Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Empat Mata dan Tukulisme ala Kandidat Doktor

30 November 2021   04:00 Diperbarui: 30 November 2021   04:05 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam etnografi media, kajian perilaku pemirsa dalam menonton televisi menjadi isu yang cukup penting, dimana banyak kajian telah dilakukan. Asumsi yang banyak dikembangkan dalam kajian televisi adalah menonton televisi sebagai sebuah praktik konsumsi yang bersifat sosio-kultural dan membentuk 'tatanan sosial' dalam wujud ragam dinamika praktik dengan latar belakang medan wacana sosial para pemirsanya (Morley dikutip dalam Storey, 1996).

Dengan asumsi tersebut kajian televisi mengembangkan metodologi yang berbeda dari kajian-kajian arus utama, seperti yang dilakukan para kritikus cultural industries dan turunannya yang lebih mengasumsikan pemirsa televisi sebagai makhluk yang begitu saja menerima apa-apa yang disajikan dalam sebuah tayangan.

Sebuah tayangan, menaturalisasi wacana atau ideologi kelompok dominan dengan ragam representasi yang tampak realis. Namun, praktik menonton televisi tidak berlangsung dalam suasana statik dan pasif, penonton mempunyai kuasa untuk melakukan "pertarungan semiotik" yang pada akhirnya mereka bisa saja memunculkan beragam pembacaan dan perilaku selama menonton.

Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana perilaku menonton televisi di antara individu yang berada dalam ruang domestik yang sama. Dari perilaku tersebut bisa diketahui betapa menonton TV bisa menjadi aktivitas dengan kegunaan sosial beragam. Lull, sebagaimana dikutip Morley (1999: 33-34)), menjelaskan bahwa kegunaan sosial TV bisa ditelusuri melalui dua dimensi, yakni struktural dan relasional.

Dalam dimensi struktural, bisa dibedakan dua kegunaan partikular, yakni (1) kegunaan lingkungan (ketentuan akan latar belakang, perkawanan, dan hiburan) dan (2) regulatif (penyelaan waktu dan aktivitas, pola bicara). Sementara, dimensi relasional dibedakan menjadi empat kegunaan yakni (1) fasilitasi komunikasi (ilustrasi pengalaman, ketentuan dasar yang umum, agenda untuk dibicarakan, dll); (2) afiliasi/penghindaran (fisik, kontak verbal, solidaritas keluarga); (3) pembelajaran sosial (kegunaan TV sebagai ketetapan model peran, transmisi nilai, semua diseminasi informasi); (4) demonstrasi kompetensi atau dominasi (peran tindakan, peran penguatan kembali, penjaga-gerbang).

Merujuk pada penjelasan di atas, kita bisa melihat betapa dalam praktik menonton TV terdapat dan terjadi ragam cara baca yang diwujudkan dalam bermacam tindakan dan perilaku selama di depan TV ataupun di ruang lain, berdasarkan konteks sosio-kultural, status dan relasi sosial, maupun interaksi partikular yang berlangsung.

Mungkin di antara pemirsa tetap terjadi interaksi sosial berupa percakapan, baik tentang bentuk dan topik acara atau tentang topik lain, sembari menonton atau bahkan bisa jadi mereka hanyut dalam "gelak tawa ataupun keterhanyutan individual/kolektif". Dalam konteks tersebut bisa dikatakan terjadi dua proses dalam menonton televisi, yaitu konsumsi dan komunikasi (de Certeu dikutip dalam Budiman, 2002: 20-21).

Menonton TV juga bisa sekedar menjadi medium interaksi sosial dan penegasan status sosial antarpenonton dalam setting sosial yang sama (Morley, 1999: 24-31), seperti dalam satu keluarga atau tempat kos. Kemungkinan lain adalah bahwa pengalaman dan pemahaman selama menonton akan dibicarakan dalam ruang sosial lain bercampur dengan pembicaraan lain, semisal dalam percakapan di kantor dan pabrik (Hoggart dikutip dalam Morley, 1999: 20), ataupun bahkan di warung makan dan ruang kuliah.

Dengan kerangka berpikir di atas, maka tulisan ini akan difokuskan pada masalah (1) bagaimana perilaku para kandidat doktor pertanian Universitas Gadjah Mada dalam menonton Empat Mata; (2) kalau mereka menggemarinya, adakah faktor-faktor sosio-kultural yang melatar-belakanginya; (3) bagaimana penerimaan/pembacaan mereka terhadap teks dan wacana yang disampaikan dalam tayangan tersebut; (4) apakah mereka mempercakapkan Empat Mata dalam kesempatan dan ruang sosial yang lain, lalu dalam kesempatan apa dan bagaimana mereka melakukannya.

Untuk memfokuskan kajian, maka tulisan ini dikembangkan dari riset yang dilakukan di sebuah kos, di Jl.Gejayan Gg. Kanthil-Telasih, tempat tiga kandidat doktor tersebut tinggal dalam satu rumah. Data tulisan ini, dalam pengumpulannya, lebih banyak menggunakan obervasi partisipatoris, di samping wawancara mendalam dengan suasana informal.

Karena dengan kedua cara tersebut, saya bisa menemukan "peristiwa-peristiwa dan celetukan-celetukan kecil" yang seringkali muncul spontan dan berpotensi sebagai sumber data akurat dari alih-alih focus group discussion, misalnya, yang terkesan formal di mana kita tidak bisa mengetahui unsur-unsur spontan yang sangat penting perannya dalam kajian etnografi media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun