Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Empat Mata dan Tukulisme ala Kandidat Doktor

30 November 2021   04:00 Diperbarui: 30 November 2021   04:05 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan yang berasal dari kajian etnografi media pada tahun 2007 di Yogyakarta ini saya persembahkan kepada Mas Tukul Arwana yang tengah berjuang untuk kembali sehat. Semoga beliau diberikan kesembuhan dan segera pulih. Banyak cinta dan doa untuk beliau, karena entah sudah berapa juta manusia merasa terhibur, termasuk para kandidat doktor UGM yang menjadi informan dalam tulisan ini. 

AWALAN: MERAYAKAN KOMEDI DI DEPAN TV 

Diakui atau tidak, Tukul Arwana bersama tayangan Empat Mata yang mulai ditayangkan Trans 7 pada 26 Desember 2006, pernah menjadi ikon tayangan talkshow komedi di Indonesia. Bahkan, popularitas Empat Mata, mengilhami produksi acara serupa di Indosiar, yakni SMS (Senin Malam Selasa) yang mengusung format serupa: talkshow yang dipandu tokoh komedian dengan menghadirkan deretan selebritas serta mengambil tema-tema populis yang berkembang dalam masyarakat.

RCTI membuat program Catatan Si Tukul, Catatan Si Komeng, dan Catatan Si Eko. Namun, semua talkshow tersebut belum mampu mengimbangi ketenaran Empat Mata, dengan si 'kristalisasi keringat' Tukul Arwana sebagai host-nya. Talkshow yang ditayangkan Trans 7 dari Senin-Jum'at ini mampu 'menghentak' industri budaya tanah air. Tampang 'ndeso' si Tukul ternyata mampu menyedot perhatian jutaan penonton, dari orang biasa, mahasiwa (dalam negeri maupun yang di luar negeri), TKI/TKW, hingga para pejabat politik negeri ini.

Ketenaran Empat Mata menghadirkan kekhawatiran dalam bentuk "kepanikan moral" bagi institusi pengawas media, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan dan pengendalian urusan media penyiaran di Indonesia.

Salah satu yang menjadi sumber kepanikan adalah adegan-adegan "cipika-cipiki" Tukul dengan bintang tamu, meski ada juga yang menolak, serta celetukan-celetukan humor yang dikatakan berbau porno. Tindakan KPI dilakukan dengan memberi surat teguran kepada tim kreatif Empat Mata untuk lebih memperhatikan etika moralitas masyarakat. Tindakan yang diambil KPI, bisa dikategorikan sebagai bentuk kepanikan akan pengaruh negatif tayangan ini bagi keberlangsungan kesopanan dalam masyarakat.

Cara pandang tersebut tentu saja menegasikan potensi keragaman penerimaan pemirsa dalam proses konsumsi/menonton Empat Mata. Pemirsa bukanlah 'tabung kosong' yang dengan mudah diisi dengan air. Mereka adalah makhluk berpikir yang mempunyai potensi untuk mengambil, menyesuaikan, ataupun menolak pesan atau kode kultural dari Empat Mata. Artinya, sebenarnya pemirsa dengan beragam latar belakang wacana sosial yang dipengaruhi jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, hingga suasana sosial konsumsi, bisa memunculkan beragam tindakan pembacaan.

Tulisan ini, merupakan usaha untuk melihat bagaimana penerimaan dan perilaku tiga kandidat doktor pertanian Universitas Gadjah Mada dalam menonton aksi-aksi komedi Tukul dalam Empat Mata. Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa para kandidat doktor tersebut memiliki praktik partikular dalam menonton tayangan ini, yang bisa jadi berbeda dengan pemirsa lain, atau bisa juga terjadi perbedaan di antara ketiganya, meski sama-sama kandidat doktor.

Penelitian yang menjadi dasar tulisan ini saya lakukan antara bulan Maret hingga Mei 2007. Jadi, saya melakukannya sebelum KPI melarang tayangan Empat Mata pada tahun 2008. Alasannya, ada adegan yang cukup menjijikkan, yakni salah satu tamu memakan katak hidup-hidup. Akibatnya, tim kreatif harus mengubah acara menjadi Bukan Empat Mata. Saya tidak akan membahas polemik penghentian tayangan tersebut, karena kasus itu terjadi setelah saya melakukan penelitian sebagai basis untuk mengumpulkan data yang dianalisis dalam tulisan ini.

SEKILAS TENTANG ETNOGRAFI MEDIA 

Perkembangan jagat sosio-kultural yang semakin termediasi, menjadikan media dalam bermacam bentuknya mmenjadi situs penting bagi transformasi budaya manusia. Budaya di sini bukan hanya berarti artifak kaku, tetapi juga berupa pengalaman interaksional yang melibatkan penyebaran kode-kode kultural, termasuk melalui piranti media. Perkembangan budaya yang dipengaruhi kemajuan bentuk dan isi media kontemporer inilah yang melahirkan satu kajian baru bernama antropologi media. Salah satu pendekatan yang dikembangkan dalam kajian ini adalah etnografi media.

Etnografi media merupakan satu pendekatan baru dalam pengkajian manusia dan media yang bersumber dari dua tradisi, etnografi dalam antropologi dan pembacaan kritis media dalam cultural studies. Asumsi yang dikembangkan dari pendekatan ini adalah membaca kebudayaan manusia hari ini tidak hanya berkutat dengan suku-suku di wilayah pedalaman, tetapi juga membaca realitas budaya yang telah termediasi serta pengamalan-pengalaman kultural dari ragam masyarakat dalam menggunakan atau mengkonsumsi media kontemporer.

Sebagai pendekatan, etnografi media mengkaji perilaku dan persepsi pemirsa/pembaca/pendengar dalam mengkonsumsi tayangan/bacaan yang berasal dari media, serta kontekstualitasnya dengan kondisi dan wacana sosial partikular yang melingkupinya. Pendekatan ini menjadi alternatif bagi kajian media yang selama ini banyak diisi oleh pendekatan-pendekatan positivis dan moralis.

Morley dan Silverstone, sebagaimana dikutip La Pastina (2005: 5), menjelaskan bahwa etnografi pemirsa media memungkinkan sebuah analisis konteks tindakan yang terstruktur secara beragam, dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah pertimbangan deskriptif dan interpretatif 'yang kaya' tentang kehidupan dan nilai yang dijadikan sasaran investigasi.

Selanjutnya, Ang (dikutip dalam La Pastina (2005: 6) mengatakan bahwa stnografi media memainkan peran penting dalam kemungkinan untuk menguji elemen-elemen yang berbeda yang terlibat dalam proses resepsi dan bagaimana elemen-elemen tersebut berinteraksi dengan konteks lokalitas yang mana di dalamnya observasi dijalankan, sejalan dengan konteks budaya dan identitas para anggota komunitas.

Dengan demikian, etnografi media membutuhkan konteks konsumsi media spesifik dengan serta setting tematik partikular yang dilakukan oleh individu-individu dalam komunitas. Demi mendapatkan pemahaman yang komperhensif maka etnografi media mensyaratkan keterlibatan partisipatif dengan perilaku detil dari objek kajian.

Untuk itu etnografi media juga membutuhkan piranti lapangan seperti pengamatan partisipatoris dan wawancara informal dan mendalam dalam konteks tayangan serta komunitas partikular. Dengan model tersebut, seorang pengkaji bisa membaca (1) suasana dan praktik-praktik yang menunjukkan bagaimana keteritakan pemirsa dengan tayangan yang sedang mereka saksikan sehingga membentuk sebuah 'ruang sosial' di depan media dan (2) bagaimana keterikatan itu berkorelasi dengan konteks sosial yang ada dalam komunitas.

La Pastina (2005: 6-7), mengidentifikasi empat proses keterlibatan pemirsa dengan media. Pertama, pembacaan, yakni pembacaan aktual yang berkaitan dengan penjelasan tekstual dari struktur narasi dan muatan, biasanya berlangsung di ruang keluarga atau di ruang komunitas patikular.

Kedua, penafsiran, terjadi ketika teks media diinterpretasi dan ini berlangsung tidak hanya pada level individu, tapi melalui interaksi sosial yang berasal dari norma, nilai, dan keyakinan yang disebarkan oleh anggota komunitas untuk membicarakan teks tersebut. 

Ketiga, penyesuaian, berlangsung ketika isu yang dibawa oleh teks dan ditafsir melalui kekuatan mediasi digunakan untuk menjelaskan kehidupan seseorang atau relasi sosial serta dinamika sosial. Keempat, perubahan perilaku, sangat sulit didokumentasikan, tetapi bisa dikenali tanda-tandanya.

MENONTON TV SEBAGAI PRAKTIK KONSUMSI KULTURAL

Dalam etnografi media, kajian perilaku pemirsa dalam menonton televisi menjadi isu yang cukup penting, dimana banyak kajian telah dilakukan. Asumsi yang banyak dikembangkan dalam kajian televisi adalah menonton televisi sebagai sebuah praktik konsumsi yang bersifat sosio-kultural dan membentuk 'tatanan sosial' dalam wujud ragam dinamika praktik dengan latar belakang medan wacana sosial para pemirsanya (Morley dikutip dalam Storey, 1996).

Dengan asumsi tersebut kajian televisi mengembangkan metodologi yang berbeda dari kajian-kajian arus utama, seperti yang dilakukan para kritikus cultural industries dan turunannya yang lebih mengasumsikan pemirsa televisi sebagai makhluk yang begitu saja menerima apa-apa yang disajikan dalam sebuah tayangan.

Sebuah tayangan, menaturalisasi wacana atau ideologi kelompok dominan dengan ragam representasi yang tampak realis. Namun, praktik menonton televisi tidak berlangsung dalam suasana statik dan pasif, penonton mempunyai kuasa untuk melakukan "pertarungan semiotik" yang pada akhirnya mereka bisa saja memunculkan beragam pembacaan dan perilaku selama menonton.

Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana perilaku menonton televisi di antara individu yang berada dalam ruang domestik yang sama. Dari perilaku tersebut bisa diketahui betapa menonton TV bisa menjadi aktivitas dengan kegunaan sosial beragam. Lull, sebagaimana dikutip Morley (1999: 33-34)), menjelaskan bahwa kegunaan sosial TV bisa ditelusuri melalui dua dimensi, yakni struktural dan relasional.

Dalam dimensi struktural, bisa dibedakan dua kegunaan partikular, yakni (1) kegunaan lingkungan (ketentuan akan latar belakang, perkawanan, dan hiburan) dan (2) regulatif (penyelaan waktu dan aktivitas, pola bicara). Sementara, dimensi relasional dibedakan menjadi empat kegunaan yakni (1) fasilitasi komunikasi (ilustrasi pengalaman, ketentuan dasar yang umum, agenda untuk dibicarakan, dll); (2) afiliasi/penghindaran (fisik, kontak verbal, solidaritas keluarga); (3) pembelajaran sosial (kegunaan TV sebagai ketetapan model peran, transmisi nilai, semua diseminasi informasi); (4) demonstrasi kompetensi atau dominasi (peran tindakan, peran penguatan kembali, penjaga-gerbang).

Merujuk pada penjelasan di atas, kita bisa melihat betapa dalam praktik menonton TV terdapat dan terjadi ragam cara baca yang diwujudkan dalam bermacam tindakan dan perilaku selama di depan TV ataupun di ruang lain, berdasarkan konteks sosio-kultural, status dan relasi sosial, maupun interaksi partikular yang berlangsung.

Mungkin di antara pemirsa tetap terjadi interaksi sosial berupa percakapan, baik tentang bentuk dan topik acara atau tentang topik lain, sembari menonton atau bahkan bisa jadi mereka hanyut dalam "gelak tawa ataupun keterhanyutan individual/kolektif". Dalam konteks tersebut bisa dikatakan terjadi dua proses dalam menonton televisi, yaitu konsumsi dan komunikasi (de Certeu dikutip dalam Budiman, 2002: 20-21).

Menonton TV juga bisa sekedar menjadi medium interaksi sosial dan penegasan status sosial antarpenonton dalam setting sosial yang sama (Morley, 1999: 24-31), seperti dalam satu keluarga atau tempat kos. Kemungkinan lain adalah bahwa pengalaman dan pemahaman selama menonton akan dibicarakan dalam ruang sosial lain bercampur dengan pembicaraan lain, semisal dalam percakapan di kantor dan pabrik (Hoggart dikutip dalam Morley, 1999: 20), ataupun bahkan di warung makan dan ruang kuliah.

Dengan kerangka berpikir di atas, maka tulisan ini akan difokuskan pada masalah (1) bagaimana perilaku para kandidat doktor pertanian Universitas Gadjah Mada dalam menonton Empat Mata; (2) kalau mereka menggemarinya, adakah faktor-faktor sosio-kultural yang melatar-belakanginya; (3) bagaimana penerimaan/pembacaan mereka terhadap teks dan wacana yang disampaikan dalam tayangan tersebut; (4) apakah mereka mempercakapkan Empat Mata dalam kesempatan dan ruang sosial yang lain, lalu dalam kesempatan apa dan bagaimana mereka melakukannya.

Untuk memfokuskan kajian, maka tulisan ini dikembangkan dari riset yang dilakukan di sebuah kos, di Jl.Gejayan Gg. Kanthil-Telasih, tempat tiga kandidat doktor tersebut tinggal dalam satu rumah. Data tulisan ini, dalam pengumpulannya, lebih banyak menggunakan obervasi partisipatoris, di samping wawancara mendalam dengan suasana informal.

Karena dengan kedua cara tersebut, saya bisa menemukan "peristiwa-peristiwa dan celetukan-celetukan kecil" yang seringkali muncul spontan dan berpotensi sebagai sumber data akurat dari alih-alih focus group discussion, misalnya, yang terkesan formal di mana kita tidak bisa mengetahui unsur-unsur spontan yang sangat penting perannya dalam kajian etnografi media.

KETENARAN EMPAT MATA DAN TUKUL: PEMAHAMAN TEKSTUAL & KONTEKSTUAL

Sebagai tayangan talk show komedi, Empat Mata tidak langsung memperoleh popularitas ketika muncul pertama kali pada tahun 2006. Namun dengan perjuangan dari tim kreatif dalam mengonsep tampilan per episode dan ditunjang sosok Tukul yang mampu memunculkan kreativitas komedi, jadilan tayangan ini sebagai produk televisi yang cukup populer.

Paling tidak, terdapat dua faktor yang membuat Empat Mata begitu populer sehingga mampu menarik banyak pengiklan dalam setiap episode. Pertama, faktor talenta komedi Tukul Arwana. Tukul mampu menciptakan ungkapan dan guyonan ala "wong ndeso" dan dipadukan dengan ungkapan bahasa Inggris yang amburadul sehingga menjadi trade mark.

Ungkapan seperti "Puas-puas", "Katrok", "Wong Ndeso", maupun "Tak Sobek-sobek", mampu menjadi penanda eksistensial tayangan ini. "Just kiding, just for laugh" dan ungkapan bahasa Inggris lain yang dilafalkan dengan sekadarnya, seringkali salah, semakin memperkuat kesan komedis.

Ungkapan-ungkapan ala wong ndeso yang semula asing di telinga warga kota, dengan segera mampu menjadi kode-kode kultural yang mampu menyebar dan menembus batas-batas kultural para penonton. Ungkapan-ungkapan itu didukung dengan aksi-aksi spontan Tukul yang cukup khas.

Tukul suatu saat bisa sangat serius, namun pada saat yang lain dia bisa berjalan merangkak ataupun membersihkan sepatu bintang tamu. Tukul juga bisa dengan genit menggoda para bintang tamu. Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dari tayangan ini adakah cipika-cipiki dan juga guyonan yang dalam batas-batas tertentu dikatakan 'nyrempet porno'. Kedua adalasan inilah yang menjadikan KPI menegur tim kreatif dan pihak Trans 7.

Kedua, adalah kemampuan tim kreatif dalam menggagas tema-tema keseharian yang sudah biasa dirasakan oleh banyak orang dalam konsep perbincangan yang begitu cair, seperti: (a) romantisme antara pasangan suami- istri, (b) kedekatan anak dan orang tua, (c) keperkasaan, (d) ukuran keseksian, dan lain-lain.

Dalam hal ini, Empat Mata mampu memberikan satu sentuhan baru, tentang sebuah konsep perbincangan dengan selebritas. Artinya, selebritas banyak diperbincangkan secara sepihak oleh media dalam format infotainmen gosip. Beragam acara gosip telah menjadikan acara tersebut sesuatu yang biasa, bahkan cenderung menjenuhkan.

Sementara tim kreatif Empat Mata mampu menampilkan mereka dalam format lain: mereka yang bisa tertawa dengan lepas, bebas dari beban pemberitaan gosip, ketika membicarakan persoalan-persoalan orang kebanyakan. Dengan kata lain, para selebritas mampu mentertawakan diri mereka sendiri ditemani sosok Tukul yang mampu memancing keluarnya ekspresi tawa.

Ketiga, tim kreatif dan Tukul mampu menghadirkan logika pascamodern yang jungkir balik. Selama ini industri media banyak dipenuhi oleh wajah-wajah cantik dan tampan yang lebih berorientasi indo yang memang pada satu masa tertentu menjadi kekuatan hegemonik di layar kaca.

Namun, kuasa hegemonik tersebut tidak pernah berlangsung dalam kepastian karena akan selalu muncul kontra-hegemoni dalam bentuk inovasi kreatif. Konstruksi hegemonik indo segera saja dikacau-balaukan oleh kehadiran sosok Tukul Arwana yang bertampang ndeso dengan ungakapan-ungkapan yang selain konyol, tetapi bisa juga filosofis, semisal "kristalisasi keringat", "giat berjuang dan bekerja", dan lain-lain. Dalam industri media, kebaruan acara dan kecerdasan tematik, merupakan salah satu faktor penentu popularitas.

Keempat, tim kreatif dan Tukul mampu menghadirkan kembali suasana obrolan cair yang penuh canda-tawa di tengah-tengah kejumudan masalah hidup yang membebani masyarakat. Sebagai bagian dari kelisanan kedua yang menggabungkan tradisi lisan (berupa obrolan dan guyonan) dan tradisi tulis (skenario acara dan konsep pertanyaan yang dibuat oleh Tia), Empat Mata mampu menghadirkan sebuah tradisi lisan bernuansa guyonan yang begitu cair dan cenderung mentertawakan persoalan-persoalan sepele ketika persoalan besar sedang membelenggu.

Ada mekanisme eskapis ketika orang tertawa lepas, di mana seolah-olah beban yang ada sejenak mencair dalam keterlepasan ekspresi. Namun, di sisi lain, itu merupakan bentuk mentertawakan diri sendiri, karena mereka setelah mereka melakukan hal-hal konyol yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, apakah dalam aktivitas pekerjaan ataupun kuliah.

PRAKTIK MENONTON EMPAT MATA PARA KANDIDAT DOKTOR

Kandidat doktor juga manusia! Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa tiga kandidat doktor pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di tengah-tengah aktivitas akademisnya masih menyempatkan untuk tertawa lepas ketika menikmati tampilan Empat Mata di layar kaca. Bayangan aktivitas laborat yang biasa mereka lakukan sehari-hari, seperti hilang sejenak dari raut muka ceria mereka.

Bagi Pak Wayan, Pak Agung, dan Pak Parwata, menonton Empat Mata sudah menjadi rutinitas ketika mereka berada di tempat kos. Pak Agung dan Pak Parwata sama-sama berasal dari Fakultas Pertanian Universitas Mataram (Unram), sedangkan Pak Wayan berasal dari Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian di Bogor.

Meskipun berasal dari institusi pertanian yang berbeda, mereka memiliki kedekatan kultural karena sama-sama berlatar belakang tradisi Bali, beragama Hindu, dan semasa S1, ketiganya berasal dari Fakultas Pertanian Unram, meskipun berbeda semasa S2. Selain institusi saat ini, perbedaan diantara ketiganya adalah Pak Wayan dan Pak Parwata berasal dari kasta waisya, sedangkan Pak Agung berasal dari kasta ksatria, keturunan Raja Karangasem Bali.

Meski berbeda dalam hal kasta, mereka dalam interaksi dan relasi sosial sehari-hari sangat akrab. Bahkan, tidak menunjukkan perbedaan kasta tersebut. Dalam aktivitas menonton TV, mereka pun memiliki ‘kesetaraan derajat’. Artinya pada suatu saat Pak Wayan atau Pak Parwata bisa saja duduk di atas kursi sementara Pak Agung duduk di karpet spon, dan begitupula sebaliknya.

Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh status akademis mereka yang sama-sama kandidat doktor dan dalam kehidupan sehari-hari mereka berada di tempat kos yang sama. Kondisi ini tentu akan berubah ketika mereka berinteraksi dalam sebuah ritual di Bali ataupun di Lombok.

Tayangan TV yang paling sering mereka tonton, paling tidak selama tiga bulan riset ini dilaksanakan (Maret-Mei 2007), adalah program berita, sinetron Intan (RCTI), dan Empat Mata (Trans 7). Empat Mata-lah yang mampu ‘mengikat’ dan ‘menyatukan’ mereka dalam praktik konsumsi tayangan TV, dalam suasana perkawanan yang sangat cair.

A. ‘Ritual tawa’ dan Praktik Konsumsi yang Membebaskan

Bagi ketiga kandidat doktor tersebut, Empat Mata seolah menjadi ‘ritual wajib', yang dijalani selama pukul 21.30-23.00 WIB, dari Senin hingga Jum’at, di sela-sela kesibukan akademis yang mereka jalani, tidak hanya di kampus, tetapi juga di tempat kos. Sebelum acara itu dimulai, ketiganya biasanya sibuk di kamar masing-masing, sehingga ruang tamu tempat TV berada menjadi sangat sepi, kecuali kalau ada teman sekampus yang berkunjung untuk keperluan tugas atau sekedar berdiskusi tentang topik perkuliahaan.

Sebelum pukul 21.30 WIB, masing-masing dari mereka tenggelam dalam aktivitas dalam kamar, biasanya dengan pintu tertutup: membaca buku ataupun menyiapkan tugas/ujian (bagi Pak Wayan dan Pak Parwata) dan disertasi (Pak Agung karena dia terlebih dahulu kuliah).

Begitu waktu menunjukkan pukul 21.30, mereka segera membuka pintu dan mengambil posisi duduk di karpet spon dan kursi. Raut senyum langsung terlihat di wajah ketiganya, ketika Tukul membuka acara dengan sapaan dan gerak tubuh khasnya, “Oke, jumpa lagi di Empat Mata” (sambil tangannya membentuk gerakan buka-tutup sebagai ikon dari mulutnya yang lebar).

Dengan cermat mereka memperhatikan bintang tamu pertama yang akan hadir. Setelah acara berlangsung, maka segera mereka memasuki ‘ritual tawa’ yang begitu lepas. Meskipun tertawa dengan lepas, tetapi mereka tetap tidak bisa ‘membunuh’ komentar di antara mereka bertiga. Komentar yang terjadi biasanya tidak bersifat dua arah, tetapi saling menimpali.

Misalnya pada salah satu episode yang menampilkan bintang tamu Arswendo Atmowiloto di mana dia berpura-pura marah pada Tukul ketika menanyakan persoalan hubungan cinta yang bisa terjadi dengan para artis selama syuting, mereka bertiga tertawa sembari memberikan komentar-komentar spontan.

Pak Wayan, misalnya, sambil tertawa berkomentar: “Si Tukul dikerjai”. Mendengar itu, Pak Agung menimpali, sambil tetap menatap ke TV: “Si Wendo sengaja, habis si Tukul”. Adapun Pak Parwata cukup dengan mengatakan: “Kena dia”.

Yang menarik dicermati dari cara mereka tertawa adalah terjadinya ‘proses penghancuran’ simbol-simbol sosial yang melekat dalam diri mereka. Mereka bertiga tidak lagi mempertimbangkan posisi mereka sebagai kandidat doktor yang oleh banyak orang dibayangkan sangat akademis ataupun serba teratur.

Apa yang terpenting adalah tertawa menikmati kelucuan-kelucuan yang berlangsung. Bahkan Pak Agung sebagai keturunan raja, sejenak ‘melepaskan’ karakteristik keningratan yang melekat pada dirinya ketika dia berada di dalam puri, bahkan dia seringkali hanya mengenakan celana pendek ketika menonton Empat Mata. 

Posisi tempat duduk Pak Agung yang seringkali ‘manasuka’ (arbitrer) juga menjadi penanda betapa status sosial di lingkungan kultural asal (tradisi Bali) mengalami peleburan ketika berada di depan layar kaca dalam lingkungan kultural yang sama sekali berbeda, tempat kos akademisi.

Dengan kata lain, dalam ruang tamu di tempat kos mereka, kode-kode budaya yang selama ini melekat, bisa ‘dihancurkan’ sendiri oleh individu-individu yang selama ini dicitrakan terikat dengan kode-kode tersebut, dan itu terjadi ketika mereka menonton atraksi Tukul.

Menonton Tukul dan menonton acara-acara favorit lainnya menjadi ruang yang cair untuk mempererat ikatan dan interaksi sosial di antara mereka. Aktivitas penonton, tidak hanya dilakukan dalam intensitas sorot mata, tetapi juga mereka imbangi dengan aktivitas lain, seperti ngemil makanan ringan yang disajikan dalam toples di meja tamu ataupun di karpet spon.

Tidak lupa biasanya salah satu diantara mereka memasak air di hitter untuk membuat kopi instan (Pak Wayan) ataupun susu (Pak Parwata dan Pak Agung). Jadilah, praktik konsumsi menonton yang berdampingan dengan aktivitas konsumsi snack dan minuman. Namun, biasanya mereka makan snack dan minum, pada saat jedah iklan sembari mempercakapkan apa yang baru dilihat. Kondisi ini menciptakan suasana yang semakin cair dan relasi serta interaksi sosial menjadi semakin erat di antara mereka.

B. Menonton Secara Kritis

Percakapan timbal-balik baru terjadi ketika jedah iklan setelah Tukul mengucapkan: “Jangan ke mana-mana, tetap di Empat Mata”. Salah satu di antara mereka segera mengganti channel untuk menonton tayangan lain atau tetap stay tune. Meskipun menonton tayangan lain, segera mereka bercakap sambil tetap tertawa perihal apa yang baru mereka saksikan di Empat Mata. 

Apa yang tampak khas dari percakapan sela di antara mereka adalah bagaimana mereka mampu menghadirkan analisis akademis perihal Empat Mata. 

Pak Wayan dalam satu kesempatan mengatakan: “Tukul dan Empat Mata itu memang hebat, tapi saya perkirakan maksimal ia mampu bertahan hingga tahun depan. Ya, kalau saya estimasikan, ia bertahan sekitar 2 tahun.” Dan dalam kesempatan lain ia mengatakan: “Tidak ada acara talkshow di Indonesia yang mampu bertahan lebih dari 2 tahun. Masyarakat kita itu gampang jenuh, sama seperti Intan itu.”

Tampak, betapa Pak Wayan berpikir kritis-reflektif dalam menanggapi ketenaran Empat Mata dan Tukul. Idiom yang digunakannya, seperti “saya perkirakan maksimal” dan “estimasi” menandakan betapa sehumor apapun sebuah tayangan, dalam menanggapinya ia tetap saja memunculkan idiom ilmiah khas akademisi-akademisi eksakta.

Lebih lagi, ia mampu membuat komparasi logis dengan membandingkannya dengan tayangan populer lain, Intan, yang memang sudah tidak digemari di tempat kos karena alur ceritanya ‘terlalu dibuat-buat’. Dalam konteks itu, ia tengah melakukan negosiasi pada pujian akan keterkenalan Tukul yang dilontarkan para bintang tamu, seperti ketika Eros Djarot memuji Empat Mata sebagai program TV paling sukses dalam sejarah pertelevisian Indonesia.

Pak Wayan memang tidak menolak ketenaran itu, tetapi ia menegosiasikan secara kritis konteks lain seperti kejenuhan penonton/masyarkat dan populeritas sinetron Intan yang terbukti mampu membuat acara-acara populer di TV menjadi ber-rating rendah.

Ketika saya menyanggah pendapat Pak Wayan dengan mengatakan bahwa Empat Mata masih akan bertahan lebih lama lagi karena tim kreatifnya mampu membuat inovasi tema dan variasi bintang tamu yang diundang, Pak Agung segera nimbrung dengan mengakatan: “Masalahnya, apa-apa yang dilakukan Tukul, cenderung monoton, itu-itu saja. Ini bisa membuat penonton jenuh, dan itu sangat masuk akal karena penonton selalu mengharapkan tampilan yang inovatif.”

Sekali lagi, pernyataan itu menunjukkan pembacaan negosiatif-kritis, dengan tetap mengusung analisis akademis dengan menggunakan idiom ilmiah, “inovatif”, dan logika-logika berpikir eksakta, bahwa kalau A menyebabkan B, dan ketika C adalah bentuk yang sama dengan B, maka A juga bisa menyebabkan C.

Penalaran kritis tersebut tidak membuat mereka jenuh untuk menonton Empat Mata di lain kesempatan, tidak seperti yang terjadi dengan kasus Intan. Dengan model komentar waktu acara berlangsung, mereka bisa juga melakukan pembacaan oposisional terhadap hal-hal baru yang berkaitan dengan adegan dan perbincangan di Empat Mata.

Ketika pada salah satu episode menghadirkan (atau mungkin ia sendiri yang ingin hadir karena popularitas acara ini?) bintang tamu salah satu menteri, beragam komentar muncul dalam percakapan sela dengan tanpa mengiraukan layar kaca. Pak Parwata dengan cukup lugas mengatakan: “Wah, ini sudah politis!” Pak Wayan dengan tanggapan serupa menimpali: “Iya, ini bisa menjadikan Empat Mata sebagai alat politis, bisa-bisa banyak pejabat nanti akan ikut nimbrung, cari muka.”

Pak Agung, tidak ketinggalan, berkomentar: “Kalau seperti ini caranya, Empat Mata akan dianggap sebagai media politik, alat kampanye dan banyak politisi beramai-ramai ingin masuk.”

Komentar-komentar oposisional seperti di atas biasanya berlanjut ketika jedah iklan dalam bentuk percakapan sela. Tentu saja ini tidak sekedar kebetulan sesaat. Meski menjadi akademisi pertanian, tetapi ketiga kandidat doktor itu juga selalu mengikuti perkembangan perpolitikan di tanah air. Tidak heran ketika acara berita juga menjadi salah satu program favorit mereka.

Di tambah dengan berita-berita dari koran (Kompas) sehingga ketika terjadi isu-isu politik, mereka selalu memberikan komentar-komentar dalam bentuk percakapan. Kehadiran si menteri dianggap representasi kekuatan politis yang memanfaatkan ketenaran Empat Mata, demi untuk memperbaiki citra belaka. Dan bagi mereka, ketika Empat Mata sudah menjadi alat politik, itu bisa membahayakan populeritasnya, karena bisa jadi penonton akan kecewa.

Namun, pemahaman mereka, bisa juga berbeda satu sama lain, terutama ketika muncul isu-isu sensitif seputar Empat Mata. Ketika pada pertengahan Mei 2007 KPI memberikan teguran kepada tim kreatif atas beberapa indikasi adegan yang tidak baik secara moral seperti cipika/cipiki dan obrolan yang menjurus porno, maka terjadi sedikit perubahan format perilaku Tukul, semisal ia tidak mau lagi cipika/cipiki dengan bintang tamu perempuan.

Ketiga informan memiliki tanggapan yang beragam. Ketika saya memberikan komentar tentang persoalan itu dengan menyatakan ketidaksepakatan atas tindakan KPI dan perubahan yang dilakukan tim kreatif, Pak Wayan, misalnya, cenderung berbeda dengan pendapat saya dan lebih sepakat dengan apa-apa yang dilakukan Tukul: “Saya sepakat dengan apa yang dilakukan Tukul karena cipika/cipiki itu kan bukan tradisi bangsa ini. Dan kita tidak harus meniru adegan-adegan yang berasal dari Barat seperti itu.”

Sementara, Pak Parwata mempunyai komentar dengan nada berbeda, cenderung satiris: “Ya, daripada Empat Mata dihentikan, mungkin itu lebih baik. Kan kita belum begitu siap untuk hal-hal seperti itu. Kalau di Barat itu kan menjadi hal yang sangat biasa.” Adapun Pak Agung cenderung menolak relasi kuasa negara ke dalam format Empat Mata: “Ngapain kayak gitu aja ditegur, kayak kurang kerjaan aja. Kan masih banyak tayangan lain yang lebih porno.”

Dari pernyataan mereka, tampak perbedaan dalam menyikapi persoalan dan itu semua bisa jadi dipengaruhi oleh orientasi kultural di antara mereka. Pak Wayan lebih memilih untuk ‘menghormati’ tradisi sebagian masyarakat yang masih mentabukan cipika/cipiki. Artinya Pak Wayan berada dalam posisi pembacaan dominan-hegemonik dengan menyepakati apa-apa yang dilakukan Tukul dan pada kesempatan yang sama juga menerima tabu tradisi yang masih berkembang dalam sebagian masyarakat kita.

Meskipun dalam keseharian ia bergulat dengan persoalan eksakta pertanian yang bisa jadi jauh dari urusan tabu, ternyata Pak Wayan tetap menganggap itu sebagai persoalan penting yang harus dihormati dan dijaga dalam kehidupan sosial. Hal itu rupanya dipengaruhi oleh kesukaan Pak Wayan untuk membaca buku-buku budaya lokal di samping tugas utamanya membaca jurnal ilmiah. Pernah ia berkata: “Saya ini seperti orang yang salah jurusan, karena saya itu suka membaca buku-buku budaya, terutama yang berkaitan dengan tradisi lokal.”

Posisi yang diambil Pak Parwata memang terkesan menerima, tetapi penerimaan itu bernada kritis. Bukan karena persoalan tabu, tetapi masyarakat yang dibayangkan negara memang belum siap menerima perilaku seperti yang ada di Empat Mata. Untuk menegaskan alasannya ia membandingkannya dengan kondisi di Barat. Logika yang berkembang adalah daripada Empat Mata dihentikan, mungkin lebih baik menurut pada teguran-teguran tersebut.

Posisi oposisional yang diambil Pak Agung bersifat paradoks dengan sosok ningrat yang melekat pada dirinya. Di satu sisi, ia dalam kehidupan keluarganya selalu berusaha memperketat perilaku sosial anak-anaknya agar jangan sampai terjerumus dalam ‘hubungan-hubungan yang merusak’. Namun di sisi lain, ia sangat tidak suka dengan campur tangan negara terhadap Empat Mata. 

Padahal bisa saja ia bersifat menerima tindakan negara tersebut karena ia sendiri sangat membatasi kehidupan anak-anaknya. Ini menunjukkan betapa terdapat ruang kultural yang berbeda ketika Pak Agung berada di rumah dan ketika di tempat kos. Di tempat kos Pak Agung biasa berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan politis terutama yang menyangkut ketidakberesan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan negara dalam mengelola suatu kebijakan. Sementara di rumah ia lebih banyak berinteraksi dengan konsep keluarga yang harmonis.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan menyikapi persoalan-persoalan tertentu dalam Empat Mata, di antara mereka tidak sampai terjadi perdebatan sengit. Semua perbedaan pandangan itu kembali lebur ketika mereka kembali tertawa menikmati guyonan Tukul. Ini merefleksikan kehidupan sehari-hari mereka yang sangat akrab satu sama lain, dan sepengetahuan saya tidak pernah terlibat konflik, termasuk dalam urusan-urusan kecil kehidupan kos.

Kesamaan latar belakang kultural dan pilihan akademis, menjadikan mereka bertiga individu-individu yang berorientasi-sosial dengan menghindari konflik-konflik sekecil apapun. Dan betapa Empat Mata mampu menjadi medium dan ritual untuk semakin mempererat relasi sosial di antara mereka setelah seharian bergelut dengan urusan akademis individual di kampus.

C. Proses Akademis Sembari Menonton 

Perilaku menonton mereka yang penuh dengan tawa dan relaksasi, ternyata dalam beberapa hal, tidak membuat mereka sepenuhnya lepas dari aktivitas-aktivitas yang masih berkaitan dengan urusan akademis. Pak Parwata dan Pak Wayan dalam beberapa kesempatan masih membawa bacaan (buku maupun jurnal pertanian) dan draft tugas ke depan TV. Sementara, Pak Agung tidak pernah melakukannya ia memang sudah tidak ada kuliah.

Pak Wayan dan Pak Parwata biasanya akan membaca atau mengoreksi draft tugas ketika jedah iklan, itupun kalau tidak ada pembicaraan di antara mereka. Meskipun tidak bisa sepenuhnya berkonsentrasi, mereka tetap melakukan ‘proses akademis’, terutama ketika menjelang ujian kelas ataupun deadline matakuliah tertentu. Tentang kondisi itu, Pak Wayan mengatakan: “Ya, lumayanlah, ngoreksi dikit-dikit. Soalnya, malam ini tugas harus selesai, besok dikumpulkan. Tetapi, enakan nonton Tukul dulu, setelah itu kan lebih fresh baru nglembur memperbaiki draft.”

Hal itu, di satu sisi, menunjukkan betapa dalam kondisi apapun, mereka akan berusaha menonton Empat Mata karena terdapat sisi positif yang mereka harapkan yakni sesuatu yang fresh. Di sisi lain, ‘proses akademis’ yang tengah berlangsung, menyiratkan satu disiplin yang dilakoni kedua kandidat doktor, bahwa dalam kesempatan apapun mereka harus berusaha untuk konsisten dengan dunia akademis yang mereka pilih. Menonton Empat Mata, dengan demikian, telah menjadi ruang negosiasi antara kepentingan akademis dan kepentingan relaksasi.

D. Antara Mentertawakan Diri-Sendiri dan Mentertawakan Tukul

Sebagian besar pengamat media menilai bahwa keberhasilan Empat Mata adalah terletak pada konsep mentertawakan diri sendiri yang direpresentasikan oleh Tukul dan juga para bintang tamu. Artinya konsep tersebut sesuai dengan tradisi lisan yang berkembang, baik dalam masyarakat kota maupun desa yang masih banyak melakukan aktivitas ‘mentertawakan diri sendiri’ atau ‘memperolok diri sendiri’ ketika mereka tidak mampu menyelesaikan suatu persoalan atau sehabis melakukan perbuatan-perbuatan yang konyol. Dengan menonton Empat Mata berarti para pemirsa menemukan representasi diri mereka dalam mentertawakan diri-sendiri.

Dari perilaku menonton ketiga kandidat doktor sekilas terlihat betapa mereka, pada dasarnya, hanya mentertawakan apa-apa yang dilakukan Tukul dan juga para performer lainnya, seperti Vega (pembawa minuman) dan Peppi (penabuh konga dan pembaca kuis) serta para bintang tamu.

Di sini sangat tampak betapa menonton Empat Mata menjadi aktivitas eskapis dari rutinitas sehari-hari, meskipun tidak sepenuhnya karena mereka masih saja membaca buku atau draft serta memberikan komentar-komentar kritis. Namun, di sisi lain, bagi mereka, aktivitas menonton Empat Mata adalah sebuah cara untuk mentertawakan diri sendiri. Ketika saya menanyakan pandangan mereka tentang persoalan itu, Pak Wayan mengatakan: “Sebenarnya ketika saya menonton Tukul, itu kan saya ikut mentertawakan diri sendiri juga.

Cuma, dalam kehidupan sehari-hari saya sering mentertawakan diri sendiri dalam hati, apalagi sehabis melakukan perbuatan-perbuatan lucu yang sekaligus memalukan, seperti sehabis presentasi tugas dimana saya kurang mampu menjawab pertanyaan tetapi saya berusaha ngotot untuk menjawab”.

Dengan nada serupa Pak Parwata menimpali: “Ketika saya melihat Tukul, saya seperti menemukan diri saya yang lain. Meskipun saya tertawa setelah melihat Tukul, saya sadar bahwa orang ini mampu membuat saya mentertawakan diri-sendiri.” Sementara, Pak Agung menjawab: “Ketika saya menonton Empat Mata, saya membayangkan diri saya seperti Tukul, ditertawakan sekaligus mentertawakan dirinya sendiri. Manusia memang tidak bisa lepas dari hal itu.” Dengan demikian, aktivitas menonton Tukul bagi ketiga kandidat doktor tersebut mempunyai peran ganda yakni: (a) untuk mentertawakan Tukul dan Empat Mata, sekaligus (b) untuk mentertawakan diri sendiri.

E. Tukulisme dalam Kehidupan Sehari-hari

Untuk memperoleh kajian komperhensif, sebuah penelitian etnografi media tidak harus membatasi diri sebatas pada praktik menonton di depan TV. Lebih dari itu, seorang peneliti bisa melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh sebuah tontonan dalam obrolan sehari-hari pemirsa sehingga bisa direfleksikan seberapa jauh mereka menghayati sebuah tontonan.

Ketiga kandidat doktor tersebut, ternyata tidak hanya sekedar menikmati Empat Mata di depan TV. Mereka seringkali mempraktikkan perilaku-perilaku yang terinspirasi Tukul. Beberapa ekspresi Tukul sering mereka ucapkan dalam aktivitas sehari-hari mereka. Ucapan “kembali ke laptop” begitu sering mereka ucapkan ketika hendak mengerjakan tugas kuliah.

Atau dalam guyonan pada waktu sore ketika mereka sedang santai, selepas dari kampus, ucapan “tak sobek-sobek” dan “katrok”, begitu mudahnya keluar dari obrolan mereka. Memang, mereka mengucapkan semua itu tanpa pretensi apapun, kecuali sekedar humor pelepas lelah.

Pak Agung punya kebiasaan partikular, terkait Empat Mata. Dalam banyak kesempatan, ketika saya melintas di samping kamarnya, ia mengucapkan “Vega, Wan!” Rupanya, ia begitu kagum dan tertarik dengan sosok Vega, si pembawa minum dalam acara ini, sehingga celetukan namanya seringkali dilontarkannya. Memang dalam menonton Empat Mata, ia begitu antusias bahkan berdecak kagum ketika kamera menyorot Vega. Dan tidak segan-segan berujar: “Cck, cck, cantik bener si Vega”. Perilaku seperti itu tidak miliki oleh Pak Wayan dan Pak Parwata.

Dalam kesempatan lain, waktu makan malam di lesehan Terminal Condong Catur Yogyakarta, mereka banyak membicarakan Empat Mata sembari menunggu makanan, sembari makan, dan selepas makan. Pembicaraan tentang Empat Mata biasanya bercampur dengan pembicaraan lain, semisal isu-isu politik yang sedang panas maupun isu seputar gaji pegawai negeri yang pas-pasan.

Bahkan ketika para anggota DPR hendak membeli laptop dengan alasan “Tukul saja pakai laptop”, berita tersebut menjadi pembicaraan yang ‘seru’ di warung lesehan. Pak Agung dengan sinis berujar: “Rupanya anggota Dewan tidak mau kalah dengan Tukul. Tapi jadinya lucu, masa’ alasannya seperti itu”.

Pak Parwata ikut pula menimpali: “Kalau, dengan laptop bisa produktif dan semakin memperhatikan kepentingan rakyat, itu bisa diterima. Masalahnya, kan selama ini mereka itu hanya mementingkan diri sendiri.” Mendengar semua itu, Pak Wayan dengan santai menambahkan: “Kalau laptop-nya harganya normal, tidak masalah. Masa’ satu laptop dianggarkan 20 juta. Itu kan tidak masuk akal. Mau dibuat apa laptop seharga itu. Jangan-jangan mereka malah tidak bisa menggunakannya.”

Realitas di atas menunjukkan betapa tontonan Empat Mata mampu menghadirkan percakapan-percakapan lain yang terjadi tidak hanya di depan TV, tetapi juga di warung makan. Adanya kekhawatiran bahwa kehadiran tontonan di TV bisa menjadikan pemirsanya ‘tersedot’ ke dalam imajinasi dan praktikpraktik yang tidak kreatif, dalam konteks kajian ini tidak sepenuhnya benar.

Kehadiran Tukul dan Empat Mata, bagi ketiga kandidat doktor tersebut tidak menjadikan mereka semata-mata menikmati tawa ketika menonton, namun menghadirkan percakapan-percakapan kreatif yang tidak hanya sebatas pada tampilan Tukul tetapi juga menyangkut isu-isu lain.

MENONTON EMPAT MATA YANG TIDAK SEKEDAR HIBURAN: SIMPULAN

Tukul dan Empat Mata sebagai sebuah tontonan yang dianggap mampu memberikan hiburan segar kepada jutaan penonton, ternyata tidak sekedar menjadi tampilan yang penuh humor. Dalam konteks kajian ini, menonton Tukul dan Empat Mata mampu menjadi praktik konsumsi kultural yang menghadirkan beragam perilaku dan pemahaman. Tukul-isme yang dijalami ketiga kandidat doktor bukanlah pemahaman yang “menerima apa adanya”.

Menonton Empat Mata, di satu sisi, bisa menjadi medium yang ‘membebaskan’ mereka dari beban rutinitas akademis di kampus. Di sisi lain, aktivitas menonton bisa menjadi sarana untuk mencairkan ikatan-ikatan kultural Pak Agung, sosok ningrat, dan lebur dalam sebuah relasi sosial yang begitu akrab dengan kedua rekannya.

Dalam konteks itu, menonton Empat Mata bisa menjadi medium untuk meningkatkan keakraban di antara mereka. Dalam konteks yang berbeda, menonton talkshow ini, tidaklah menjadikan mereka individu-individu pasif yang hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Praktik konsumsi yang mereka jalani adalah praktik konsumsi yang mampu menghadirkan komentar-komentar kritis bernuansa akademis yang bisa bersifat menerima (dominan-hegemonik), negosiatif, maupun oposisional.

Di samping itu, menonton Empat Mata tidaklah ‘membunuh’ aktivitas-aktivitas lain. Pak Wayan dan Pak Parwata masih bisa melakukannya sembari membaca buku/jurnal atau merevisi draft tugas. Perilaku-perilaku partikular di antara mereka juga menjadi penanda betapa praktik konsumsi yang mereka jalani bisa bersifat unik. Lebih dari itu, menonton Empat Mata bisa menjadi pemicu lahirnya percakapan-percakapan kreatif-kritis di luar ruang TV, seperti warung makan.

Apa yang bisa direfleksikan dari kajian ini adalah bahwa menonton TV ataupun media-media lainnya tidak bisa semata-mata diklaim sebagai praktik yang merusak. Kasus saling menghajar yang dilakukan beberapa siswa SD beberapa waktu lalu yang dikatakan akibat pengaruh tayangan smack down di sebuah stasiun TV, tidak bisa dijadikan generalisasi tentang pengaruh buruk TV ataupun media-media lainnya.

Kalaupun memang ada kajian tentang pengaruh buruk, itu semua mesti dikerangkai dalam konteks partikular. Karena dari praktik menonton kita bisa menemukan betapa terdapat beragam penerimaan partikular yang dilakukan pemirsa. Berpikir analitis dalam kerangka dan konteks partikular, mungkin akan menjadi titik keberangkatan yang menarik dalam melakukan kajian terhadap praktik menonton untuk bisa memahami resepsi dan persepsi pemirsa terhadap sebuah tayangan serta pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari mereka.

DAFTAR BACAAN

Budiman, Hikmat.2002. Lubang Hitam Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius.

Budiman, Kris.2002. Di Depan Kotak Ajaib, Menonton Televisi sebagai Praktik Konsumsi. Yogyakarta: Galang Press.

Gans, Herbet.1974. Popular Culture and High Culture. USA: Basic Books Inc.

Fiske, John.2002. Television Culture. London: Routledge.

Hall, Stuart.1997. “Encoding/Decoding”, dalam Paul Marris & Sue Thornham. Media Studies: A Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Ibrahim, Idi Subandy (ed).2004. Lifestyle Ecstasy, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia.Yogyakarta: Jalasutra.

Kellner, Douglas. Media and Social Problems, dalam http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Morley, David.1999. Family Television: Cultural Power and Domestic Leisure. London: Routledge.

La Pastina, Antonio C. “Audience Ethnographies: A Media Engagement Approach”, dalam Global Media Journal, Vol. 4/Issue 6, Spring 2005.

Storey, John.1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. Maryland: Harvester Wheatsheaf.

Storey, John. 1996. Cultural Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods. Georgia (USA): University of Georgia Press.

Strinati, Dominic.2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (terj. Abdul Mukhid). Yogyakarta: Bentang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun