk perluasan "medan pengaruh" dari keberadaan musik lokal.Â
Dalam industri musik Banyuwangian, para pemodal memang berusaha menjadikan produk-produk musik industrial yang mereka hasilkan menjadi praktik kultural konsensual di masyarakat, sehingga akan mendatangkan keuntungan finansial. Musik lokal dikomodifikasi dalam produk-produk baru yang sesuai dengan selera pasar karena memori kolektif masyarakat masih mengingat mereka.Â
Maka, hadirlah musik pop Banyuwangian bernuansa hibrid yang dikembangkan oleh para seniman muda. Dengan membangun jejaring inkorporasi ini, para pemodal sebenarnya terus-menerus menggairahkan kehidupan industri musik di tingkat lokal yang produk-produknya akan terus dikonsumsi oleh publik.Â
Dengan demikian, mereka akan terhindar dari tuduhan terkait kapitalisasi kultural, karena realitasnya para seniman lokal juga butuh dan senang ketika masuk ke dalam mekanisme industri yang menguntungkan, sekaligus tetap menjadikan karya-karya seni mereka beredar dalam lalu-lintas kultural masyarakat.
Ketika hegemoni industri budaya berlangsung, maka masyarakat dengan muda masuk ke dalam peradaban neoliberal. Untuk bisa menikmati musik Banyuwangian, mereka cukup mengeluarkan uang Rp. 10.000, 00 sampai Rp. 12.500, 00 dan bisa membawa VCD-VCD sesuai selera mereka.Â
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan mekanisme tersebut, maka dengan mudah pihak industri menciptakan subgenre baru yang disesuaikan dengan selera dan kecenderungan pasar lokal yang ikut terpengaruh oleh trend yang berasal dari pasar regional, nasional, maupun global. Tidak mengherankan kalau muncul dangdut koplo, disco, dan house music Banyuwangian. Pilihan-pilihan tematik lagu juga lebih terfokus pada tema-tema yang sedang populer di masyarakat seperti tema romantis.Â
Tema-tema kritis yang dulu pernah jaya pada masa Sukarno, sangat jarang ditemukan, meskipun masih ada beberapa seniman yang menciptakan tema serupa. Alasan yang umum dimunculkan adalah  "pasar lebih suka yang kayak gitu", "gimana lagi, zamannya sudah seperti itu", "masyarakat kita memang sudah berubah", dan lain-lain.Â
Konsekuensi itulah yang harus ditanggung ketika peradaban pasar mulai berkuasa dan berjalan beriringan dengan mekanisme dan praktik industri musik di tingkat lokal. Meskipun demikian, inkorporasi industri budaya terhadap potensi musik lokal tidak harus melulu dilihat dari perspektif yang menyalahkan para seniman-seniman yang terlibat di dalamnya.Â
Bagaimanapun, mereka adalah bagian integral dari masyarakat lokal-regional-nasional yang sedang mengalami transformasi dalam bidang ekonomi politik. Selain itu, bagaimana mereka menemukan formula komersil melalui transformasi lokalitas di era pascareformasi merupakan konstruksi yang menarik untuk dicermati.
Dalam konteks sosio-kultural dan ekonomi di ataslah, para musisi Banyuwangi berada. Di satu sisi, mereka membutuhkan uang untuk bertahan dalam budaya pasar. Di sisi lain, mereka ingin ikut menyemarakkan kehidupan kultural yang tersentral dalam tradisi pasar agar musik Banyuwangi tetap digemari masyarakat di tengah-tengah semakin beragamnya pilihan produk pasar yang digerakkan dari Jakarta.Â
Dengan kata lain, proses masuknya mereka ke sistem mekanisme industri merupakan siasat untuk bisa diterima pasar, sekaligus strategi untuk menegosiasikan eksistensi budaya lokal. Kalau memang pada akhirnya, musik pop-etnis hibridl yang lebih populer, hal itu memang bisa dibaca sebagai bentuk hegemoni industri budaya terhadap kreativitas para seniman muda.Â